"Da lepas!” bentak Ane saat pergelangan tangannya sudah mulai memanas akibat genggaman Puan yang melebihi normal.
Beberapa pandang mata juga menatap sedih ke arah Ane. Seolah kasian melihat Ane yang terus-menerus di tarik secara paksa pria itu. Namun Puan tak mengindahkan tatapan orang. Emosinya sudah memuncak sekarang. Satu hari penuh ia disibukkan dengan perasaan cemburunya.
Puan menghempaskan tubuh Ane begitu saja hingga menabrak pintu mobilnya, tatapan pria itu sangat marah.
“Gue udah bilang 2 hari lagi kita tunangan, lo begok atau goblok?” sinis Puan sambil menggebrak pintu mobil yang ada di samping kepala Ane.
Ane hanya tertunduk, dan terdiam. Ia tak punya nyali menatap wajah pria yang ada di depannya.
“Lo nggak pernah berfikir kalo tiba-tiba saudara gue ada yang lihat lo jalan sama pria lain? Lo kebayang nggak penilaian mereka terhadap lo? Perempuan murahan.” Sinis Puan yang membuat Ane dengan berani mendongakkan kepalanya dan menatap ganas pria itu.
Perempuan murahan dia bilang?
“Perempuan murahan? Kalo lo apa? Lo berpelukan sama Dista di taman, gue udah tahu Da. Gue udah tahu. Lo ninggalin gue di acara makan malam itu Cuma mau nemuin Paradista, gue yakin kalau gue nggak telpon lo karena kak Sita pingsan lo pasti masih sama dia.” Ane menarik nafas, mencoba untuk tidak meluapkan emosinya—ya, sabar.
“Gue juga tahu lo nurunin gue ditrotor buat nemuin Paradista lagi. Gue lihat dengan kedua mata kepala gue sendiri kalian berdua di kedai soto, dan berpelukan, lagi. Lo tahu nggak seberapa ketakutannya gue tiba-tiba Lo suruh gue turun gitu aja, dan lagi-lagi itu karena Paradista.” Ane menghela nafas panjang, seolah mulutnya lelah untuk terus mengucap, dan otaknya juga lelah terus mengingat semua kejadia kemarin malam. Seolah semua itu berputar begitu saja.
“Dan sekarang gue jalan sama Mahanta lo permasalahin? Otak lo di mana? Gue cuman jalan, nggak lebih. Nggak kayak lo sama Dista yang sampai berpelukan, dan—“ Ane menghela nafas panjang, tak sanggup lagi mulutnya untuk meneruskan ucapannya.”Berciuman.”
Bahkan poin terakhir yang membuat Ane seolah sangat membenci Puan saat ini. Bisa-bisanya dia dan Dista kemarin malam berciuman di saat Ane sedang merasakan sakit hati yang amat mendalam. Dimana otaknya?
Ane mengetahui itu semua dari Seka, Seka kira Ane tahu tentang itu, tapi ternyata Ane tahunya Puan dan Dista berpelukan tidak lebih. Ane masih tak mengira mereka berdua bertindak sejauh itu.
Ane merasakan kedua matanya mulai memanas, ia mengerutkan dahinya dan memutar bola matanya, berharap ia tak menjatuhkan air mata.
“Jadi sekarang yang mulai siapa? Lo atau gue?” sambung Ane, saat itu juga ia tak mampu menahan tangisnya, ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Bahunya bergetar.
Pandangan Puan mulai melunak, entah mengapa emosinya seolahan menghilang setelah mendengar setiap kata yang Ane ucapkan. Seolah ia sangat kejam di mata Ane. Puan melangkahkan satu kakinya, ia meraih bahu Ane dan memeluk wanita itu. Mencoba menenangkannya.
“Maaf, maaf atas semua kelakuan gue. Gue tahu gue kejam.” Ucap Puan sambil menepuk halus pundak Ane.
“Tapi gue sama Dista udah Nggak ada—“ Ane mendorong tubuh Puan begitu saja, dia kira Ane perempuan apa? Main peluk-peluk aja.
“Jangan campuri urusan gue lagi. Ingat pernikahan kita hanya jangka 2 tahun. Terserah lo mau berpelukan, berciuman atau apalah dengan gadis mana aja. Gue nggak ikut campur.”
“Tapi sebagai balasannya, lo berhenti campuri urusan gue.”
"Ingat poin pertama dalam perjanjian, pihak A tidak boleh ikut campur urusan pribadi pihak B."
"Jadi stop ikut campur urusan pribadi gue. Gue mau Deket sama siapapun itu hak gue." ucap Ane lalu berlalu begitu saja, ia memilih menjauh dari Pria itu.
Tak menunggu lama taksi pesanannya sudah menghampirinya, dengan secepat kilat Ane masuk ke dalam. Puan ingin sekali mengejar gadis itu, namun ia tahu emosi Ane sedang tidak stabil saat ini. Bahkan wanita itu sempat membentaknya. Puan memencet smart key dan segera membuka pintu mobilnya. Namun langkahnya terhenti saat ada suara sepihak yang menghentikan kegiatannya.
"Pihak A tidak boleh ikut campur urusan pribadi pihak B." Suara itu, Puan memutar kepalanya, menatap sinis ke arah Mahanta.
Pria itu Mahanta.
Mahanta melangkahkan kakinya kembali, semakin dekat ke arah Puan. "Jadi kalau Ane Deket sama gue pun itu bukan urusan Lo. Benar?" Lagi, puan mengepal kedua tangannya erat, tak seharusnya Mahanta mengetahui rahasia ini.
"Jadi berhenti ngekang Ane buat deket sama siapapun seolah Lo tunangan sungguhannya." Lirih Mahanta sembari melempar pandangan mengintimidasi ke arah Puan.
“Dan juga, gue nggak pernah main-main tentang ucapan gue waktu itu.”
Pria itu tertawa sumbang, “Tadi gue sempet nyerah waktu denger kalian bertunangan. Okay, tadi gue sempet berusaha mengiklaskan. Tapi sekarang telinga gue dengar dengan jelas kalau kalian menikah dalam jangka waktu 2 tahun. Nggak papa, gue masih betah menunggu. Setidaknya di umur 20 gue udah punya pekerjaan yang lebih mapan, dan siap nikahin dia.” Ucap Mahanta dengan sekali ucapan, rahan Puan mengeras ingin sekali ia menonjok pria yang ada di depannya itu.
Namun suasana Kota Tua yang ramai pengunjung seperti ini membuat ia mengurungkan niatnya. Mahanta berlalu begitu saja meninggalkan Puan dengan berbagai macam ekspresi.
Mahanta berasal dari keluarga kaya raya, Perusahaan yang dikelola keluarganya sebanding dengan perusahaan yang di kelola keluarga Puan. Namun saat ini ia berbeda dengan Puan, Puan yang sudah berhasil ikut andil dalam bisnis keluarganya berbeda dengan Mahanta yang lebih condong ke hobinya--fotografi karena dia masih malas berurusan dengan perusahaan. Bahkan Mahanta tak berminat untuk meneruskan perusahaan yang dikelola kedua orang tuanya, padahal dia pewaris tunggal. Kecintaannya terhadap fotografi membutakannya.
Mahanta mengetahui tradisi keluarga Ane, ia berniat untuk melamarnya beberapa hari lalu, namun ia mengurungkan niatnya saat ia diberi syarat oleh papahnya untuk meninggalkan hobi fotografinya itu dan belajar mengelola perusahaan seperti yang dilakukan oleh Puan.