Guys & Girls

Ayuk SN
Chapter #74

Panasnya Ane Di Pagi Hari

Ane memutar tubuhnya kembali ke arah dapur untuk melaksanakan kegiatan yang sempat tertunda, membuat satu gelas cokelat panas dan satu cangkir kopi hitam dengan gula sedikit—ya, itulah kopi kesukaan Puan. Ane heran sendiri kenapa pria itu suka meminum kopi dengan gula yang menurut Ane tak menghilangkan rasa pahit kopi itu sama sekali.

Ane sudah mendudukkan diri di samping pria berkaos putih, namun kedatangan Ane seolah masih tak Puan sadari, nyatanya Puan masih tetap fokus pada layar MacBook nya.

“Khemm.” Ane berdeham, namun masih saja tak ada respon. Tangan Ane melayang, siap menepuk bahu Puan, namun ia urungkan niatnya saat mengingat kejadian kemarin—saat Puan terbangun karena Ane menepuk pundaknya keras, Ane tak berniat membuat pria itu marah saat ini. Tidak.

“Minum dulu, mumpung anget.” Sahut Ane sembari menaruh cangkir kopi di samping MacBook Puan.

Puan menatap cangkir yang ada di samping MacBook nya, keningnya berkerut heran bukan main, sampai saat ini ia belum sadar kalau Ane sudah ada disampingnya. Puan memutar kepala ke arah asal suara tadi. Benar, Ane ada disampingnya.

“Kenapa? Mukak gue serem ya? Kok lo lihatin nya gitu.”

“Cantik.”

“He?”

Apa? Gue tadi bilang cantik?

“Foto lo habis gue edit jadi cantik nggak kumut-kumut kayak sebelumnya.”elak Puan. Puan sangat bersyukur lidahnya tidak tersandung saat berbohong tadi.

“Kumut-kumut?” tanya balik Ane, Ane mengambil alih MacBook, membuka fotonya sebelum di edit oleh Puan.

“Pandangan orang berbeda-beda.” Sahut Puan saat ekspresi wajah Ane seolah tak terima ia katai kumut-kumut. Padahal aslinya wajah Ane sebelum di edit pun cantik, dan Puan mengeditnya bukan untuk menambah cantik hanya untuk memberi warna lebih manis pada objek sekitar Ane.

Tak mau ambil pusing, Ane mengembalikan MacBook itu di depan Puan, gadis itu menyilangkan kakinya sembari mengambil gelas cokelat panas dan menyesapnya perlahan. Menghirup dalam-dalam aroma cokelat yang sangat memanjakan hidungnya dan membuat lebih fresh fikirannya.

Puan masih sibuk mengedit dengan Ane di sampingnya. Ane hanya mengamati, tak banyak bicara. Setelah Puan mengatainya kumut-kumut ia bungkam mulut.

“Gimana?” Puan menyerahkan MacBook nya, memperlihatkan hasil editannya pada Ane.

Ane menganguk ”lumayan.” sahut Ane.

“Lu-ma-yan?” tanya balik Puan seolah tak terima jernih payahnya hanya mendapatkan sambutan kata lumayan.

“Pingin panget gue puji.”

Puan mengambil cangkir kopi dan menyesap kopi yang ada di dalamnya. Pas, rasa kopi buatan Ane pas. Kopi banyak dengan gula sedikit seolah menghilangkan pegal pada leher kepala Puan yang sedari tadi menunduk pada layar MacBook.

“Gue—boleh nanya?” tanya Ane ragu, karena menurutnya ini moment pas, disaat Puan tak sesibuk tadi.

Puan mengangukkan kepalanya.

“Alasan lo setuju buat ajuin tanggal pernikahan kita. Apa?” Ane sudah memutar kepalanya sempurna pada Puan, namun pria dengan cangkir kopi di tangan kanannya hanya menatap depan, tanpa balas menatapnya.

“Apa?” tanya balik Puan yang membuat Ane berusaha untuk menghentikan otak keponya, namun nihil, Ane ingin tahu jawabannya malam ini juga.

