Puan sibuk mengupas bawang merah, sedangkan Ane sibuk membaca resep pada layar ponselnya. Mereka memilih untuk menepikan masalah pribadi diantara keduanya dan fokus dengan sarapan, karena Seka bisa saja mencaci maki mereka berdua karena tidak menjalankan tugas dengan benar.
Melihat semua bahan sudah terkumpul, Ane berdiri dan mengambil penghalus bumbu yang tak jauh darinya, ia menyambungkan pada stop kontak. Ane memasukkan beberapa bumbu yang sebelumnya ia telah siapkan, bawang merah bawang putih dan lain sebagainya. Ane memberi air sedikit dan mulai memencet tobol on.
Puan mengambil wajan penggorengan dan memasukkan mentega, ia memasukkan bumbu yang telah dihaluskan, menumis sebentar setelah tercium bau harum baru ia memasukkan nasi putih. Ia juga menambahkan kecap asin dan udang halus, juga beberapa potong sosis.
Ane melihat tingkah Puan yang sangat hebat. Pria itu seolah sudah ahli dalam hal masak memasak.
“Waw baunya, tumben kompak.” Asoka menghampiri kearah Puan juga Ane.
Puan sibuk di penggorengan sedangkan Ane sibuk menata meja makan.
“Lo kenapa? Pucet banget mukak lo.” Ane hanya menggeleng-gelegkan kepalanya.
“Tunangan lo kenapa Da mukaknya gitu banget, jangan bilang kalian habis bertengkar, lagi? Baru tunangan aja bertengkar terus gimana kalo nanti udah nikah.” celetuk Asoka yang membuat gerak tangan Ane mengusap lap untuk membersihkan meja pun terhenti. sejenak Ane memikirkan ucapan Asoka.
Puan memutar kepalanya ke arah Ane, pandang Ane hanya fokus pada meja, namun Puan dapat melihat kalau gadis itu sedang melamun. Puan tahu kalau Ane sedang memikirkan ucapan Asoka.
“Lo apaan sih.” sinis Puan sembari mengganjal mulut Asoka dengan potongan timun, karena pria itu terus saja mengoceh.
“Hai hai hai.” Seka datang membawa beberapa bungkus plastik putih ukuan besar.
“Gue kira kalian nggak akan bikin sarapan, ternyata gue salah.” Rama mendudukkan dirinya di kursi meja makan sembari memakan timun.
“Oh ya Gina kemana?” tanya Seka sembari mengedarkan pandangannya.
“Masih tidur?” tebak Seka yang membuat Asoka menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Jangan bilag lo kerjain temen gue lagi.” tuduh Seka pada Asoka.
“Kerjain gimana? Gue Cuma bilang mau ngelamar dia.” Jawab Asoka sembari mengedipkan mata kirinya.
Melihat hal itu Seka memutar bola matanya malas, “Lo tololnya sampek ke DNA.” maki Seka sembari berjalan meninggalkan dapur dan berjalan ke arah kamar Gina.
Gina, dia gadis yang sangat lucu dan lugu. Itulah penyebab Asoka sangat menyukai gadis itu. Setiap kali Asoka berniat melamarnya ia selalu marah dan menolak. Bukan tanpa sebab, karena papah Gina menentang Gina untuk berpacaran, papah Gina selalu menyuruh Gina fokus dan fokus belajar, bukan pacaran. Apalagi menikah muda, Gina yakin papahnya hanya akan memakinya.
“Lo parah lo.” Ucap Ane sembari melempar potogan wortel ke arah Asoka.
“Da tunangan lo Da,, masak wortel yang lo kupas sama potong serapi itu dilempar gitu aja.” Ucap Asoka sembari menarik-narik kaos belakang Puan, memang seperti anak kecil saja tingkah dia.
“Lempar aja sekalian sepiringnya Ne, gue ikhlas.” Ucap Puan yang membuat tawa Ane pecah.
“SIAP!”
“Gilak kalian.” Asoka segera berlari sedangkan Ane mengejar walaupun jalannya sedikit terganggu karena kakinya yang terkilir.
“Sini lo.” Teriak Ane sembari menenteng piring penuh dengan potongan wortel.
“Jangan wortel!” Asoka memang mempunyai traumatik sendiri dengan wortel, entah apa yang terjadi di masa lalu hingga ia mempunyai traumatik seperti itu.
Rama hanya mengamati tingkah Asoka dan Ane dengan tawa, mereka masih seperti bocah umur 7 tahun yang bermain kejar-kejaran. Sedangkan Puan, senyum di wajah tampannya mengembang. Melihat Ane dapat tertawa kembali membuat hatinya merasa senang, entah apa yang terjadi tapi dia memang seperti itu.
“Ternyata tebakan gue bener.” Ucap Rama sembari menepuk bahu Puan yang sedang duduk manis disampingnya.
“Hem?” jawab Puan sembari mengerutkan dahinya.
“Yang terjadi dengan lo saat ini dulu juga terjadi sama gue dan Seka."
"Pertama gue nggak yakin gue beneran sayang sama dia lebih dari sekedar teman. Tapi melihat dia dekat dengan beberapa cowok lain membuat gue marah, nggak tahu tiba-tiba bawaannya emosi muluk. Dan akhirnya gue mutusin langkah seperti sekarang ini, gue nyatain cinta ke dia. Gue nggak mau hubungan gue sama dia Cuma sebatas teman.”
“Lo nyindir gue?” tanya Puan karena menurutnya cerita Rama terlalu mirip dengannya.
Rama terkekeh melihat respon Puan yang seperti ada dalam benaknya saat ini.
“Nggak dong, lo sama Ane bahkan udah bertunangan, ya setidaknya ada tali diantara kalian. Gue kasih saran sama lo, Ane bukan sembarang cewek Da, gue yakin setelah dia masuk di sekolah kita saingan lo bakal berat.” Rama menepuk bahu Puan kembali membuat Puan berfikir mencerna apa yang di ucapkan Rama.
‘Saingan? Gue sama dia udah bertunangan. Nggak akan ada cowok lain yang gue izinin deketin dia.’ Guman Puan sembari mengulas senyum sinis di wajahnya.
“Rubah sikap lo ke dia. Dia suatu saat bisa bosen sama sikap lo yang kayak gini. Dan nggak menjadi kesulitan buat Ane untuk cari pengganti lo Da. Jadi rubh sikap Lo.” saran Rama.
“Ucap cukup, Da gilak tunangan lo ganas banget.” Asoka beresembunyi di belakang punggung Puan, sedangkan Ane yang berada di depan Puan masih berusaha menarik lengan Asoka untuk kembali ia hajar.