“Serius lo di Bandung?” Ane tak dapat membendung senyumannya begitu mendengarkan penuturan Mahanta kalau pria itu saat ini sudah ada di Bandung. Bukan apa, hanya saja Ane dapat penyelesaian masalah saat ini.
“Iya, gimana?”
‘Moga aja Mahanta mau bantu gue.’ gumam Ane.
“Ta?”
“Ya, gimana Ne?”
“Lo mau bantu gue?”
“Ngomong aja.” Sahut Mahanta santai.
Mendengar respon baik dari Mahanta Ane seolah mendapatkan lampu hijau.
“Lo mau nggak jadi fotografer gue? hari ini. Ya? Mau ya,, please.” Sahut Ane penuh pemohonan.
Ane tak lagi mendengar suara di sambungan telpon itu, mungkinkan Mahanta menolaknya?
Mahanta berfikir sejenak, Puan lebih pandai dalam segala bidang Tinimbang dirinya, termasuk dalam hal fotografi. Tapi kenapa Ane tidak memina tunangannya saja—Puan, karena keahilian pria 17 tahun itu dalam hal fotografi tak bisa di remehkan.
“Yakin nih?” tanya Mahanta lagi, mungkin saja ia salah dengar.
“Iya, mau nggak? Nanti gue kasih deh apapun yang lo mau.” Sahut Ane menggiurkan.
“Janji? Makan malem besok?”
Ane terdiam sejenak, menimang-nimang ucapan Mahanta. Kalau ia dan Mahanta makan malam, bisa-bisa Puan mencak-mencak tak jelas. Ane masih ingat sekali bagaimana nada suara pria itu setiap melihat Ane jalan dengan Mahanta.
‘Lagian, ini salah Puan juga. Siapa suruh dia nggak mau bantu gue. Coba dia mau bantu gue nggak mungkin dong gue minta bantuan Mahanta.’
"Ne?”
“Iya. Sekarang gue share loke lokasi vilanya ya, sekalian mampir.” Sahut Ane yang mendapatkan persetujuan dari Mahanta.
Ane menghela nafas panjang, satu masalah terpecahkan.
***
“Gimana?” sahut Seka saat Ane mendudukkan diri disampingnya.
“Semua barangnya siapin ya, gue mau mandi dulu, 30 menit lagi gue selesai.” Jelas Ane sembari berdiri dari duduknya lagi.
“Yang jadi fotografer Ne?” Tanya Seka saat ingin tahunya memuncak. Namun ada satu nama yang terbesit di otak Seka saat ini, Mahanta. Ya, setelah Ane menerima telpon dari Mahanta gadis itu terlihat lebih fresh, seperti ada beban masalah yang hilang.
“Mahanta.” Ucap Ane lalu melangkahkan kakinya ke lantai 2, dimana kamarnya berada.
“Mahanta?” beo Rama dan Asoka bersamaan.
“Gilak, kita baru menapaki kaki di tempat ini tapi harus denger orang cek-cok lagi nanti?” protes Gina.
Gina yakin, kalau Puan menyadari ada Mahanta—terlebih menjadi fotografer Ane, pria itu akan membuat keonaran dan bertengkar lagi dengan Ane.
Seka menghela nafas panjang, “Ini semua juga salah Puan, siapa suruh dimintai tolong malah gitu.” jelas Seka, karena tak hanya Ane yang mengemis Puan untuk membantu pemotretan barang endors saat ini, namun Seka juga. Dan nasip Seka juga seperti Ane, ditolak mentah-mentah.
Ane mengenakan dres tanpa lengan warna merah yang panjangnya hingga mata kaki. Gina yang lihai dalam hal menata rambut, menggelung rambut Ane, gelungannya terlihat indah, sangat natural namun elegand.
Ane mengenakan wedgess warna coklat tua. Ia juga mengenakan kalung yang sangat indah di lehernya. Ane menuruni tangga saat ponselnya berdering, ada pesan masuk dari Mahanta. Pria itu sudah sampai di vila Ane.
“Hai.” Sapa Ane ramah begitu matanya menatap dua manik mata pria berkaos putih dan bertopi coklat itu.
Mahanta, begitu mata Ane menatap dan mengunci matanya, pria itu seperti kehilangan oksigen di sekitarnya. Matanya tak lelah mengamati wajah gadis cantik ber dress merah itu.
“Oh, hai.” sapa ramah Mahanta.
“Mau minum apa?” tanya Ane.
“Nggak usah, habis minum tadi. Gimana kalau kita mulai sekarang?” tanya Mahanta yang tentu saja mendapatkan anggukan persetujuan dengan Ane.
Jujur, Ane ingin segera melewati sesi ini, dan ia berharap Puan tak menyadari kalau Mahanta ada di sini. Ane hanya malas harus bentok dengan ocehan Puan yang tak berujung jika mengetahui Mahanta ada disni, terlebih menjadi fotografer Ane saat ini.