Plakk
Ane menampar pipi Puan begitu saja saat pria itu mulai keterlaluan bicaranya. Ane menggenggam tangannya kembali, ia memalingkan wajahnya dari Puan saat pria itu menatap tajam ke arahnya.
“Kita juga sepakat nggak ngurusin kehidupan satu sama lain. Lo lupa? Jadi mau gue deket sama siapapun, buka urusan lo.” Ucap Ane sambil membenarkan rambutnya dan memakai kacamata coklatnya kembali.
Pergi begitu saja meninggalkan Puan dengan emosi yang masih memuncak.
***
“Lo kenal sama Ane sudah lama?”
Amran hanya menganggukkan kepalanya, sambil pandanagnnya sesekali menatap ke arah Puan dan Ane yang jaraknya lumayan jauh dari mereka berdua.
“Lo ada rasa sama dia?” Asoka mulai curiga saat melihat pandangan Amran yang tak luput dari Ane, walaupun ia sudah terang-terangan memberitahu Amran kalau Ane sudah bertunangan.
“Kita beda kasta.” Amran memutar wajahnya kembali, menatap dan tertawa sumbang ke arah Asoka.
“Kalo saya kayak masnya, berasal dari keluarga konglomerat yang sebanding dengan Mbak Ane. Mungkin iya.” Sambungnya yang membuat Asoka mengerutkan dahinya, seolah tak percaya.
Asoka menormalkan mimik wajahnya, ia mengedarkan pandangan ke arah hamparan kebun teh hijau yang ada di hadapannya.
“Kalo Ane belum bertunangan apa mungkin lo berani nyatain rasa suka lo ini?”
“Mungkin iya, mungkin juga tidak.”
“Maksutnya?” Asoka memutar kepalanya kembali, menatap ke arah Amran yang mulai menggulir foto pada ponselnya.
“Ini saya dulu.” Amran menunjukkan foto masa kecilnya bersama Ane pada Asoka.
Asoka menyipitkan pandangannya saat melihat anak laki-laki gendut dengan kulit hitam berfoto bersama anak perempuan yang amat sangat cantik.
Amran tertawa melihat ekspresi pria yang ada di depannya.
“Seperti yang mas lihat, dulu saja gendut, hitam. Intinya dulu saya jelek.”
“Saya mulai menyukai mbak Ane saat usia saya 14 tahun, sedangkan mbak Ane 10 tahun. Masih terlalu muda untuk mengenal apa yang namanya cinta untuk anak Smp seperti saya waktu itu. Tapi nyatanya saya selalu bahagia setiap kali diajak bapak saya mampir di kediaman Tuan Maharanendra, karena di saya bertemu teman saya Mas Abi dan juga adiknya, mbak Ane."
"Kita selalu bermain bersama. Hingga suatu saat keluarga Tuan Maharanendra memutuskan untuk pindah ke Jakarta, sejak saat itu saya jarang bertemu teman saya, Mas Abi. Dan saya bahkan tidak pernah melihat lagi Mbak Ane."
“Dan saat saya mulai mengenal media sosial saya mulai membuat akun instagram, dan yang saya tuju hanya satu, mbak Ane. Saya harap setelah saya membuat ig saya dapat kabar mengenai mbak Ane. Dan satu yang saya simpulkan dia semakin cantik dan semakin jauh dari jangkauan saya.”
“Dan saat itu juga saya rubah polah hidup saya, saya sering olah raga hingga merubah badan gendut saya jadi seperti ini. Bahkan saya berniat kuliah dan Berharap dapat bekerja di perusahaannya Tuan maharanendra dan dapat bertemu degan mbak Ane di Jakarta.”
“Tapi nasib berkata lain, saat saya bertemu lagi dengan mbak Ane, dia sudah bertunangan.” Amran tertawa sumbang, pria itu sudah menundukkan kepalanya kembali.
Entah mengapa mendengar semua penjelasan Amran, Asoka seolah merasa kasihan pada pria yang ada di depannya itu. Berjuang cukup lama dan setia menunggu Ane, namun gadis itu sudah bertunangan.
Serasa penjelasan nya sudah cukup Asoka memencet tombol save pada perekam suara yang ada diponselnya, ia sedang menjalankan perintah Puan untuk menyelidiki lebih jauh sosok Amran.
“Kita pergi dari sini.” Ane menarik lengan Amran membuat pria itu berdiri dan memutar kepala ke arah gadis yang ada disampingnya.
“Kita pergi dari sini, sekarang.” Sahut Ane lembut menekan kata terakhirnya.
Tanpa banyak tanya, Amran mengikuti kehendak Ane dan berjalan berlalu meninggalkan Asoka. Semenit kemudian Amran ditatap sinis oleh Puan, seolah pria itu ingin membunuh dirinya saat ini juga.
Puan masih menatap ke arah Ane dan Amran yang semakin jauh darinya, ia berjalan kembali ke arah Asoka yang mulai melambaikan tangan ke arahnya.
“Lo apain dia?” tanya Asoka begitu Puan duduk di sampingnya.
“Maksutnya?” Puan melambaikan tangannya ke arah waitress cafe untuk memesan beberapa menu, entah mengapa berdebat dengan Ane sedikit menguras tenaganya. Tak menunggu lama waitress cafe itu berjalan ke arahnya.
“Ane hidungnya tadi merah, matanya juga sembab. Lo apain dia?” Asoka tak henti hentinya menggencarkan pertanyaan ke arah Puan, membuat pria itu menatap jengah ke arahnya.
“Lo rubah sikap lo, lo beruntung Da dapetin Ane. Asal lo tahu ada orang yang berjuang mati matian untuk ada di posisi Lo saat ini.” Asoka mulai membuka polsenya, memencet aplikasi perekam suara.
“Lo dengerin ini baik-baik.” Suruhnya sambil mengarahkan ponsel itu ke arah kuping Puan.
Puan mendengarkan setiap kata yang dilontarkan oleh Amran. Puan mengernyitkan dahinya entah mengapa suasana hatinya berubah seketika. Namun sedetik kemuadia ia dapat merubah mimik wajahnya, sekali lagi, dia orang yang pandai bermain ekspresi wajah.
Puan hanya tertawa sinis sembari mengembalikan ponsel itu kepada peiliknya.