Puan mengatur nafasnya, saat ini ia heran sendiri, bagaimana bisa ia seemosi itu hanya karena melihat Mahanta dan Ane, setelah berdiam 5 menit fikiran Puan lebih dingin dari sebelumnya, ia bisa berfikir jernih saat ini. Dan saat ini ia merasa bersalah pada Ane. Ya, tak seharusnya ia marah dengan intonasi tinggi seperti tadi.
Puan mendudukkan dirinya di sofa panjang, tangannya telungkup menutupi sebagian wajahnya, ia mencoba menenangkan dirinya, hingga ia merasa bahunya di tepuk perlahan.
“Minum.” Asoka memposisikan diri di samping Puan.
2 menit, 3 menit, tak kunjung ada yang buka suara.
“Gue tahu apa yang lo rasain.”sahut Asoka.
“Ya, gue nggak salahin lo tentang kejadian tadi. Cemburu? Wajar apalagi cewek lo—eh, salah tunangan lo secantik Ane, okkelah wajar. Namun, sikap-sikap keras lo pada Ane harus lo kurangin Da,”
“Sebelum Ane minta bantuan sama Mahanta dia minta bantuan gue buat jadi fotografernya, tapi,, ya, lo tahu lah gimana keahlian gue megang kamera. Nggak banget kan? Dia juga sempet minta bantuan yang lain, tapi tetep saja, produk endors yang baru di garap tadi bukan main-main makannya Ane nggak berani main-main sama fotografernya, ia cari yang memang pandai pegang kamera, sebelumnya kan emang udah minta bantuan lo tapi—lo tolak mentah-mentah. Kan?”
Puan masih diam, belum buka suara, tapi ia mendengar dengan cermat setiap kata yang keluar dari mulut Asoka. Semua kata-kata Asoka, seketika ia menyesal dengan perlakuannya pada Ane tadi.
Merasa tak ada yang harus di sampaikan pada Puan, Asoka berdiri dari duduknya, hingga suara sepihak yang membuatnya menghentikan langkahnya, menolah pada asal suara.
"Makasih, lo banyak bantu gue.” Puan mulai bersuara, walaupun pria itu berucap tanpa menatap lawan bicara.
Asoka menganggguk lalu melanjutkan langkahnya, memberi waktu untuk Puan menyendiri.
***
Ane sesegukan, rasanya air matanya sudah kering saat ini. Lebih dari 20 menit gadis itu terus-menerus menangis.
Ane sudah lelah, lelah dengan sikap Puan yang selalu saja menyalahkannya. Entah mengapa 3 bulan mengenal pria itu selalu saja bertengkar dan bertengkar, hingga ada cincin di antara mereka berdua pun tetap bertengkar. Ane heran sendiri, apa mungkin ini yang namanya tidak jodoh?
Ane menutup seluruh wajahnya dengan selimut, tak mau menampakkan wajah mengenaskannya pada Seka yang berjalan ke arahnya.
Seka mendudukkan diri di pinggir ranjang—di samping Ane. Seka menghela nafas panjang, ia tahu keadaan Ane sangat buruk saat ini, gadis itu tak kunjung menghentikan tangisnya. Tangan Seka terulur, mengusap puncak kepala Ane yang belum tertutupi oleh selimut.
“Nggak papa, nangis sepuasnya kalau itu bisa buat lo lega.” Sahut Seka sembari tetap mengusap puncak kepala Ane.
***
Setelah selesai berkeliling sekitar vila, Gina masuk kembali ke dalam vila, namun yang ia lihat hanya suasana sepi disini. Ya, sepi sekali. Seperti tak ada aktifitas teman-temannya hari ini. Padahal, sebelum Gina pergi ia melihat ada pemotretan Ane, dan semua teman-temannya kumpul di sana. Namun, saat gadis itu memutar kepalanya ke arah kolam renang, kosong. Hanya ada bekas camilan di atas gazebo. Akhirnya Gina melangkahkan kakinya kembali masuk ke dalam, dan sekarang matanya melihat Puan—pria itu duduk di sofa ruang tengah, berkali-kali Gina melihat Puan mengacak kasar rambutnya, pria itu juga menyentak-nyentakkan kakinya ke lantai. Ada apa? Guman Gina.
Perlahan ia mulai sadar, mungkin Ane dan Puan ada masalah, lagi?
Gina segera melesat ke lantai dua, dimana kamar Ane berada, namun saat ia menapaki tangga sekelebat ia melihat Asoka baru turun dari lantai dua, wajah pacarnya juga kelihatan tidak mood. Sebenarnya, ada apa ini? Kenapa disaat liburan seperti ini wajah orang-orang semua masam?
“As.” Gina meraih tangan Asoka, menahan pria itu agar tetap diposisinya.
Asoka mendongakkan pandangannya, pria itu mengukir senyumnya tak kala melihat gadis yang ia cari beberapa menit lalu kini sudah ada di depan matanya.
“Gina.” Panggil Asoka dengan suara sebahagia mungkin. Asoka melentangkan kedua tangannya lebar-lebar, berniat memeluk Gina, namun langkahnya terhenti saat Gina malah menonyor dahinya. Apa apaan ini?
Asoka berdecak malas, raut wajahnya berubah 90 persen, kembali masam seperti semula. Gina memutar bolamatanya malas, kalau Asoka sudah kumel lagi mukanya, menandakan pria itu sedang tidak mood. Kemungkinan Asoka tak akan mau menjawab pertanyaan Gina jika bentuk pria itu seperti ini.
Cupp.
Sekilas, Gina mencium pipi Asoka.
Asoka membulatkan matanya sempurna, raut wajahnya kembali bahagia akibat ulah Gina barusan. “Kamu—“
“Ini baru ada masalah apa? Kenapa suasana vila jadi tegang? Tadi di bawah gue juga lihat Puan kayak depresi giitu.” Gina memotong ucapan Asoka, ia tahu apa yang akan Asoka ucapkan, gadis itu juga Mai menapaki tangga kembali.
“Tadi sempet ada bentrok.”
Sontak, mendengar kata bentrok Gina menghentikan langkah kakinya untuk menapaki tangga.” Bentrok?” tanya gadis itu sembari memutar kepalanya ke arah samping, menatap Asoka.
Asoka mengangukkan kepalanya.
“Puan sama Mahanta berantem?”
“Bukan beb, Bukan sama Mahanta Puan bentroknya, sama Ane.” Sahut Asoka yang membuat Gina merubah raut wajahnya menjadi cemas 45.
“Kenapa sih, nggak di Jakarta, nggak di Bandung Puan selalu aja marah-marah. Heran gue.” sahut Gina sembari menapaki tangga kembali.
“Lo mau ke kamar Ane?” tanya Asoka basa-basi.