Diarrrrrrrrrrrrr
Suara halilintar nyaring terdengar, Ane menutupi kedua telinganya sambil menangis histeris, halilintar kelemahannya.
Melihat hal itu Puan seketika berdiri dan berjalan ke arah Ane. Pria itu menarik bahu Ane dan memeluknya, dengan sangat erat.
“Nggak papa ada gue,” sahut Puan berbisik tepat di telinga kanan Ane. Mencoba menenangkan gadis dalam pelukannya itu.
“Ne, udah ada gue.” Ane melepas kedua tangannya pada kuping kanan dan kirinya, entah apa yang membuat gadis itu memeluk Puan begitu saja. Sangat erat.
Ane menyembunyikan kepalanya pada dada Puan, ia menagis sesegukan di sana. Tangan Puan terulur, mengusap perlahan puncak kepala Ane.
"Nggak papa, udah, ada gue disini." Lirihnya.
Ane masih saja menangis walaupun tak sehisteris barusan, ia hanya sesegukan. Puan mengusap rambut gadis itu dengan perlahan, “Udah, sekarang udah aman.” Sahut pria itu masih mencoba menenangkan Ane.
Saat ini Puan sampai kesulitan bernafas karena Ane memeluknya dengan sangat erat. Namun pria itu membiarkan saja, ia mencoba memaklumi tingkah Ane.
“Maaf mas, mbak, ini pesanannya.”
Sontak Ane tersadar kedunia nyata, ketakutannya pada halilintar hilang seketika. Melihat posisinya begini ia mendorong tubuh Puan menjauh darinya. Ane membulatkan matanya tak percaya dengan apa yang ia lakukan. ‘Gue pelukan? Sama dia?’ guman Ane sambil menstabilkan mimik mukanya. Ia mulai duduk di kursinya.
Awalnya Puan ingin memarahi Ane yang mendorong dirinya begitu aja setelah memeluknya dengan sangat erat hingga membuat ia kesulitan bernafas. Namun waitres yang masih memandang ke arahnya membuat ia mengurungkan niatnya.
Ane dan Puan makan dalam diam, sesekali Ane melirik wajah pria yang kembali datar didepannya. Entah mengapa jantungnya berdetak sangat amat kencang saat mengingat tentang kejadian beberapa menit lalu.
Ane menangkupkan kedua tangannya dipipinya saat dirasa pipinya semakin panas. Ia yakin rona merah pasti tercetak jelas disana.
Puan menyunggingkan senyumnya sekilas. Entah mengapa tingkah perempuan didepannya itu terlalu menyita perhatiannya.
Tak dapat dipungkiri perasaan sudah mulai tumbuh di antara keduanya. Puan yang awalnya sangat dingin terhadap Ane seolah berangsur menjadi sosok yang perhatian.
“Makasih buat semuanya.” Ucap Ane saat ia akan turun dari mobil Puan.
“Heem,” balas pria itu tanpa menatap lawan bicara.
Ane sedikit dibuat bingung dengan sikap Puan yang berubah-ubah menurutnya. Kadang dia care kadang juga seperti ini, cuek dan dingin. Sangat dingin.
Ane turun sembari menenteng paper-bag berisi sepatu juga bajunya yang setengah basah itu.
Ane sengaja memperlambat langkahnya, ia menolehkan kepalanya kebelakang, berharap pria itu membuka kaca mobil dan tersenyum ke arahnya. Namun nihil. Bahkan mobil Puan sudah tak ada di basement apartemennya. Pria itu sudah meninggalkannya.
Entah mengapa ada perasaan jengkel pada hati Ane melihat tingkah tunangannya itu, ia menghela nafas panjang, tertunduk dan segera berjalan ke arah apartemennya. Namun langkahnya terhenti saat tiba-tiba ada orang yang menghadang jalannya.
Ane mendongakkan kepalanya, menatap bingung ke arah pria yang ia kenal beberapa minggu lalu. Pria yang ia kenal Karena kecerobohannya menendang kaleng sembarangan dan berujung menghantam manis pelipis pria itu.
Pria itu dengan santainya melambaikan tangannya sambil tersenyum penuh arti. Ane hanya menghembuskan nafas kasar, menandakan ia terganggu dengan kehadiran orang itu.
