"Gue nggak main-main sama omongan gue kemarin.”
“Kalo lo mau hidup bebas di SMA Garuda, lo harus jadi pacar gue.”
Ane tak bisa memikirkan tentang isi otak cowok yang ada di depannya itu. Seakan tak punya malu Ranu terus menembak padahal sudah ditolak mentah-mentah oleh Ane.
“Balikin gelang gue.” ucap Ane sambil mencoba meraih gelang yang ada di tangan kiri Ranu.
“Mari kita lihat.” Ranu memutar-mutar gelang itu sembari memperhatikan detail setiap sudut yang ada di sisi gelang itu. Ia menyunggingkan senyum sinisnya saat menemukan jawaban dari pertanyaannya. Ada nama Puan yang terukir disalah satu motif daun yang ada di gelang itu.
“Gue udah kira ini dari Puan, lo nggak semiskin itu untuk ngambil gelang ini secara Cuma-Cuma.”
“Gue berubah fikiran.” Ucap Ranu dengan raut wajah yang sangat-sangat menjengkelkan.
Saat ini juga Ane ingin mencopot wedgessnya dan melemparkannya tepat di wajah Ranu. Namun niatnya terhalang saat Ranu dengan santainya melempar gelang itu ke kolam renang.
Ane membelalakkan matanya tak percaya kalau Ranu bertingkah segila itu. “Ambil kalo bisa.” Ucap Ranu sambil memasang wajah menantang.
“Gilak lo.” Umpat Ane sambil berlari ke arah kolam renang, tanpa pikir panjang ia meloncat dan menyelam berharap gelang itu dapat ditemukan.
Ane mengedarkan pandangannya, namun tak ada hasil. Ia menyelam lebih dari 15 menit dan masih saja tak ada hasil. Kolam renang ini terlalu luas. Ia tak menghiraukan dinginnya air kolam. Yang ia fikirkan satu, gelang pemberian Puan. Andai saja itu tidak pemberian Puan ia tak ambil pusing, toh ia juga bisa membeli geleng itu lagi sendiri. Benar kata Ranu, Ane tak semiskin itu.
Ranu tersenyum bahagia melihat rencananya berhasil, dengan sekali main ia dapat menjerat 2 korban sekaligus. Pertama Ane dan kedua Puan. Ia sangat yakin kalau hubungan keduanya akan berakhir hari ini juga.
Ranu melangkahkan kakinya menuju parkiran mobilnya, ia tak mengindahkan Ane yang masih sibuk mencari gelang di kolam renang. Wajahnya tak nampak merasa bersalah.
Ranu memencet smart key dan membuka mobilnya. Namun langkahnya terhenti saat ada tangan yang menarik lengannya dan menonjok wajahnya. Pria itu menarik lengan Ranu lagi dan menonjoknya kembali. Lebih keras dari sebelumnya.
Puan tak menghiraukan Ranu yang sudah tersungkur dengan sudut bibir yang sudah mengeluarkan darah.
“Puan” sinis Ranu dengan pandangan penuh kemarahan dan nada bicara membentak.
Puan berjongkok, meraih kerah jaket Ranu, ia bahkan mencekik leher pria itu. Entah mengapa sosok Puan bisa jadi semengerikan itu.
“Sekarang lo bilang dimana Ane!” Bentak Puan yang membuat Ranu tertawa sumbang.
“Lo tahu semurah itu cewek lo, mau aja dia gue ajak makan malam.” Ucap Ranu mencari kambing hitam. Dan sialnya Puan mempercayainya begitu saja.
“Dimana Ane! gue bisa bertindak lebih jauh dari ini kalau diperlukan.” Ancam Puan sambil menguatkan cekikan tangannya pada leher Ranu.
Wajah Ranu sudah memerah, sampai pria itu tak bisa bicara. Hingga ada tangan yang menarik bahu Puan secara paksa.
“Da Sadar! lo bisa bunuh anak orang.” Asoka menarik bahu Puan secara paksa hingga pria itu terjungkir kesamping.
Seka membulatkan matanya sempurna melihat kondisi Ranu saat ini. Ujung bibir sepupunya itu mengeluarkan darah. Pelipisnya pun ada memar, dan juga bekas cekikan di leher Ranu menjadi bukti seberapa marahnya Puan saat ini.
Seka sampai heran bagaimana pria itu tidak melawannya sewaktu ia menghajar Puan beberapa minggu lalu akibat skandalnya dengan Dista yang membuat Ane menangis semalaman.
Seka membantu sepupunya itu untuk berdiri. “Lo sekarang masuk, gue nggak jamin lo bisa hidup kalo cari gara-gara lagi sama dia.” Jelas Seka sambil menunjuk Puan dengan ekor matanya.
Ranu menatap sinis Puan sebelum ia benar-benar masuk kedalam mobil dan segera memutar mobil itu menjauhi area parkir.
“Gue belum selesai sama lo!! Anjing!" Puan terus-menerus berusaha lepas dari kekangan Asoka dan Rama, ingin mengejar mobil Ranu yang sudah jauh dari pandangannya.
“Cukup, lo harus kendaliin diri lo Da.” Rama menepuk bahu temannya itu.
Seka mengehela nafas panjang, ia membuka tutup botol air mineral “Minum dulu, tenangin fikiran lo.” Sambungnya sambil memberikan botol air mineral itu ke arah Puan.
Gina memutar pandangannya ia sedang mencari sosok Ane. Dan tatapannya tertuju pada wanita berdress kuning langsat dengan kondisi yang basah kutup. “Aneh.” Ucap Gina sambil berlari kecil ke arah Ane.
“Lo nggak papa?” tanya Gina saat melihat penampilan temannya yang basah kuyup seperti itu, Ane berjalan menunduk sembari tangan kanannya memegang erat gelang itu dan tangan kirinya memegang wedgess yang sudah ia lepas.
Gina sampai tak kuat melihat keadaan Ane saat ini. Wajah gadis itu memucat, matanya sembab—tadi Ane sempat cemas karena tak kunjung menemukan gelang itu hingga tanpa sadar ia menangis dalam diam. Dan juga bibir Ane yang mulai gemetaran—ia kedinginan.