Guys & Girls

Ayuk SN
Chapter #77

Kagum Yang Tertunda

"Mamah, mamah jangan ninggalin Ane. Ane akan turuti semua apa ucapan mamah." Ane mempererat pelukannya pada tubuh Puan hingga Puan kesulitan untuk bernafas.

"Ane akan turutin semua permintaan mamah. Ane akan turutin permintaan mamah untuk menikah sama Puan, walaupun Ane nggak betah sama sikapnya. Mamah jangan ninggalin Ane." Ane semakin mempererat pelukannya hingga Puan dapat mencium wangi rambutnya. Sangat harum.

Puan membirkan Ane memeluknya saat ia mendengar gadis itu meracau sambil menyebut nama mamahnya.

Flashback on

"Mamah kabar gimana? Udah sehatan? Aku dengar mamah sakit" sahut Ane melalui sambungan telponnya. Ia mengedarkan pandangannya ke arah jendela kaca yang ada di sampingnya. Pemandangan pedesaan ini sangat indah.

Bu Maharanendra terkekeh mendengar suara Anaknya yang sangat menghawatirkannya. "Baik sayang , kamu menikmati liburan kan? Kabar Puan gimana?" Ane menghela nafas panjang, ia sangat hafal apa yang akan mamahnya tanyakan.

Bu Maharanendra memang sudah menganggap Puan seperti layaknya anak kandungnya sendiri, ia sangat menyetujui begitu Ane memperkenalkan Puan sebagai pacarnya saat itu.

"Baik mah, kata Kak Kaia mamah udah keluar dari rumah sakit? Memang mamah udah sehat bener?"

"Mamah udah sehat nak, mamah bahagia papah setia nungguin mamah dirumah sakit, nggak seperti biasanya yang sibuk dengan istri mudanya hingga lupain mamah. Mamah harus ucapin makasih sama kamu sayang." Ucap Bu Maharanendra dengan suara bahagia, namun membuat Ane semakin jatuh ke dalam permainannya sendiri.

"Berkat kamu bertunangan dengan Nak Puan papah kamu jadi rubah sikap dinginnya ke mamah. Semoga hubungan kalian langgeng sampai akhir hayat kalian. Oh ya gimana pendapat kamu tentang ucapan papah kemarin. Sudah ambil keputusan.?"

Ya, beberapa hari lalu memang Pak Maharanedra menyuruh Ane untuk mempercepat tanggal pernikahannya. Namun Ane dapat menolak dengan alasan umur masih 16 tahun.

"Umur aku masih 16 mah, lagian Puan bilangnya nunggu dia lulus SMA katanya nggak lucu aja satu sekolahan dengan istri." Dusta Ane, padahal Puan tak mempermasalahkan dengan pendapat Nyonya Maharanedra untuk mempercepat tanggal pernikahannya.

"Baiklah, setidaknya kalian harus tetap akur ya Ne. Mamah tutup dulu." Ane menyenderkan dirinya pada bangku jok, tangannya menelungkup wajah cantiknya, tanpa sadar air matanya mulai turun.

Entah mengapa ia merasa sangat bersalah terhadap mamahnya dan keluarga besarnya. Ia telah membohongi mereka semua. Membohongi seolah ia dan Puan pasangan yang saling mencintai. Ia tak tahu apa selanjutnya yang terjadi dengan keluarganya disaat semuanya telah terbuka.

Flashback off

"Gue ke kamar Ane dulu mau bawa ini." Sahut Seka sambil menaiki tangga lantai dua ke arah kamar Ane berniat membawakan temannya itu siomay.

Seka mengernyitkan dahinya saat melihat pintu kamar Ane terbuka sedikit. "Belum tidur?" gumamnya sambil mengedarkan pandangannya ke arah kamar Ane. Namun langkahnya terhenti saat melihat Puan ada di dalam kamar temannya itu.

Seka melangkahkan kakinya sedikit, berniat memastikan benar tidaknya apa yang ada dalam otaknya. Seka menutup mulutnya dengan telapak tangannya sendiri berusaha tidak mengeluarkan suara. Matanya melotot sempurna.

'Apa apaan mereka.' herannya seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ane dan Puan berpelukan? Sama sekali tak pernah terbesit di otak Seka hubungan mereka sejauh itu.

Seka akhirnya membatalkan niatnya untuk masuk ke dalam kamar Ane, ia menjauh dari kamar itu sembari menutup pintu kamar itu lebih rapat, perlahan.

"Puan kemana ya tadi gue masuk ke kamarnya kosong." sahut Asoka saat melihat Seka baru keluar dari kamar Ane yang membuat Seka hampir terjatuh karena kaget tiba-tiba pria itu ada di depannya.

"Kenapa muka lo pucat banget? Lo abis liat apaan? Hantu? Ane udah pulang?" tanya Asoka yang membuat Seka menggelengkan kepalanya cepat, lalu menganggukkan kepalanya juga.

"Lebih menakutkan dari hantu." Sahut Seka sambil menarik tangan Asoka menjauh dari depan kamar Ane dan Puan.

"Lo kenapa sih Ka narik narik muluk."

Seka mendudukkan dirinya di sofa ruang tengah. Ia menepuk dadanya perlahan seolah kehabisan nafas.

"Lo percaya nggak kalo tadi gue lihat ada itu?"

"Itu apaan?"

"Dia ada disana."

"Siapa?"

"Itu,,"

"Lupakan nggak penting juga." Seka akhirnya membatalkan niatnya untuk memberitahu apa yang ia barusan lihat. Ia masih menekankan dalam otaknya kalau ia salah lihat.

"Kenapa?" Rama duduk di samping Seka sembari menyenderkan kepalanya di pundak pacarnya itu.

"Pacar lo sakit Ram." Ucap Asoka yang membuatnya mendapat tatapan sengit dari Seka.

"Kamu sakit?" Rama memutar tubuhnya menghadap Seka dan meletakkan telapak tangannya di dahi pacarnya itu.

"Apaan sih buntut gajah nggak usah diladenin." Sahut Seka sambil menendang kaki Asoka.

"Lo buntut tikus." Sahut Asoka sambil mengeluarkan tawa renyahnya.

"Buntut sapi."

"Buntut landak."

"Obat asam urat dong." Sahut Asoka yang membuat Seka semakin melotot kearahnya, geram.

"Stop, gue udah capek denger kalian berantem muluk." Gina menenteng mug yang berisi jahe seduh hangat. Karena saat di perjalanan tadi ia sedikit masuk angin. Ia mendudukkan dirinya di samping Asoka.

"Dia dulu kok Be yang mulai." Sahut Asoka memicingkan pandangannya ke arah Seka.

Gina mengedarkan pandangannya sejenak ke lantai dua, dimana kamar Ane dan Puan Berada.

"Mereka udah tidur? Ane udah pulang? Berkali-kali gue telpon nggak diangkat. Apa perlu gue cek ke kamanya ya?" Gina meletakkan mug nya di atas meja, ia berdiri dari duduknya.

"Jangan." Seka menarik tangan Gina, seketika membuat ia terduduk kembali.

"Dia,, udah tidur iya." Sahut Seka sambil mencoba mengulas senyum di bibirnya. Bukan apa, ia hanya tidak mau Gina berfikir macam-macam tentang Ane.

Lihat selengkapnya