Puan menggotong seluruh belanjaan dan menatanya hingga rapi di bagasi, sedangkan Ane, gadis itu membawakan 2 kup Cappuccino dingin.
"Makasih." Sahut Puan saat Ane memberikan yang satunya padanya.
Dan, gadis itu hanya menganggukkan kepalanya, menit berikutnya Ane melesatkan diri ke dalam mobil. Tak lama, Puan juga masuk ke dalam mobilnya karena semua barang sudah tertata rapi.
"Makan dulu, kita tadi nggak sempet makan padahal mamah masak besar, ada rendang juga." Ucap Ane sambil membukakan bungkus sandwich dan memberikannya pada Puan.
"Makan dulu," sahut Ane lagi saat Puan hanya menatap wajahnya tanpa mengindahkan sandwich yang ada di tangan kanannya. Tapi menit berikutnya Puan mengambil roti itu dan segera memakannya.
Puan terpaku sejenak. Ane memang ajaib, beberapa menit lalu gadis itu mendiamkannya tapi saat ini sikapnya berbalik. Namun sebentar, karena sikap Ane berubah dingin kembali.
"Nanti kalo lo capek bilang aja, gantian nyetir ntar." Sahut Ane sambil membuka kaleng soda dan memberikannya lagi ke arah Puan.
Entah mengapa mendapat perhatian kecil dari Ane membuat Puan semakin menyesal membuat perjanjian 2 tahun dengan Ane. Seharusnya ia membuat perjanjian seumur hidup dengan gadis itu.
***
"Nu Lo yakin Puan sama Asoka dateng beneran?"
"Yakin, santai aja." Ucap Janu sambil fokus pada jalan.
"Ranu gimana?" tanya Dendra.
"Dia hari ini ada di Malang, besok baru sampek disini. Nggak papa lah lagian observasi kita mulainya juga besok." Jelas Fahraz.
Mahanta masih fokus dengan ponselnya. Ia fokus mencermati pertanyaan apa saja yang akan diajukan kepada narasumber.
"Nggak usah terlalu dipikir pusing, ada si Puan." sahut Fahraz yang ada benarnya juga, tujuan mereka setuju dengan keputusan guru yang mengikut sertakan Puan dalam kelompok mereka karena kecerdasan Puan yang akan sangat membantu.
"Kalo gue bisa kenapa harus Puan?" Entah mengapa Mahanta jengah tiap kali mendengar nama Puan saat ini. Apalagi saat ada orang yang menilai kalau dia dan Puan lebih cerdas Puan.
"Inilah untungnya mempunyai 2 kubu cerdas." Dendra menepuk pundah Mahanta.
***
"Akhirnya." Seka merebahkan dirinya begitu saja di gazebo taman depan vila keluarga besar Ane begitu gadis itu turun dari mobil.
"Setelah nyasar berkali-kali terbayar sudah." Gina juga merebahkan dirinya di samping Seka.
mereka berdua sedang menikmati keindahan alam yang tergambar jelas di depan mata mereka. Pegunungan menjulang tinggi dengan kanan kiri kebun teh. Dan satu lagi, udara sejuk yang tak pernah mereka temui di Jakarta.
Sedangkan Rama dan Asoka, mereka berdua menurunkan koper pacar mereka masing-masing dan memindahkannya di dalam vila.
"Gabung Seka sama Gina aja, biar gue urusin." Sahut Puan sambil mengambil koper milik Ane.
"Yakin?" Sahut Ane ragu, karena barang yang ia bawa sangat banyak, 3 kali lipat dari barang Puan, apalagi ada barang yang ia beli dari Supermarket tadi.
"Hem," Puan hanya berdeham, tanpa menolehkan pandangan pada Ane apalagi menatap manik mata gadis itu. Pria itu telah kebali ke asalnya semula--pria dingin? Cowok kaku? Bisa-bisanya Ane di cuekin kembali.
Ane tak mau mengambil pusing perubahan sikap Puan yang drastis, gadis itu melangkah ke arah gazebo kayu Jati itu dan tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia segera bergabung merebahkan dirinya di gazebo kayu jati berukuran besar itu.
"Lo bilang vila ini terakhir di renovasi waktu lo kelas 6 SD, tapi kenapa masih bagus banget ya Ne?" Gina mengamati bangunan vila bernuansa putih itu. Halamannya yang luas terlihat tak ada sampah yang berceceran. Pohon bonsai juga berbentuk macam-macam, menandakan ada tukang kebun yang merawatnya.
Saat mereka melihat ke dalam vila juga sudah bersih. Gina kira mereka harus kerja bakti untuk membersihkan vila sebelum menghuninya 4 hari kedepan.
"Gue juga nggak tahu, terakhir gue kesini ya waktu renovasi itu, kalo ke Bandung nggak pernah ke vila ini langsung ke rumah kakak gue." Ane mulai fokus pada ponselnya saat ponselnya berdering sedari tadi.
"Iya mah?"
"...."
"Udah sampek mah."
"......"
"Sempet tadi Seka sama yang lain nyasar."