Ane merebahkan tubuhnya begitu saja ke sofa panjang yang ada di balkon kamarnya. Ia telah mengganti dress toska itu dengan kaos dan celana pendek yang dibalut dengan kimono, ia berniat berenang namun entah, hawa sejuk membuatnya ingin bermalas-malasan menatap kebuh teh yang ada di depan matanya.
Ane heran sendiri bagaimana Puan bisa segerah itu padahal suhu di sini sangatlah d dingin menurutnya. Ane terus mengamati area taman depan vila yang berseberangan dengan kebun teh milik keluarganya dari lantai 2 vilanya, terlihat sangat indah pemandangan.
Namun pandangan Ane menangkap seorang pria yang sedang terduduk di taman depan yang dapat ia lihat dari balkon kamarnya. Ane mengumbar senyumnya sekilas. Pria itu mendongak, tersenyum ramah seperti biasanya saat melihat Ane menatap ke arah nya.
“Mbak, ada titipan dari bapak buat mbak Ane.” Ucap pria itu, ya siapa lagi kalau bukan Amran.
Ane tersenyum, ia segera berjalan keluar kamarnya. Saat akan menapaki tangga, Puan tak sengaja bertemu Ane yang sedang turun dari tangga, langkahnya terlalu cepat. Hingga kimono yang melapisi baju pendek dan celana pendek renangnya terbuka sedikit.
Puan menghentikan langkahnya dan memperhatikan ke arah mana tunangannya itu pergi. Ane tak menatap ke arah Puan sama sekali, membuat pria itu jengah melihat sikap Ane yang berbalik dingin ke arahnya. Bagaimana bisa dalam sehari Ane berubah sikap seperti itu? Tadi saat di pemotretan dia baik-baik saja pada Puan, dan sekarang? Seolah menatap wajah Puan saja jengah.
Tapi yakinlah, itu semua Ane lakukan untuk tidak jatuh dalam diri Puan lagi, Ane hanya tak mau ia mencintai di saat harus melepaskan. Hingga saat ini usia pertunangan mereka sudah 1 bulan.
***
“Hai.” Ane membungkukkan badannya, nafasnya terengah-engah.
“Dari bapak mbak.” Amran memberikan bungkus plastik warna hitam itu. Ane tersenyum, ia tahu apa isi bungkus ini.
Ane duduk di gazebo yang ada disampingnya. Ia membuka bungus itu, senyumnya tak pernah pudar. Ane membuka pembungkus kerdus berukuran sedang itu, mengeluarkan pia teh yang menjadi makanan favoritnya.
“Lebih enak dari perkiraanku.” Puji Ane tak henti memakan pia berwarna hijau itu.
“Kalo mbak Ane mau besok saya bawakan lebih banyak. Kalo begitu saya pamit dulu mbak.” Ane menahan lengan Amran saat pria itu hendak pergi.
“Duduk dulu, ada banyak yang mau gue tanya.” Sahut Ane sambil menepuk tempat duduk sampingnya. Amran menuruti saja ia mendudukkan dirinya di samping Ane, namun pria itu tetap menjaga jarak.
“Aku sempat denger dari kak Abi katanya kamu mau ke Jakarta? Serius?”
Amran tersenyum mendengar pertanyaan Ane, itu memang awal rencananya. Mencari kehidupan lebih baik di Jakarta hingga bisa bersanding dengan gadis yang sedari dulu ia suka. Anestessi Maharanendra, namun entah, menyadari sudah ada cincin yang menghiasi jari manis Ane membuat ia seolah mengurungkan niatnya.
“Nggak jadi mbak.” Amran menundukkan kepalanya menatap kakinya yang di balut sandal jepit yang warnanya sudah mulai pudar, bersanding dengan kaki putih bersih Ane yang dibalut dengan sendal rumahan yang Amran tahu itu pasti amat sangat mahal. Melihat hal itu membuat Amran semakin ciut nyali untuk menaruh perasaan terlalu jauh untuk Ane. Menurutnya ia terlalu miskin untuk mendapatkan anak seorang konglomerat seperti Ane.
Padahal Amran suka Ane bukan dilihat dari turunan—anak orang kaya, Amran memang menaruh hati pada Ane. Bahkan Amran sempat berharap Ane bukanlah gadis dari keluarga kaya, namun dari keluarga yang seimbang dengannya, anak orang biasa. Maka ia tak akan susah-susah untuk menghapus rasa pada Ane.
“Kenapa? Kamu nggak minat jadi model?” tanya Ane membuat Amran tertawa renyah mendengarnya.
“Apa to mbak, bentuk gini. Cuma anaknya orang tani.” Ane melayangkan kedua tangannya, menangkup pipi Amran, memutar kepala Amran begitu saja menghadap dirinya. Ia menatap tiap inci wajah pria yang lebih tua 4 tahun darinya itu, ia mengulas senyum sekilas.
“Kamu cakep, tinggal rapikan aja potongan rambut. Nggak ada yang nggak bisa di dunia ini.” Ane melepaskan tangannya dari wajah pria itu. Dan kembali memakan pia hijau itu.
“Kalau aku udah jadi model sukses punya banyak duit, bisa nggak ya mbak menemukan gadis seperti Mbak Ane?” Amran sangat lugu, Ane tertawa hingga tanpa sadar ia mengeluarkan air matanya melihat tingkah lucu teman masa kecilnya itu.
Amran memang tak pernah berubah, sikap lemah lembutnya dari kecil tetap sama padahal dia seorang pria. Walaupun sekarang pria itu sudah berubah menjadi sosok idola di kampung ini namun Amran masih tetap rendah hati dan tidak memanfaatkan wajah tampannya untuk bermain wanita seperti pria playboy lainnya.
“Lebih dari aku, bisa.”
“Siapa sih yang nggak suka sama cowok berkepribadian ramah kayak kamu, baik, cerdas, dan cakep.” Ucap Ane seolah menyihir Amran untuk tersenyum kembali.
“Tapi saya miskin mbak, Cuma anak orang...”
“Uang nggak segalanya.” Potong Ane sambil mengambil satu pie dari bungkus itu dan memberikannya pada Amran.
“Udah punya pacar dong pastinya?” tanya Ane membuat Amran menggelengkan kepalanya.
“Serius? Tapi yang suka pastinya banyak dong, nggak mungkin pria secakep lo nggak ada yang naksir.” Jelas Ane, Amran hanya dapat tertawa renyah.
Ane tidak tahu, kalau sedaritadi tingkahnya diamati oleh dua mata elang Puan, melalui jendela kaca lebar yang langsung terarah ke taman depan itu, Puan dapat melihat Ane dengan seorang Pria bercanda terlihat akrab. Puan tak dapat melihat dengan jelas wajah pria itu, karena mereka berdu membelakanginya.
“Saya nggak sekeren dan setampan mas Abi kok mbak.” Abimanyu, kakak Ane yang mempunyai wajah setampan tampannya. Mendengar kata Abimanyu, Ane mengingat pesan kakaknya beberapa jam lalu, untuk mengajak Amran ke acara makan malam. Ada banyak yang ingin Abi tanyakan pada temannya itu.
“Nanti malem kesini jam 8, pakaian serapi-rapinya. Oke?”
“Mau kemana kita mbak?”