Ane memutar musik dari aplikasi yang ada di ponselnya, sembari menikmati air hangat yang memanjakan tubuhnya dengan bath bomb lembut dan wangi yang memanjakan hidungnya, Ane memutar lagu Bad Liar—imagine Dragons. Gadis itu menikmati setiap lirik yang dinyanyika oleh Dan Reynolds.
So look me in the eyes, tell me what you see.
Perfect paradise, tearin’ at the seams.
I wish I could escape it, make your heart believe.
But I’m a bad liar, bad liar.
Now you know, now you know.
I’m a bad liar, bad liar.
Now you know, you’re free to go.
“Aku memang seorang pembong. Seorang pembohong besar, mencoba berbohong pada diriku sendiri tentang perasaanku ini. Ya, aku memang pembohong yang buruk.”
I’m bad liar, bad liar.
Now you know, you’re free to go.
Itulah salah satu penggalan dua larik lirik yang entah mengapa selalu terngiang-ngiang dalam fikiran Ane. Ia selalu mengelak pada dirinya sendiri setiap hatinya merasa ada perasaan pada Puan, entah mengapa Ane berusaha mati-matian membekukan hatinya.
Setelah segar selesai berendam lebih dari 1 jam di bathub air hangat dengan bath bomb yang baunya masih melekat dari hidungnya membuat Ane merasa lebih baik saat ini. Ane saat ini sudah kembali mengenakan kimono warna merah, rambutnya yang masih setengah basah membuatnya meraih hairdryer dan berniat mengeringkan rambutnya.
Tangan kiri Ane memegang sisi kiri rambutnya, sedangkan tangan kanannya memegang gagang hairdryer dan Ane pantau dari pantulan kaca meja rias yang ada did depannya, entah mengapa pandangannya tertuju pada jari manis tangan kirinya, lagi.
Dadanya sesak setiap kali mengingat kenyataan bahwa ia dan Puan menikah di atas perjanjian, dan sikap Ane tadi yang seolah mendinginkan Puan adalah caranya tersendiri agar hatinya tak jatuh pada pria itu. Ane hanya takut, ia jatuh cinta disaat ia harus melepaskan.
Selesai dengan sesi mengeringkan rambutnya, Ane memolesi wajahnya dengan serum dan mengolesi lip blam pada bibir pucatnya, Ane menghela nafas pajang melihat kantung mata yang lebih gelap dari kedua matanya, padahal tadi ia sudah mengompres dengan air es, namun tetap saja kantung mata itu tak juga hengkang dari kedua matanya. Ya, walaupun itu tidak mengurangi sisi kecantikan Ane.
Ane berdiri dari duduknya, berniat untuk langsung tidur saja, karena jam sudah menunjukkan 9 malam, namun rasa lapar membuatnya berputar haluan. Ane segera melangkahkan kakinya ke lantai bawah, dimana meja makan berada. Ia tak sabar mengisi perut datarnya. Ia lapar!
Clek.
Ane membuka pintu kamarnya, dengan pandangan menunduk, entah mengapa seketika pandangannya tertuju pada kaki. Kaki manusia yang beralaskan flip flap. Sepertinya ia tahu itu kaki siapa. Ane mendongakkan kepalanya, seketika kedua netranya terpaut pada mata sendu yang menatap ke arahnya. Puan?
Ya, pria itu sedari tadi berdiri di depan pintu kamar Ane, entah mengapa saat turun ke bawah untuk makan malam ia mengurungkan niatnya begitu tak kunjung melihat Ane menampakkan hidungnya. Saat teman-temannya menanyakan kenapa tidak makan? Puan selalu menjawab, ‘Gue, masih kenyang. Gue keatas dulu ya.’. Lalu, apa yang dia lakukan dengan berdiri tegak di pintu kamar Ane, percayalah sudah lebih dari 30 menit Puan berdiri di depan pintu kayu jadi itu.
Ane hanya menautkan pandangannya pada Puan 1 menit saja, menit berikutnya gadis itu menutup pintu kamarnya dan melangkah menuruni tangga.
“Lo mau kebawah?” tanya Puan, pertanyaan macam apa ini? Ane sudah menuruni tangga lantai dasar, kenapa ia harus bertanya kalau Ane akan ke bawah atau bukan? Akibat kegugupan Puan jadi sekonyol ini.
“Hem.” Hanya itu yang keluar dari bibir Ane, gadis itu masih melanjutkan langkah kakinya.
“Mau makan?” tanya Puan kembali.
“Hem.” Lagi, Puan hanya menjawab dengan berdeham.
Menit berikutnya Ane merasa lega saat ia tak mendengar suara Puan menanyainya lagi, karena ia sedang malas berhadapan bahkan mendengar suara pria itu. Ini hanya siasat Ane agar ia tak jatuh dalam pesona Puan kembali.
Ane menghentikan langkah kakinya, membuka tudung saji dan menarik kursi nya sendiri untuk duduk. Dahinya mengernyit saat melihat hal serupa dilakukan oleh Puan. Pria itu menarik kursi yang ada di samping Ane, dan mendudukkan dirinya di sana. Masa bodoh, Ane tak mau menanyai apa maunya pria itu, mungkin Puan juga lapar.
Ane mengayunkan tangannya mengambil piring, menyidukkan nasi dan lauk yang ia mau, menit berikutnya ia mengambil sendok dan makan dalam diam.
Sedangkan Puan? Pria itu tanpa malu memutar kepala ke arah gadis yang ada di sebelahnya. Ane. Menatap tiap inci wajah cantik gadis itu.
Ane berdiri dari duduknya, mengambil piring dan menyidukkan nasi.”Cukup?” tanyanya pada Puan.
Puan masih menatap Ane tak percaya, gadis itu mengambilkannya makan? Menyiapkannya makan? Sudah seperti layaknya pasangan romantis mereka.
“Ini cukup atau kurang?” tanya Ane kembali saat Puan hanya menatapnya.
“kurang sih.” Sahut Puan jujur. Dan, Ane menambahi nasi putih itu, hingga Puan berkata “Cukup.”
“Mau pakai apa?” lagi, Ane bertanya kembali.