Ane melewati pria itu begitu saja. Namun tangan Ane tiba-tiba saja ditarik begitu saja oleh pria itu hingga gelang yang menggantung di tangan kanannya putus dari pergelangan tangannya.
‘Bangsat’ gumam Ane jengah melihat tingkah orang itu.
Ane berjongkok berniat mengambil gelang yang jatuh dilantai itu. Namun dengan santainya kaki pria itu menggeser gelang itu dan mengambilnya begitu saja.
“Berharga banget, dari siapa? Puan?” sinisnya sembari memasukkan gelang itu ke saku celananya.
Ane menghela nafas panjang, mencoba bersabar dengan segala kejadian yang ia alami hari ini. Ia tak mau di bully lagi setelah tadi siang ia di bully habis-habisan.
“Lo ikut gue, lo harus bayar tindakan lo lempar kaleng itu saat ini juga.” Sahutku pria itu sambil menggeret tangan Ane begitu saja.
Ane menghempaskan tangan pria itu, “Mau lo apa? Masalah kemarin gue nggak sengaja.” Bentaknya membuat pria itu semakin jengah.
"Ke enggak sengajaan Lo bikin pelipis gue gini." Sinisnya sembari menunjuk pelipisnya, padahal luka akibat tingkah Ane juga sudah hilang, hanya bekas luka sedikit. Lantas apalagi yang di permasalahan?
“Gue nggak nyalahin Zia Cs bully lo tadi pagi, sekarang gue tahu sikap lo sebenarnya.” Ane mengerutkan dahinya ia berfikir sejenak,
'Darimana dia tahu gue dibully tadi pagi,’ gumannya dalam hati.
Ranu, pria itu menjadi salah satu panitia PPDB, dan ia terus mengamati Ane mulai saat gadis itu turun dari mobil Puan, bahkan saat gadis itu dibully habis-habisan oleh Zia. Dan yang paling membuat jengkel dirinya, saat Puan memberikan perhatian lebih pada Ane di bawah pohon beringin yang berapa di pekarangan belakang sekolahnya. Saat itu Ranu ingin segera menemui Ane dan menenangkan gadis itu, namun langkahnya lagi lagi terdahului Puan.
“Gue nggak akan berikan gelang ini sebelum lo bayar hutang lo.”
“Hutang bukan berarti uang.” Sambung Ranu membuat Ane semakin tahu sikap asli pria itu.
“Terserah lo mau ikut atau nggak. Gue pastiin lo nggak ada bisa ngeliat gelang ini lagi.” sinisnya sembari menenteng gelang pemberian Puan itu.
“Gimana kalo gue lempar sekarang aja? Wah beruntung juga sih yang nemuin ini. Bisa buat beli mobil sama rumah.” Jelasnya membuat Ane tak bisa berfikir jernih.
“Satu,,” Ranu mulai berhitung, membuat Ane semakin cemas.
“Dua.” Sahut Ranu lagi sambil memutar-mutarkan gelang itu di jarinya. Ane meremas gaun yang ia kenakan sendiri.
“Ti,,” Ranu sudah menyiapkan posisi untuk melempar gelang itu ke arah balkon lobi yang langsung berseberangan dengan jalan raya.
“Ga.”
“Gue setuju.” Sahut Ane saat Ranu benar-benar bersiap melempar gelang itu.
Bagi Ane gelang pemberian Puan sangat berharga baginya. Bukan dilihat dari harga barangnya, namun entah mengapa Ane sangat menyukai mengenakan gelang itu. Menurutnya itu pertama kalinya Puan menembaknya, walaupun tak ada kata romantis disana.
Dan juga, nanti disaat mereka bercerai Ane tak akan mengenakan cincin pemberian Puan yang notabennya cincin pernikahan, tapi gelang ini, Ane dapat mengenakan kapanpun.
“Cerdas.” Sahut Ranu sambil menggeret tangan Ane begitu saja. Ranu memiringkan senyumnya, seolah ia sudah berhasil menjebak mangsanya.
Ane hanya tertunduk selama di restoran jepang itu, ia hanya takut keluarga Puan atau keluarganya memergoki ia makan di luar bersama pria lain. Karena ini tempat favorit keluarganya makan masakan jepang.