Guys & Girls

Ayuk SN
Chapter #62

Team Masak

Ane mulai mengambil beberapa minuman soda kaleng yang ada di dalam kulkasnya. Menyusun rapi di atas nampan. Ia bahkan mengupas beberapa apel agar ia bisa lebih lama didapur. Daripada kembali ke ruang tengah, duduk disamping Puan, dan menyaksikan pria itu ber-chatt manjah dengan mantan terindah, lebih baik Ane menyendiri di dapur daripada kedua matanya menyaksikan hal itu.

Ane memindahkan potongan Apel yang sebelumnya ia potong pada piring buah yang sebelumnya ia siapkan. Hingga tiba-tiba ada tangan pria yang dengan santainya mengambil apel yang baru saja ia kupas. Dan memakannya.

Ane mengamati tangan sebelah kiri pria itu. Ia mengernyitkan dahinya saat melihat cincin yang berukirkan namanya bertengger di jari manis pria itu. Puan mengenakan cincin pertunangan mereka, tanpa sadar, Ane mengulas senyum di wajah cantiknya.

Tumben.

Ane mendongakkan pandangannya. "Masih banyak? Mau gue bantuin?" tawar Puan sambil mengambil pisau yang lain dan mengambil buah apel yang belum kupasan.

"Nggak usah, lo balik aja bentar lagi selesai." Ucap Ane sambil memotong menjadi 4 bagian buah apel itu.

"Sebenarnya ada yang mau gue omongin sama lo." sahut Puan sambil memutar kepalanya ke arah Ane.

"Apa?" tanya Ane sambil matanya fokus pada buah apel yang sedang ia potong.

"Mamah mau ngajak kita berlibur ke Bali." Ane membulatkan matanya begitu saja. Bali, ia juga ingin ke sana-kesibukannya sebagai model beberapa tahun ini membuat ia sangat sulit meninggalkan Jakarta. Hari ini kerjaan free saja ia sangat bersyukur, namun tetap saja, ia masih mempunyai tanggungan barang endors yang belum di proses.

"Kapan?" tanyanya berusaha berbicara sedingin mungkin. Berharap ia dapat menghilangkan aura kebahagiannya karena mendengar berlibur ke Bali.

"1 minggu lagi." Ane berfikir sejenak. Ia mulai menghitung tentang lamanya ia dan temannya berlibur di Bandung.

"Gimana? Kalo nggak bisa juga nggak papa. Mamah nggak mungkin maksa lo." Balas Puan saat melihat seolah Ane berfikir keras hanya untuk memastikan ikut atau tidak.

"Yaudah."

"Yaudah apa?"

"Aku luangin waktuku 1 minggu lagi. Lumayan juga berlibur ke Bali sebelum liburan berakhir." Sahut Ane sambil membawa nampan berisi berbagai minuman dan piring buah itu ke arah meja tengah.

Lagi, ada yang menahan bahu Ane, hingga gadis itu menghentikan langkahnya. Dengan malas, Ane memutar kepalanya ke arah Puan yang ada di sampingnya.

"Itu.." Ane mengernyitkan dahinya, tak maksud apa yang di ucapkan Puan. Pria itu hanya berucap itu, dan tidak ada kelanjutannya kembali.

"Apa?"

"Cincin pertunangan kita." Sahut Puan kembali sembari menatap ke arah jari manis Ane yang kosong, Ane memang sengaja tak mengenakan cincin itu. Apa gunanya juga mengenakan cincin pertunangan, toh semua ini hanya sandiwara.

"Kenapa?"

"Ya, pakai aja," Puan bingung sendiri harus menjelaskan dari mana agar Ane mau mengenakan cincin pertunangan mereka. Namun disisi lain, Puan juga bahagia saat ini, setidaknya Ane masih mengenakan gelang pemberiannya.

"Iya." Jawab Ane simpul lalu melanjutkan langkah kakinya, meninggalkan Puan yang mematung di tempat sembari menatap punggungnya yang semakin jauh dari pandangan Puan.

***

Mahanta memfokuskan pandangannya, membidik bola warna merah yang ada di depan tongkat billiar nya. Ia mencoba untuk fokus,, fokus,, fokus saat ini untuk dapat membidik dengan tepat sasarannya. Dan,,

Arkkkkk

BRAKKKKKK

Dia gagal, gagal membidik bola yang sebelumnya ia incar. Mahanta mengeram sembari membanting tongkat billiar nya, menghantam vas yang tak jauh dari sana.

"Lo kenapa?" Janu kaget bukan main, bahkan ia mengabaikan permainan PS nya yang sudah diujung kemenangan itu, Janu segera berdiri dari duduknya dan menghampiri Mahanta yang sudah menelungkup kan kepalanya pada meja billiar.

"Men! Lo kenapa?" Fahraz yang sedari tadi menjadi lawan Mahanta dalam permainan billiar pun bingung di buatnya. Padahal hanya satu kali tembakan meleset Mahanta bisa semarah ini?

Bukan, salah sekali jika mereka berfikir Mahanta marah karena gagal memasukkan bola. Bola yang melesat itu bukan sembarang bola. Mahanta memperumpamakan bola yang menjadi pelurunya itu adalah dirinya. Dan bola yang sedari tadi menjadi incarannya adalah Ane. Ia berharap peluru itu tepat sasaran, membidik tak melesat. Ia berharap dirinya dapat mendapatan Ane. Namun salah, bola itu melesat hingga tak menyentuk bola incarannya sebelumnya. Dan saat ini Mahanta sedang merasa kalau ia gagal mendapatkan Ane. Ya, gagal.

Tak dapat dipungkiri, kejadian beberapa hari lalu di apartemen Ane-saat Mahanta tanpa sadar mengamati jari manis Ane yang bertenggerkan cincin.

Pertama, Mahanta tak mau ambil pusing, namun, lama-lama cincin itu mencuri perhatiannya juga. Setelah Mahanta amati lebih detai, ternyata cincin itu ada ukiran nama, dan yang lebih mengejutkan lagi, nama yang terukir di cincin itu adalah nama Puan. Puan Mada Muda.

Mahanta masih belum bisa menerima semua itu. Ia masih belum rela Ane menjadi milik Puan. Belum untuk saat ini. Ia geram sendiri saat mengingat jika ia kalah dari Puan, lagi.

Dulu saat ia dan Puan menyukai Paradista Puan yang mendapatkannya. Dan saat ini, setelah Mahanta mencoba untuk membuka hati lagi, ternyata Puan juga yang mengacaukannya. Bagaimana tidak jengkel jika sudah dua kali ia gagal karena pria yang sama, Puan.

"Rileks, tenangin diri lo." Fahraz duduk di samping Mahanta sembari menyodorkan botol air mineral.

"Masalah nggak akan selesai dengan cara lo gini Ta, kalau ada masalah selesaikan segera. Meskipun itu menyangkut wanita." Tambah Fahraz.

Benar juga apa yang dikatakan Fahraz, masalah itu bisa selesai jika di hadapi, bukan dipendam seperti ini, hanya bisa menambah penyakit hati dan kejengkelan.

Lihat selengkapnya