Guys & Girls

Ayuk SN
Chapter #53

Kota Tua

“Gue minta maaf sama semua kelakuan gue kemarin malam,” sahut Puan tak gentar walaupun Ane masih mengabaikannya.

“Gue sama Dista udah nggak ada apa-apa, yang lo denger dari Seka ataupun Gina itu semua salah paham.”

Ane memutar bola matanya malas, seolah ia menganggap semua yang dikatakan Puan omong kosong. Semua itu bualan. Puan mengira kalau Ane mengetahui ia dan Dista bersama tadi malam dari Seka dan Gina, ia belum tahu kalau Ane menyaksikan dengan kedua matanya sendiri. Mereka berdua berpelukan di kedai soto.

Ah, mengingat hal itu Ane naik darah sendiri. Kali ini, ia tak akan goyah. Tetap, ia akan menghapus semua perasaannya yang sebelumnya ada untuk Puan. Lelah jiwa sendiri jika ia terus menyimpan perasaan pada pria itu.

“Soal sikap gue nurunin lo di jalan waktu itu—“

“Stop! Nggak usah bahas kejadian itu lagi.” Ane membuka pintu mobil itu namun lengannya di cekal Puan, bahkan pria itu menutup pintu itu kembali.

“Dengerin gue sebentar Ne, nggak lucu juga keadaan kita kayak gini sedangkan 2 hari lagi kita tunangan.” Jelas Puan seolah sangat menghargai acara tunangan mereka.

“Nggak ada yang lebih lucu daripada menikah dalam jangka 2 tahun Da, setiap nyokap sama kakak lo bersikap baik ke gue, gue ngerasa udah permainin perasaan mereka.”

Ane menelungkup kan wajahnya ke kedua tangannya, seakan itu semua sangat membebaninya. Lelah, ya ia sangat lelah saat ini. Yang ia inginkan saat ini hanya satu, diam diapartemennya yang sunyi. Bukan mendengar ocehan Puan yang tak berujung itu.

“Sebenernya gue kemarin sama Dista itu—“

“Kalian pergi ke taman, lalu pergi ke kedai soto juga. Kalian berpelukan.” Ane memutar kepalanya ke arah Puan.

Puan menutup mulutnya rapat-rapat saat mendapati mata Ane yang mulai berkaca-kaca. Seolah ia merasa sangat bersalah untuk saat ini.

Puan menggenggam tangan kanan Ane sangat erat, ia mencoba untuk mengatakan sejujurnya. Namun melihat respon Ane seperti ini, ia ciut nyali seketika.

“Kalian berpelukan. Iya kan? Terus apa lagi?” Ane mengulas senyum di bibirnya, saat itu juga air mata lolos turun dari pelupuk matanya. Ia menangis.

“Ne ini semua nggak seper—“

“Stop! Gue bilang stop! Gue nggak mau denger semua bualan lo. Sampah menurut gue. Jadi stop mengungkit kejadian kemarin malam Da. Gue capek.” Sekali lagi, Ane membuka pintu mobil itu namun dengan secepat kilat Puan menarik sedikit paksa bahu Ane, memeluk erat gadis itu. Puan menopangkan kepalanya pada bahu Ane.

“Kira-kira kalau kita nikah beneran gimana? Gue—“ Puan menggenggam tangannya sendiri, seolah sangat sulit mengatakan perasaan sebenarnya.

Tak dapat di pungkiri, saat ini ia sudah berhasil melupakan Paradista, dan membuka hati untuk Ane. Bahkan sedari tadi ia menahan emosi saat melihat Ane dan Mahanta jalan bersama. Ditambah nanti malam gadis itu akan ada acara lagi dengan Mahanta, mereka berdua akan menonton film bersama.

“Gue belum bisa,” Ane menghela nafas panjang, ia menyunggingkan senyumnya sinis. ‘Seharusnya gue nggak usah berharap lebih sama dia.’ Gumamnya dalam hati, entah kenapa ada perasaan kecewa mendengar ucapan Puan seperti itu. Ane menangkis tangan Puan yang masih meluknya dari belakang.

“Gue pergi dulu.” Ane membuka pintu itu kembali dan segera keluar dari sana, ia membuka pintu mobilnya sendiri dan masuk kedalam, ia segera menghidupkan mesin mobilnya dan meninggalkan Puan yang masih memandangnya dari balik kaca jendela.

“Kenapa lo nggak bisa ungkapin semua ini, kenapa?” Puan memukuk-mukul kepalanya sendiri, seolah sangat jengekel dengan sikapnya yang sangat susah untuk mengakui kalau ia seberanya sangat mencintai Ane.

Ane merebahkan tubuhnya kembali pada sofa panjang yang ada di ruang tengahnya, ia memejamkan matanya kembali, setelah mengambil mobilnya yang ia tinggalkan di parkiran cafe itu Ane memilih pulang ke rumahnya walaupun Seka memaksanya untuk mampir di rumah Gina.

Perdebatannya dengan Puan beberapa jam lalu masih terngiang-ngiang di otaknya. Semua ucapan yang pria itu lontarkan masih menempel sempurna pada ingatannya. Ane jengkel sendiri, kenapa ia sangat susah menghapus Puan dari ingatannya.

***

Ane menyandarkan dirinya pada dinding basement sedang menunggu Mahanta menjemputnya, ia hanya mengenakan kaos oblong warna hitam dan celana jeans, juga wedges, rambutnya di biarkan terurai begitu saja. Entah mengapa ia sangat malas pergi malam ini, namun ia tidak enak dengan Mahanta yang sudah membantunya dan bersikap baik dengannya. Menit berikutnya ada mobil yang mendekatinya, Ane menggenggam erat shoulder-bag saat mengamati lebih detail mobil itu.

Itu bukan Mahanta.’ Gumamnya, menit berikutnya penumpang mobil itu membuka kaca mobil, Ane membulatkan matanya tak percaya.

“Kak Sita.”ucap Ane saat melihat kakak Puan melampaikan tangannya dan tersenyum ramah ke arah dirinya.

“Masuk yuk, ne kakak kanget sama kamu, kita jalan bareng. Gimana?”

Puan menyunggingkan senyumnya. Rencananya kali ini kemungkinan besar berhasil. Ia tahu titik kelemahan Ane ada pada kakanya. Sita yang selalu memperlakukan Ane dengan baik membuat Ane sungkan jika menolaknya.

“Tapi kak, aku udah ada janji sama temen, gimana kalo besok aja?”

“Nggak bisa, gue udah beli tiket 3.” Tukas Puan cepat membuat Sita memutar kepalanya menatap sinis adiknya yang ada di balik kemudi.

Lihat selengkapnya