Ane melanjutkan aktifitas sebelumnya, ia menonton film kembali sembari memakan brownis yang Amran kirimkan beberapa jam lalu melauli Mang Dani. Karena Ane saat itu tidak ada di dalam vila. Karena ia diajak Mahanta untuk makan keluar namun malah di kacaukan oleh Puan, Puan membawa Ane pulang begitu saja padahal ia sangat menantikan ikan bambu asap favoritnya.
Puan membuka kulkas, ia mengambil minuman kaleng favoritnya, menutup kukas lalu berjalan perlahan ke arah ruang tengah. Dimana Ane berada.
“Khemm.” Puan berdeham, berharap Ane dapat menyadari kehadirannya, karena sedari tadi wanita itu hanya fokus pada layar iPadnya.
“Khemm.” Puan berdeham kembali, namun lagi-lagi Ane masih saja fokus dengan layar iPadnya, bahkan saat ini ia mulai tertawa karena adegan lucu dari film itu.
Puan menggeserkan tubuhnya semakin dekat ke arah Ane, mencondongkan kepalanya karena ia mulai kepo dengan film seperti apa yang seolah membuat Ane terlihat sebahagian itu.
Ane menggeser tubuhnya saat dirasa Puan semakin dekat ke arahnya. Namun saat itu juga Puan semakin menggeser tubuhnya kembali. Ane pun bertindak seperti itu hingga,,,, ia menatap lengan sofa, sudah tak ada lagi ruang yang tersisa.
Dengan malas Ane berdiri dari duduknya, namun lengannya begitu saja ditarik Puan hingga ia terduduk kembali.
“Lo apaan sih.” Ketus Ane melihat tingkah Puan yang Aneh akhir-akhir ini.
“Gue Cuma mau ikut lihat doang, pelit banget.” cibir Puan yang membuat Ane memutar bola matanya malas mendengar ocehan pria itu.
Ane meletakkan Ipadnya diantara Ane dan Puan dengan berat hati akhirnya ia berbagi dengan Puan.
Sesekali Ane melirik kearah Pria yang ada disampingnya, entah mengapa ia merasa ada yang aneh dengan Puan, aneh sekali. Sejak kapan pria itu tertarik dengan drama bukannya ia lebih suka melihat pertandingan bola atau debat politik dibandingkan drama atau film yang menurutnya sangat tidak berfaedah.
“Nggak usah ngeliatin gue kayak gitu gue tahu kalo gue cakep.” Sombongnya yang membuat Ane menyipitkan matanya tak percaya.
“Film nggak jelas kayak gini bisa-bisanya lo tonton.” Sahut Puan yang seketika membuat Ane naik pitam.
“Kalo nggak suka ngapain lo mau liat juga.” Sinis Ane sambil menarik iPadnya kembali.
“Bercanda, lo kenapa sinis banget bawannya sama gue.” Puan menahan tangan Ane dan mendekatkan iPadnya kembali.
“Bagus deh kalo sadar.”
“Lo harusnya bersyukur dapet cowok kayak gue.”
‘Bersyukur?’ Ya, Ane memang sudah tahu seberapa terkenalnya Puan di sekolahnya. Bahkan diluar sekolahnya. Ia masih ingat sekali kemarahan beberapa gadis sekolah itu saat melihat ia datang bersama Puan waktu di acara pesta Mahanta. Dan saat PPDB ia bahkan dibully habis-habisan bukan main dengan para gadis pecinta Puan.
***
“Jadi giaman setuju? Yang setuju angkat tangan.” Seka mulai menyuarakan pendapatnya untuk berkemah besok sebelum pulang.
Rama angkat tangan yang artinya setuju, begitu juga dengan Asoka dan Gina. Tinggal Puan dan Ane yang masih menyilangkan kedua tanagnnya di dada mereka.
“Kalian berdua nggak setuju?” Rama melemparkan pandangan ke arah Puan dan Ane secara bergantian.
“Gue ikut dia aja.” Puan menyandarkan kepalanya di kepala sofa. Ane memutar kepala ke arah Puan, sudah dua kali Puan bertingkah seperti ini. Memberikan keputusan terhadap Ane. Pertama saat papah Ane memaksa Ane dan Puan untuk mempercepat tanggal pernikahan mereka.
“Yaudah.” Ane mengiyakan begitu saja, tak ada ruginya juga berkemah sebelum pulang.
“Bagus, jam 9 harus sudah kumpul. Jadi malam ini beresin semua keperluan untuk besok. Tenda sama keperluan kemah lainnya gue sama Rama udah siapin.”
Sema memang sudah menyiapkan semuanya begitu matang.
Malam semakin larut, suhu udara juga semakin tinggi. Disaat semua sudah tidur Ane belum tidur. Setelah berkemas ia tak langsung tidur, entah mengapa ada yang mengganjal di fikirannya.
Ia akan segera meninggalkan Bandung dan kembali fokus dengan berbagai kesibukan di Jakarta.
Amran, hanya nama itu saat ini yang ada di dalam fikirannya. Entah mengapa Ane ingin sekali menemui pria itu sebelum kepulangannya ke Jakarta. Ane mengesap cokelat hangat pada mug yang diapit oleh kedua tangannya. Ia memejamkan matanya menghirup aroma malam, sangat menyejukkan jiwanya.
Ane mengambil ponsel yang ada di saku kimononya, satu hari ini ia tak bertemu dengan Amran, bahkan ia tak mendengar kabar dari pria itu. Semenjak Ane memergoki Amran sering stalking ignya ia semakin yakin kalau pria itu ada rasa terhadapnya. Singkatnya begini, mana mungkin ada orang bikin IG tapi cuman mengikuti 1 orang, dan sering nge-like foto orang itu juga.
Aku tunggu besok jam 6 pagi di tempat kita pertama bertemu.
Ane membaca pesan itu berulang kali, akhirnya ia memencet tomblo send. Ane menfokuskan pandangannya kembali ke arah kakinya yang separuhnya sudah ia ceburkan di kolam renang. Hingga dering telepon membangunkan lamunanya.
Ane tersenyum saat ia membaca nama penelpon itu. Amran.
“Hai, tumben.” Sapa Ane dengan suara ramahnya.
“Iya mbak, mbak Ane belum tidur?”
“Belum bisa tidur. Kamu sendiri?”