“Ya, ada alasan yang mendasar dong kenapa lo mau mempercepat.”

“Lebih cepat lebih baik. Kan?”

“Mak—sutnya?” Ane masih tak mengerti seolah Puan memutar-mutar jawabannya.

“Besok waktu kita balik dari Bandung gue kasih tahu alasannya.” Puan berdiri dari duduknya, membawa MacBook dan cangkir kopi.

Ane memutar bolamatnya jengah, sikap Puan yang seperti tubut itu kembali menguji kesabarannya. Dan malam ini pun ia masih belum tahu alasan pria itu menyetujui untuk mempercepat tanggal pernikahan.

"Oh ya?" Suara sepihak, berhasil membuat Ane mengulas senyumnya. Mungkinkah?

"Makasih kopinya." Sahut Puan sembari menggerakkan cangkir kopi yang ada di tangan kanannya.

Ane mendesis tajam, bukan kata itu yang ia harapkan keluar dari mulut Puan saat ini. Ane berharap tadi Puan berniat menjelaskan alasannya menyetujui usulan orang tua Ane untuk mempercepat tanggal pernikahan.

***

Bagus sih tempatnya, lagi trend lagi di instagram.” Guman Seka sambil terus mengamati foto yang ada diponsel Ane.

“Jadi acara kita hari ini kesana?” Tanya Gina yang membuat Ane menganggukkan kepalanya.

“Gue lihat.” Asoka dengan cepat menyambar ponsel yang ada di genggaman Seka.

“Lumayan, harus banget hari ini? Besok lah biar gue sama puan ikut.” Kesal Asoka saat mengingat tujuan awalnya dengan Puan kesini. Observasi.

Kemarin memang Asoka sepakat untuk menyusul mereka dengan Puan setelah selesai tugas observasinya, namun melihat jadwal kegiatan hari ini tak memungkinkan.

“Terus gue gimana? Gue sendirian disini? Ya kalikan gue jalan sama 3 cewek, dikira apaan gue.” Rama menyisir rambut hitamnya dengan jari tangannya.

“Sok cakep lo.” Ucap Asoka yang hanya dibalas lirikan mata tajam seorang Rama.

“Lo ikut aja, nanti gue juga ajak Amran. Kayaknya kemarin kalian cukup akrab.” Ane mengolesi roti panggang dengan selai coklat favoritnya.

“Syukur deh. Iya, lo tahu aja. Dia baik sih, masak iya dia nggak pernah pacaran Ne?” Ane menganggukkan kepalanya, mengiyakan ucapan Rama.

“Buset, kalo masuk di SMA Kita bisa jadi bintang baru.” timpal Asoka.

“Lo yakin nggak ada perasaan apa-apa sama dia?” tanya Rama yang membuat Ane tersedat begitu saja, ia mengambil gelas air mineral yang ada didepannya dan meneguk habis air itu.

“Gila apa lo.” Ketus Ane lalu memakan roti panggangnya itu, lagi.

“Iya deh lupa gue lo udah sama Puan kan ya, ngomong-ngomong si Puan kemana? Masih tidur?” ucap Rama sambil menatap ke arah Ane, berharap dapat jawaban dari gadis itu.

Ane mengendikkan bahunya, tanda ia tak mengetahuinya.

“Lo tunangan macem apa sih Ne, yaudah lo bawain dia sarapan, anter ke kamarnya sama bilang 1 jam lagi harus sudah rapi.” Ane membulatkan matanya tak suka dengan ucapan Asoka seolah menyalahkan dirinya.

“Kenapa harus gue.” Ane tak mengindahkan ucapan Asoka dan melanjutkan makannya.

“Lo tunangannya bukan sih Ne, sikap lo kayak masa bodo gitu sama Puan.” sahut Seka saat gemas dengan tingkah temannya itu.

“Iya iya.” Ane mengambil beberapa roti panggang dan mengolesi selai kacang, ia juga menuangkan susu hangat pada gelas dan menata rapi di nampan, dengan langkah malas ia berjalan ke lantai 2 dimana kamar Puan berada. Tepat di depan kamarnya.

Lihat selengkapnya