Flashback on
“Pak.” Ane bersaliman dengan Pria paruh baya seusia dengan papahnya.
“Mbak Ane, sudah semakin tinggi dan cantik sekarang.” Ane mengulas senyum menatap pria paruh baya itu. Tanpa sengaja ia bertemu dengan Pak kosim saat joging pagi di area vilanya.
“Ah pak Kosim bisa saja, kabar gimana pak?” sahut Ane sambil menyeka peluh yang mulai turun dari dahinya, efek joging pagi tadi.
“Alhamdulillah sehat mbak, kabar Nyonya, Tuan sama Mas Abi gimana mbak? sudah bertemu Amran mbak Ane?” Ane mengangukkan kepalanya.
“Baik semua pak, Sudah berubah drastis dia sekarang ya pak, pangling waktu saya ketemu pertamanya.”
Pak Kosim terkekeh mendengar penjelasan Ane, “Iya mbak, dia juga bersi keras ingin kuliah alasannya biar bisa mencari pekerjaan di Jakarta, biar ketemu sama Mas Abi sama Mbak Ane juga.”
“Iya pak?” Ane kaget bukan main saat mendengar Amran yang dulunya sangat malas belajar bahkan tak mau melanjutkan sekolahnya setelah SD dan sekarang berubah seperti ini.
“Iya mbak, saya sampai heran dengan dia, dia juga rajin lari pagi kayak mbak Ane gini, katanya biar berat badannya turun. Biar nggak gendut.”
“Ada-ada saja ya pak.”
“Saya mau mengucapkan terimakasih ke Mbak Ane, karena berkat Mbak Ane anak saya berubah baik seperti itu.” Ane terkekeh mendengar penjelasan Pak Kosim, yang lain bukan adalah bapaknya Amran.
“Kok bisa saya itu lo pak.”
“Ya pokoknya berkat Mbak ane, kalau gitu saya pamit ya mbak,”
“Baik pak.”
Ane kembali melanjutkan aktivitasnya, berlari pagi ditemani earphone yang terpasang di kuping kirinya, hawa sejuk pegunungan, dataran tingga sangat membuat ia merilekskan fikirannya.
Flashback off
‘Apa mungkin selama ini Amran ada rasa sama gue?’
‘Apa mungkin maksut ucapan Pak Kosim saat itu ,,’
Ane segera menepuk nepuk pipinya sendiri, kembali ke dunia nyata. Sudah cukup untuknya merenung dengan kata mungkin.
"Mbak Ane kenapa?”
Ane mengedipkan matanya berkali-kali, ia menggeleng-gelengkan kepala sejenak.
“Nggak papa, kita balik sekarang.” Sahut Ane lalu berdiri dari duduknya dan meninggalkan Amran yang masih diam bingung harus merespon semua pertanyaan Ane dengan apa. Menit berikutnya ia mulai berdiri dari duduknya dan segera menyusul Ane yang langkahnya semakin jauh darinya.
“Mbak Ane mau mampir?” tanya Amran saat mobil warna putih tulang itu mulai mendekati ke arah rumahnya.
Ane menggelengkan kepalanya, “Makasih untuk hari ini.” Ane mengulas senyum di wajah cantiknya.
“Baik, kalau begitu saya pamit mbak.” Amran kembali membuka pintu mobil.
Amran menatap mobil Ane yang semakin jauh dari jangkauan kedua matanya, hingga pundaknya ditepuk yang membuat ia memutar kepalanya.
“Bapak.”
“Bapak mau ngomong sama kamu Ran.”
“Iya sebentar ya pak.” Amran masih memfokuskan pandangannya kembali ke arah mobil putih tulang itu yang semakin jauh dari pandangnnya. Pak kosim hanya menghela nafas panjang. Ia tahu kalau anaknya ada rasa dengan anak bosnya.
“Mau bicara apa pak?” sahut Amran saat mobil putih tulang itu sudah tak terlihat lagi oleh matanya.
“Sini duduk dulu.” Pak kosim menarik pelan lengan anaknya itu dan mendudukkannya di kursi kayu yang mulai lapuk.
“Bapak tahu Ran kalau selama ini kamu menyukai Non Ane.” Pak kosim memutar kepalanya ke arah putranya yang ada di sampingnya.
Amran menundukkan kepalanya, ia sangat tahu apa yang akan bapaknya itu ucapkan.
“Dia tak sebanding dengan kamu.” Amran menghela nafas, ia tahu itu akan keluar dari mulut bapaknya, dan benar.
“Kita orang miskin, tak sebanding dengan keluarganya Non Ane, jadi bapak mohon kembalilah ke dunia nyata. Kalian tidak setara. Carilah gadis lain yang sebanding dengan kita. Bapak tidak mau mempunyai menantu dari kalangan atas.” Pak Kosim menepuk bahu putranya perlahan, ia berdiri dari duduknya dan mulai melangkahakn kakinya, hendak masuk rumah.