Hingga Ane menghabiskan 3 gelas jus mangga Puan tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Lebih dari 1 jam Puan tak kunjung datang, padahal pria itu janjinya hanya 1 jam. Ane berniat beranjak dari kursi ini dan segera pulang ke apartemennya, namun ada yang menepuk bahunya, sontak ia memutar kepalanya.
“Mahanta.” Ucapnya tak kala menamati wajah pria yang mengagetkannya itu.
“Udah kenyang nih minum jus mangga habis tiga gelas.”
Mahanta, pria itu sedaritadi menunggunya--sengaja membuntuti Ane dari apartemen Ane. Mahanta hanya ingin tahu, seperti apa makan malam sepasang kekasih itu.
Ane hanya terkekeh mendengar ocehan Mahanta itu, ia sedikit kecewa saat dugaannya melesat. Ane kira yang mengagetinnya barusan Puan, bukan Mahanta.
“Jalan yuk.” Sahut Mahanta sambil meraih tangan kanan Ane, pria itu menggenggamnya.
Ane sontak menarik tangan kanannya--refleks, ia juga heran kenapa ia melakukan hal itu.
“Kenapa?” tanya Mahanta heran.
“Eh,, nggak papa. Gue mau langsung balik ke apartemen, kapan-kapan aja. Gimana?”
Apa yang dapat Mahanta lakukan? Memaksa Ane seperti biasa yang dilakukan Puan? Kurasa tidak, Mahanta sadar ia siapa saat ini. Ia tak ada hubungan khusus dengan Ane.
“Baiklah.” Sahut Mahanta akhirnya.
Puan mengulas senyumnya saat mengamati tingkah dua orang yang ada di depannya. Ya, ia sudah berasa di restoran dimana ia janjian dengan Ane sebelumnya. Entah kenapa Puan tak dapat menahan tawanya saat melihat Ane menolak mentah-mentah Mahanta. Puan tak berfikir sejauh itu terhadap sikap Ane.
Puan tak dapat menahan dirinya, saat Mahanta sudah pergi dari jangkauan Ane, Puan melangkahkan kakinya lebar-lebar ke arah Ane. Siap menghampiri gadis pujaannya itu.
Ane memencet smart key nya, akhirnya ia memilih untuk pulang saja, ia tidak seperti gadis-gadis penurut yang sering ia lihat di film-film—menunggu pasangan hingga restoran tutup.
Ane janji ia akan memaki Puan habis-habisan jika pria itu menampakkan batang hidungnya. Bagaimana bisa ia di buat menunggu selama itu. Dan juga, ia sudah berpenampilan semewah ini dan sia-sia? Ah, Ane kesal sendiri mengingatnya.
Ane membuka pintu mobilnya, hingga tiba-tiba ia merasa ada yang memeluknya dari belakang, dengan sangat erat.
Ane gelagapan, fikirannya melalang buana kesana kemari, siapa orang itu?
Namun Ane menghela nafas lega saat mencium aroma parfum ini, ‘Puan?’ ya, yang ada di fikirannya hanya Puan, dan saat pandangannya menunduk, ia melihat ada cincin di jari manis tangan kiri pria pemeluknya itu. Jelas, ini memang Puan.
“Puan.” Ucap Ane saat Puan masih saja memeluknya, hingga Ane rasanya sesak nafas.
“Hem?” Tanpa merasa bersalah atau apa, pria itu hanya berdeham tanpa melonggarkan pelukannya.
“Lo sakit?” sinis Ane. Aneh saja baginya tiba-tiba Puan memeluknya.
Puan tak menjawab, pria itu masih saja berada di posisi, tak mengindahkan tatapan orang yang memandangnya tanpa henti—pandangan iri.
“Da banyak orang, lo kira ini parkiran punya nenek moyang kamu.”
“Besok biar aku beli.”
“Da!” sahut Ane, nadanya naik satu oktaf saat Puan masih saja tak hempas dari dirinya, bahkan kepala pria itu bersandar pada bahunya.
“Iya, iya.” Dengan berat hati Puan melepaskan pelukannya, memutar tubuh Ane hingga berhadapan dengannya.
Puan mengulas senyumnya menatap dua manik mata Ane. Cantik, itulah kata yang dapat ia lontarkan saat melihat tampilan gadis yang ada di depannya saat ini juga.
Ane menundukkan kepalanya, ia risih sendiri dengan tatapan Puan yak tak henti menatap dirinya. Bukan risih, lebih tepatnya gugup.
“Ayo.” Puan menari tangan kanan Ane, mangajak gadis itu masuk ke dalam mobilnya.
“Kita,,kita mau kemana?”
“Kota Tua.”
“Gue bawa mobil tadi. Kita nggak usah berangkat—“
“Udah, nanti biar Mang Asep yang nganterin mobil lo ke apartemen lo. Sekarang lo bareng gue.” ucap Puan.
***
Akhirnya, pilihan mereka berdua jatuh pada pedagang siomay, Ane memang tak sempat makan tadi, rasa laparnya hilang saat Puan tak kunjung datang. Namun, melihat wajah tampan tunangannya itu, membuat Ane kembali lapar.
“Udah selesai tadi sama Bu Sonya?” Puan mengangkat wajahnya, menatap dua manik mata yang ada di depannya.
“Cemburu sama Bu Sonya?” Puan terkekeh sendiri dengan pertanyaannya.
Namun Puan da benarnya juga. Ane melempar ucapan seolah gadis itu sedang cemburu dengan Bu Sonya.
Ane meruntuki ucapannya barusan. Ya, seharusnya ia tak bertanya udah selesai dengan bu Sonya?, tapi, udah selesai rapatnya.
“Apaan sih.” Sahut Ane malas memperpanjang dan memilih untuk meminum es teh yang sebelumnya ia pesan.
Puan mengyunggingkan senyumnya saat mendapati jari manis Ane mengenakan cincin pertunangan mereka. Puan sadar, sangat sadar dengan perasannya saat ini. Ia berjanji pada dirinya sendiri, ia akan mengutarakan perasannya pada Ane—sejujur-jujurnya saat mereka pulang dari Bandung. Puan janji.
“Ne?” Ane mengangkat wajahnya, menatap Puan yang ada di depannya.
“Bukan apa-apa, cepet habisin gue udah ngantuk.”
Apa-apaan ini Puan?
Bukan kata itu yang akan Puan ucapkan tadi namun Kalau kita hapus perjanjian itu gimana? Kita tunangan beneran. Jalanin semua ini tanpa ada kebohongan. Sebenernya gue sayang beneran sama lo. Gimana? Ya lagi dan lagi, Puan dikalahkan dengan gengsinya.
“Besok, gue jemput lo, jangan lupa.”
“Iya.” Ane membuka pintu mobil pria itu.