Guys & Girls

Ayuk SN
Chapter #82

Tragedi Pencarian Kayu Bakar

Amran mempercepat langkah kakinya, peluh di pelipisnya terus menerus turun tak kala ia terus berlari dan berlari. Tangan kanan dan kirinya penuh menanting plastik. Namun pandangnnya kecewa tak kala melihat 2 mobil di depan vila itu sudah tidak ada. Mereka sudah pergi. Mereka sudah pulang. Ane, sudah pergi meninggalkannya.

“Mang, Teman-teman Mbak Ane sudah pada balik?” tanya Amran sembari mengatur nafanya.

Mang Dani menganggukkan kepalanya, “iya Ran, baru 10 menit yang lalu. Kamu kenapa?” sahut Mang Dani saat melihat keadaan Amran sekarang, baju yang sudah basah karena peluh, tatapnya sendu seolah kehilangan sesuatu.

Amran menggelengkan kepalanya, ia mencoba mengulas senyum di wajahnya. Berusaha menghilangkan rasa kecewa amat berat dalam dirinya. Ia kecewa karena tak menemui Ane untuk yang terakhir kalinya. Amran pun tahu kapan ia bisa bertemu gadis pujaan nya itu, lagi.

“Mang Dani mau ini? Tadi aku bikin banyak.” Amran memberikan bungkusan itu kepada Mang Dani.

“Apa ini Ran?” Tanya Mang Dani sembari menerima bungkusan itu.

“Brownis sama Pia mang, kalau begitu saya pamit mang.” Ucap Amran sembari berjalan gontai meninggalkan vila itu.

Mang Dani terus mengamati tingkah Amran, ia tahu kalau brownis dan Pian itu untuk Ane bukan untuk dirinya. Mang Dani menghela nafas berat, ia sebenarnya tahu kalau Amran ada rasa dengan Ane.

“Ran, kalo kamu suka, kejar. Selesai kuliah kamu, cari kerjalah di Jakarta. Kamu harus nyatain perasanan kamu sebenarnya.” Ucap Mang Dani setengah berteriak saat Amran sudah jauh dari pandangannya.

Amran menolehkan kepalanya, ia tersenyum mendengar nasehat itu. Entah mengapa hanya bapaknya yang menentang perasannya terhadap Ane, sedangkan yang lainnya seolah mendukung.

Aku memang pengecut, tapi setelah aku menyelesaikan kuliah ini aku akan ke Jakarta, apapun hasilnya aku akan terima.”

Amran mengepal kedua tangannya kuat-kuat, seolah semangat dirinya sedang berkobar. Amran sangat menyesal karena tak mau menemui Ane disaat terakhir Ane disini, ia juga menyesal telah membuang ponselnya, karena Amran sudah frustasi dengan dirinya sendiri.

Dirinya selalu menyuruh untuk menjauhi Ane, namun hatinya berkata lain. Tanpa pikir panjang ia melempar ponselnya ke sungai. Ia meruntuki kebodohan dalam dirinya.

***

“Waw! sekeren kerennya sih ini.”

Seka menggeleng-gelengan kepalanya melihat indahnya alam yang tergambar di depannya. Ia segera mengambil ponsel yang masih ia simpan di dalam tote-bag nya, ingin mengabadikan momen yang sangat jarang ia temui di Jakarta. Ia tak akan mengabaikan keindahan moment ini.

Puan sibuk mengeluarkan beberapa keperluan berkemah, seperti tenda juga tikar. Rama dan Asoka sibuk mencari tempat terbaik untuk mendirikan tenda yang terbaik.

“Da sini.” Asoka melambaikan tangan ke arah Puan, menunjukkan tempat yang memang bagus, dekat dengan aliran sungai. Dapat dibayangkan betapa seru perkemahan penutup mereka kali ini.

“Ini sungainya aman kan ya, nggak ada buaya atau apa?” Gina memeluk dirinya sendiri, ia memang tidak terlalu suka berdekatan dengan sungai, entah mengapa setiap ia melihat sungai walaupun airnya tenang dan bening sekalipun ia selalu berfikir adanya ular atau buaya disana.

“Aman sayang.” Asoka memeluk bahu Gina sembari mengangkat ponselnya, mengambil foto mereka berdua.

