Amran telah kehilangan senyumnya saat ia menyadari ada cincin yang menghiasi jari Manis Ane. Seolah ia kehilangan harapannya selama ini. Harapan suatu saat ia dapat bersanding dengan gadis yang ia kagumi bertahun-tahun itu.
Amran memang tak banyak berharap terhadap Ane, namun Ane lah yang membuat ia mau menjadi pria yang lebih baik. Ia mengurangi porsi makannya dari sebelumnya agar badannya tak segendut sebelumnya, ia juga rajin olahraga, lari, berenang dan olahraga lainnya agar ia memiliki tubuh yang tinggi tegap. Ia juga berkuliah, disaat banyak orang yang tak mendukungnya seperti Pak kosim—bapaknya, namun ia terus berkuliah dengan mengandalkan beasiswa dan gajinya bekerja di kebun teh milik keluarga Ane. Ia berharap dengan kuliah suatu saat ia mendapatkan pekerjaan yang mapan di kota, dan ia berharap dapat bertemu dengan Ane kembali.
Namun semuanya Pupus saat ia melihat cincin sudah menghiasi jari Manis Ane.
Amran mengalihkan pandangannya dari Ane, memutar kepala mengamati petani teh yang tak jauh darinya, hingga ia melihat seorang gadis melambaikan tangan ke arahnya.
“Oh ya mbak, saya masih ada pekerjaan. Kalau begitu saya permisi.” Sahut Amran sambil berdiri dari duduknya dan kembali ke kebun teh itu.
Ane mengamati Punggung Amran yang semakin jauh dari pandangannya. Ia senang bertemu dengan teman semasa kecilnya itu. Orang yang mengajarinya berenang, Orang yang membuat Ane bisa bermain layang-layang. Ane tersenyum jika mengingat masa kecilnya, saat ia beserta keluarganya belum menetap di Jakarta. Saat semua masih lengkap, ada Irianan juga. Dan saat papahnya—Pak Maharanendra belum menghianati mamahnya, menikah dengan Puspa.
Ane berdiri dari duduknya, cukup ia melamun dan menatap hampa hamparan kebuh teh ini. Gadis cantik itu melangkahkan kakinya kembali ke area vilanya.
“Lo dari mana?” sahut Seka saat menyadari temannya itu baru kelihatan.
“Lihat-lihat aja tadi.” Jawab Ane sambil menjeburkan kakinya di pinggir kolam renang.
Teman-temannya yang lain sudah berenang, terkecuali Puan yang disibukkan dengan ponselnya. Seperti biasanya, pembisnis muda itu harus mengecek semua laporan perusahan yang dikirim Bu Sonya. Walaupun ia jarang menampakkan diri di perusahaannya namun ia mempunyai tangan kanan yang sangat ia percaya—Bu Sonya.
Ane hanyak menatap Puan, namun pria itu masih saja fokus pada ponselnya. Entah mengapa ingatannya terpaut dengan kejadian beberapa jam lalu. Saat ia bertemu dengan seorang pria tampan yang ternyata itu Amran. Pria dekil semasa kecilnya namun berubah menjadi pria yang sangat tampan di dewasanya.
Seka menarik paksa kaki Ane, saat ia gemas temannya itu hanya menatap hampa kolam renang, Bukannya tujuan Ane pergi ke Bandung untuk berlibur, bukan melamun?
“Nggak, gue tadi pagi baru keramas. Males renang.” Protes Ane sambil menyingkirkan tangan Seka dari kaki kananya.
“Seru padahal.” Ucap Gina sambil terus-menerus menyelamkan dirinya di air kolam renang itu kembali.
Kolam renang vila keluarga Ane memang indah. Kolam renang dengan ukuran sangat besar yang berseberangan dengan jurang yang penuh dengan pepohonan asri. Jadi kita dapat menikmati hembusan angin sejuk sembari berenang kembali. Jarang sekali mereka melihat semua ini di Jakarta.
“Besok kita ada acara makan malam jam 8, sebelum jam 8 harus sudah siap.” Ucap Puan yang seketika mendapat perhatian dari semua orang yang berada di kolam renang. Pria itu berdiri dari kursi panjang yang ia duduki. Dan berjalan keluar dari area kolam renang saat ia mendapatkan telpon entah dari siapa.
“Siap bos.” Ucap Asoka sambil meneguk jus jeruk yang ada di pinggir kolam renang.
“Ne masalah endors, lo mau selesaikan kapan? 10 produk belum harus selesai dalam 1 minggu ini.” Ucap Seka sambil menepikan diri di pinggir kolam renang.
“Hari ini harus selesai 5 produk, biar besok selesai tinggal wisata deh.” Sambung Seka lagi.
“Harus banget ya bahas pekerjaan disaat liburan?” tanya Gina seolah tak setuju dengan polah pikir ke dua temannya itu.
Berlibur untuk merefresh otak, menyingkirkan semua kesibukan di Jakarta, namun itu tak berlaku bagi Ane. Benar kata Seka, ia akan mendapatkan denda jika melanggar kontrak bertanda tangan dan bermaterai yang sebelumnya ia tanda tangani—kontrak mengenai promosi brand endors.
“Ya gimana lagi, aslinya males.” Jujur Seka.
“Tema yang mau gue usung kali ini pedesaan, biar foto endors nggak di gedung-gedung muluk. Makanya gue sambi.” Jelas Ane sambil berdiri dari duduknya.
“Oh ya, masalah fotografer, udah dapet?” tanya Seka sembari beranjak dari tepi kolam renang, gadis itu mengenakan kembali kimono untuk membalut baju renang sebelumnya dan berduduk manja di kursi santai.
“Lupa?” tanya Seka saat Ane hanya menatap kosong ke arahnya.
“Iya, Ka, belum gue calling. Bentar.” Ane segera mengambil ponsel dari saku celananya, mencari kontak Rizky—sang fotografer andalannya setiap kali berkunjung di Bandung.
“Gimana?” tanya Seka kembali, karena lebih dari 20 menit Ane belum juga berbicara pada orang di sambungan telpon itu.
“Gue telpon nggak diangkat,”
“Cari yang lain Ne.”
“Yang lain siapa? Soalnya gue orangnya nggak suka gonta-ganti fotografer, jadi kalo udah ada satu yaudah. Biasanya Rizky selalu stay kalo gue telpon.” Gerutu Ane, gadis itu masih saja menyambungkan telponnya.
“Ngapain?” Asoka mulai menepi dari kolam renang, berjalan ke arah Seka dan Ane yang masih saja sibuk membahas Rizky—fotografer yang tak kunjung mengangkat telpon Ane.
“Wah, parah lo Ne, udah ada Puan lo masih ngelirik kanan ngelirik kiri.” Oceh Asoka seperti tidak tahu tempat, saat ini Ane bingung beneran tapi pria itu bisa-bisanya melucu? Belum lagi nanti kalau ada si jealous Puan, bisa-bisa Ane kena semprot Puan nanti.
“Diem lo mulut kakus.” Sinis Seka sembari mendorong Asoka hingga pria itu nyemplung lagi ke kolam renang.
“Eh! Ram, pacar lo aniaya gue Ram.” Dan akhirnya Asoka mencari mangsa lagi, pria itu berenang ke arah Rama yang masih stay di kolam renang bagian tengah.
Seka dan Ane tak mengindahkan ocehan Asoka yang tak berfaedah itu, dua gadis cantik ini masih sibuk mencari jalan keluar.