Ane menggeser panel hijau saat ponselnya berdering berkali-kali.
“Gimana?”
“Ceileh, yang hari ini tunangan, kenapa lo nggak nikah sekalian aja sih Ne,” goda Seka di balik sambungan telpon itu.
“Lo diem, gue males debat.” Sinis Ane lalu mematikan sambungan telpon itu.
Ia menatap suasana luar rumahnya yang sudah ramai orang-orang yang menggotong barang ke sana kesini dari balkon lantai 2 kamarnya. Ane menyilangkan tangannya didadanya saat pandangannya menangkap seorang pria bersetelan jas hitam sedang turun dari mobil. Ane terus memperhatikan pria itu. Ia yakin sebentar lagi akan ada orang yang masuk ke dalam kamarnya dan segera menyuruhnya untuk turun kebawah.
Ane memundurkan dirinya begitu saja saat pria itu mendongakkan kepalanya ke lantai 2, ke arah balkon kamar Ane. Ane berharap tingkahnya saat ini tak diketahui oleh pria itu.
Puan menyunggingkan senyum saat melihat tingah Ane seperti itu. Entah mengapa ia seperti sangat bersemangat di acara lamaran hari ini. Seolah ia melamar gadis itu untuk disisinya selamanya. Puan kembali melangkahka kakinya kembali.
***
"Udah cantik ayo.” Kaia menggandeng tangan adik iparnya turun. Sesuai dugaan Ane kaia akan menjemputnya untuk segera turun karena keluarga Puan sudah datang.
“Nggak usah gugup,” sambung Kaia saat merasakan hawa dingin dari telapak tangan Ane. Ane menghela nafas panjang berkali-kali, berusaha menghilangkan rasa gugupnya.
“Kok masih gugup aja Ne?” tanya Kaia, Ane hanya dapat menggelengkan kepalanya.
“Duduk bentar, tunggu kakak bentar.” Sahut Kaia sembari mendudukkan Ane di kursi meja rias. Menit berikutnya ia keluar dari kamar Ane, dan Ane hanya menunggu sembari menormalkan detak jantungnya.
Ane juga heran, bagaimana bisa Jantungnya berdetak sedemikian rupa padahal ini hanya acara tukar cincin.
Menit berikutnya Kaia kembali masuk ke dalam kamar Ane dengan tangan kanan yang membawa segelas air mineral dan tangan kiri yang membawa botol obat. Untuk apa Kaia membawakan Ane botol obat?
“Ini apa kak?” tanya Ane karena merasa asing dengan botol hitam itu.
“Ini buat merileks kan jantung kamu. Dulu waktu kakak lamaran minum ini. Kakak sengaja beliin kemarin buat kamu. Diminum, kakak jamin rasa nervous kamu perlahan hilang. Setidaknya bisa kurangin rasa gugup kamu Ne.”
Ane menganggukkan kepalanya paham, ia menuruti ucapan Kaia—meminum obat itu.
“Udah gimana?”
Ya, benar Ane merasakan sendiri, namun hanya turun beberapa persen saja rasa gugupnya. Dalam hatinya masih tak sanggup untuk turun dan memulai drama kembali—seolah ia dan Puan pasangan saling mencintai di acara tukar cincin hari ini.
Ane berdiri dari duduknya, berjalan dengan langkah pasti. Siap menerima apapun yang terjadi hari ini. Ya, mau tak mau ia harus siap.
***
Puan berlutut di hadapan Ane, tangan kanannya merogoh saku jasnya, mengeluarkan kotak perhiasan dari sadar. Puan membuka kotak perhiasan itu dan mengambil satu cincin yang bertuliskan namanya. Ia memasangkan cincin indah itu di jari manis Ane, sontak tepuk tangan dari keluarga besar itu memeriahkan acara itu.
Tak terkecuali ke 4 teman Ane dan Puan yang diundang secara langsung oleh Mamah Ane. Bu Maharanendra memang cukup akrab dengan Seka. Ia menyuruh Seka untuk mengajak rekan dekat Ane lainnya, akhirnya ia mengajak Asoka, Rama, dan Gina.
Awalnya Seka juga ingin mengajak Dista, bukan sebagai teman dekat. Tapi saingan berat Ane.
Seka mau membuka kedua mata Dista lebar-lebar kalau Puan sekarang sudah bertunangan, agar gadis itu menjaga sikapnya terhadap Puan. Namun saat mengucapkan itu pada Ane di telpon kemarin, Ane menolak dengan tegas. Dengan alasan...
Gue juga perempuan, gue bisa ngerasaain apa yang Dista rasain lihat cowok yang bener-bener di sayang bertahun-tahun melamar perempuan lain. Jangan Ka.
Seka masih mengingat kata-kata Ane. Dan, ya ada benarnya. Seka yakin jika Dista melihat secara langsung prosesi tukar cincin ini perempuan itu akan pulang dengan wajah penuh air mata. Bisa-bisa Dista pingsan di tempat.
“Bos ku!” Asoka memeluk Puan saat pria itu berjalan ke arah mereka berempat.
“Cakep parah lo.” Rama menepuk bahu Puan keras. “Jangan marah di hari tunangan, pamali.” Sambung Rama saat menangkap kilat marah pada kedua mata Puan, mungkin karena tepukannya pada bahu Puan yang kelewatan kencengnya.
“Sini duduk dulu bro.” Asoka menepuk kursi disampingnya yang masih kosong.
“Syukur deh mukak lo udah bener lagi, merasa bersalah banget gue kalo wajah lo masih bonyok di acara tukar cincin lo.” Ucap Seka tanpa dosa lalu melambaikan tangannya ke arah Ane yang tak jauh darinya.
Ane berjalan ke arah teman-temannya.
“Congratulation sayangku.” Gina memeluk Ane sangat erat.
“Turut bahagia gue walaupun lo nggak jadi sepupu gue.” sambung Seka mengingat tentang kejadian sepupunya ditolak mentah-mentah oleh Ane.
Dan entah kenapa setelah mengucapkan sepenggal kalimat itu, Seka dihadiahkan lirikan tajam dari seorang Puan. Emang Seka salah? Kurasa tidak, memang Puan yang suka cemburu di lewat batas.
Ane hanya tersenyum melihat tingkah teman-temannya itu. Ia mengedarkan pandangannya namun tanpa sengaja, matanya bertemu dengan Puan. Dengan mata pria yang memakaikannya cincin di jari manis beberapa jam lalu. Mereka saling menatap, hanya sedetik karena Ane memalingkan wajahnya kembali.
“Jadi gimana, kapan nih nikah.” Ucap Asoka yang membuat Puan menunjuk Ane dengan gerak matanya.
“Jadi kapan Ne?”
“Setelah dia 17 tahun, maybe?.” Balas Seka karena Ane tak kunjung bersuara.
“Beneran?” tanya Asoka mencari kepastian, Ane menganggukkan kepalanya.
“Masih 1 tahun dong,” ucap Gina lalu meneguk jus jeruk yang ada didepannya.
“Beb gimana kalo habis pulang dari sini aku ke rumah kamu, masak kita kalah sama mereka.” Gina hanya menggeleng-gelengkan kepalanya heran dengan sikap Asoka yang mengajaknya bertunangan tiba-tiba.