Guys & Girls

Ayuk SN
Chapter #58

Bullying

Ane mengerjapkan pandangannya berkali-kali. Denah sekolah yang ia pegang seakan tak ada gunanya. Ia masih saja bingung dan berkali-kali tersesat.

Ane menghela nafas lega saat Puan membalas pesannya ‘5 menit lagi tunggu di parkiran.’ Dan saat ini misinya hanya satu. Cari tempat parkiran utama dimana Puan memarkirkan mobilnya.

Ane terus melangkahkan kakinya, kali ini ia lebih berhati-hati. Ia tak mau mendapat urusan lagi dengan orang-orang yang memakinya seperti beberapa jam lalu. Ia terus-menerus mengedarkan pandangannya hingga tiba-tiba ada yang menarik lengannya dengan sangat erat.

Ane meringis kesakitan mendapatkan perlakuan seperti ini, Ane mendongakkan pandangannya menatap 3 wanita yang membuat ulah dengannya tadi pagi.

“Hai junior, masih ingat kita?” sinis gadis berambut coklat itu, yang bernama Zia, Ane memfokuskan pandangannya hingga dapat membaca name tag gadis itu.

“Apa salah saya.” Sahut Ane sambil menyingkirkan tangan gadis itu dari lengannya.

“Gue benci lo.” Sahut Zia sambil medorong tubuh Ane begitu saja hingga gadis itu menabrak tembok yang ada di belakangnya.

Ane tak percaya ia mendapat perlakuan seperti itu di awal ia menapakkan kaki di SMA impiannya ini.

“Lo tahu nggak seberapa panas mata gue lihat lo jalan sama Puan waktu itu. Gue yakin ada yang nggak beres sama lo. Lo main dukun kan?” oceh Zia itu yang membuat Ane seketika naik pitam. Ia tak terima dituduh sehina itu.

“Apa maksut lo? Kalo nggak tahu apa-apa nggak usah ngomong.” Sinis Ane, ia bangkit dari posisinya dan mendorong keras tubuh Zia hingga gadis itu menubruk temannya yang kebetulan ada di belakangnya.

Tak terima diperlakukan Ane seperti itu, Zia bangkit. Melangkah lebar ke arah Ane.

“Bangsat!” Zia mengambil air mineral yang tadi ada di tangan salah satu temannya itu, membuka tutup botol itu dan menumpahkan habis di rambut Ane, dan sekujur tubuh Ane.

Ane terkejut bukan main melihat tingkah Zia yang melebihi batas itu.

“Ini pelajaran buat lo. Jangan berani-berani lo sama gue.” sinisnya sambil medorong tubuh Ane kembali.

Ane menundukkan kepalanya, rambut dan kemejanya sudah basah bahkan kemeja berwarna putih itu berubah kotor akibat ulah Zia yang mendorong Ane dan membuat wanita itu tersungkur ditanah.

Entah kenapa ia ingin sekali menjambak habis rambut Zia saat ini juga. Ia menguatkan kedua genggaman tangannya pada amplop pengumuman kelulusan yang ingin ia buka bersama Puan. Mata Ane mulai memanas, menit berikutnya ia benar-benar menangis.

Belum puas dengan perlakuannya pada Ane, Zia bersimpuh di hadapan Ane, mencengkeram dagu gadis itu dan memaksanya mendongak menatapnya.

“Dengerin gue baik-baik gadis cantik.” Sahut Zia sembari melempar tatapan tajam ke arah Ane. “Jauhi Puan, jauhin, jauhin. Gue nggak suka lo deket-deket sama calon cowok gue.” sambung Zia.

Calon cowok lo? Dia tunangan gue.’ Lidah Ane kelu rasanya untuk mengucapkan kata-kata itu, ia memilih bungkam. Lagian jika Ane membantah ia akan menjadi lebih parah dari ini. Ane yakin Zia tak akan melepaskannya hidup-hidup jika Ane membantah.

Good girl.” Sahut Zia sembari mendorong kepala Ane ke belakang.

Sabar, saat ini Ane masih mencoba sabar. Padahal ingin sekali ia melepaskan sneakers nya dan melemparkannya pada Zia Cs itu. Baru pertama kali ini Ane mendapatkan perlakuan kasar dari seorang perempuan.

***

Puan meghela nafas kasar saat Ane tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Lebih dari 15 menit ia menunggu gadis itu di dalam mobilnya. Ingin rasanya ia membanting ponselnya begitu saja saat Ane tak kunjung mengangkat telponnya dan membalas pesannya.

Puan membuka pintu mobil dan memilih mecari Ane secara langsung, entah mengapa tiba-tiba ia berfikiran terjadi hal buruk dengan Ane. Mengingat saat awal tadi ada beberapa teman wanitanya yang sirik dengan Ane.

Tak hanya sirik, bahkan teman wanitanya berlaku kasar dan main tangan pada Ane. Puan berjanji pada dirinya sendiri, ia tidak tinggal diam jika saja terjadi apa-apa dengan Ane. Ia akan membalas setiap perlakuan kasar yang diterima gadis itu kepada pelakunya. Puan janji.

Puan terus melanjutkan langkahnya tanpa menoleh ke arah suara yang beberapa kali memanggilnya. Kaki Puan melemas seketika saat ia melihat pemandangan yang ada di depannya. Gadis itu, gadis yang ia cari beberapa menit lalu.

Gadis itu terduduk di bawah pohon beringin dengan memeluk lutut. Kemeja putih yang dikenakan itu basah dan penuh dengan noda tanah. Rambut gadis itu juga acak-acakan. Puan dapat mengerti kalau gadis itu sedang menangis karena ia melihat dengan jelas bahu gadis itu bergetar hebat.

Puan melangkahkan kakinya ke arah gadis itu. Puan menghela nafas panjang saat mengetahui kondisi Ane saat ini sangat mengenaskan.

Puan berjongkok di depan Ane, ia mengusap lembut rambut gadis itu. “Gue udah bilang, sekolah ini nggak cocok buat lo.” Ucap Puan seolah membuat Ane semakin marah, pria itu seolah tidak menghargai Ane belajar dan mengikuti tes untuk masuk di SMA yang sama dengannya. Ane menggenggam erat amplop putih berisikan pengumuman kelulusan yang sedikit lusuh itu dengan sangat erat.

“Berdiri,” sambung Puan sambil maraih bahu Ane dan menuntun gadis itu berdiri. Puan mendudukkan Ane di kursi panjang yang ada di belakang pohon beringin besar itu.

Puan masih setia menunggu Ane yang tak kunjung mau mengakhiri sesi menangisnya dan tak kunjung buka suara. Ia tahu ini semua akan terjadi pada gadis itu, apalagi saat para penggemar Puan mengetahui kalau gadis itu bukan hanya pacarnya namun tunangannya—oleh karena itu Puan menyembunyikan identitas Ane, setiap ia ditanya temannya selalu bilang kalau Ane hanya temannya.

Puan tak bisa membayangkan apa yang wanita-wanita gila itu lakukan pada Ane. Oleh karena itu ia memaksa untuk menyembunyikan status mereka yang sebenarnya.

“Udah cukup, udah lebih dari 1 jam lo nangis.” Sahut Puan sambil mendongakkan kepala Ane agar tidak terus-menerus menunduk.

Lihat selengkapnya