Seka dan Ane mengeluarkan beberapa barang sedangkan Rama dan Puan menata tenda, mereka membuat dua tenda.

Perkemahan disini bukan perkemahan langsung dengan alam, namun sudah dikelola oleh pemerintah, sehingga sudah ada penyewaan tenda, namun untuk kayu bakar dan keperluan lainnya pengunjung diperbolehkan mengambil ranting yang berjatuhan, namun tak diperbolehkan untuk menebang.

“Berdua terus.” Sahut Seka yang membuat Asoka menyengirkan senyumannya. Memamerkan deretan gigi putih rapinya.

“Kesana aja, kayaknya seru.” Rama menarik tangan Seka, menggenggam tangan itu. Mereka berjalan bersamaan.

Ane mendudukkan dirinya di tikar begitu saja, tangannya sibuk mencabut rumput, sedangkan kedua matanya sibuk mengamati tigakah dua pasangan itu secara bergantian. Sungguh momen yang sangat menyebalkan baginya.

Entah mengapa ia seolah menjadi salah satu wanita yang tak beruntung, hanya melihat kedua temannya itu bersenang-senang dengan pacar mereka masing-masing, sedangkan dia hanya bisa mengamati sembari menyimak obrolan mereka. Tak jarang Ane juga ikut tertawa melihat tingkah Asoka yang kelewatan kocaknya.

Puan menatap dingin ke arah gadis yang ada di depannya, ia menghela nafas panjang. Puan berdiri dari duduknya dan berjalan mendekati Ane. Entah mengapa melihat tingkah Ane yang hanya sebagai pengamat dua pasangan itu membuat ia sedikit merasa tak enak hati.

“Seru banget lihatnya.” Sahut Puan sembari mendudukkan dirinya tepat disamping Ane.

“He?” Ane memutar kepalanya, menatap pria yang tiba-tiba duduk disampingnya.

“Pasangan yang romantis? Itu pasti yang ada di dalam pemikiran lo.” Sahut Puan dengan suara datar, entah mengapa sikap pria itu sangat sulit ditebak.

Ane kira Puan akan berkata manis atau mengajaknya jalan-jalan seperti layaknya Rama yang mengajak Seka berkeliling sebentar. Atau Asoka dan Gina yang hanya menatap ke arah danau sembari Asoka yang selalu menggombal, membuat Gina tak hentinya tertawa.

“Iya.” Sahut Ane sembari memutar kepalanya kembali, menatap kembali ke arah Asoka dan Gina.

“Perjuangan mereka sangat hebat.” Ucap Puan sembari melemparkan tatapannya ke arah Asoka dan Gina juga.

“Asoka udah ngejar Gina lebih dari 1 tahun, dia nggak pernah gentar walaupun banyak banget cewek yang deketin dia. Dia Cuma mau satu, Gina. Sedangkan Gina, gue tahu aslinya dia suka sama Al, tapi karena desakan dari keluarganya untuk tak berpacaran apalagi dengan pria seperti Asoka membuat Gina mengurungkan niatnya beberapa kali untuk menerima Asoka.”

“Tapi akhirnya mereka jadian.” Ucap Ane dengan suara lirih.

“Mereka diam-diam, makanya Gina nggak pernah pajang sesuatu yang menandakan dia sudah punya pacar.”

“Ya, setidaknya ada saatnya mereka bahagia seperti saat ini.” Jawab Ane sembari mengulas senyumnya.

Tiba-tiba ponsel Ane berdering, membuat ia memutar kepalanya ke arah belakang dimana tote-bagnya berada.

Mamah,’ guman Ane sembari meneguk salivanya secara perlahan, ia tahu apa yang akan mamahnya tanyakan.

“Siapa?” tanya Puan saat melihat ekspresi Ane seperti orang ketakutan.

“Siapa?” ulang Puan mulai tak sabar dengan sikap Ane yang seolah mengabaikannya juga mengabaikan dering pada ponselnya. Tanpa pikir panjang Puan mengambil ponsel itu, tatapannya menyipit, entah mengapa tiba-tiba pria itu mengulas senyumannya.

“Iya Tante.” Puan menggeser panel hijau pada ponsel itu, seketika membuat Ane berusaha untuk mengambil ponselnya kembali, namun bukan Puan namanya jika tak pandai menuruti kehendaknya sendiri.

Lihat selengkapnya