Puan membuka matanya perlahan saat suara Ane semakin menjadi-jadi, walaupun ia sangat berat membuka matanya, daripada harus terus-menerus mendengar Ane yang terus mengoceh.
“Gue nggak papa.” lirih Puan.
“Lo bilang nggak papa? mukak lo pucet Da.” cemas Ane.
Keringat dingin sudah memenuhi pelipis Puan, bibir pria itu mulai memucat, mungkin itu efek racun ular yang masuk dalam tubuhnya.
“Pergi lo.” Ane melepas sneakers yang sebelumnya ia kenakan, ia melemparkan dengan sekuat tenaga ke arah ular yang dengan beraninya mendekat kembali ke kaki Puan.
“Pergi pergi pergi!!"
Ane melempar sneakers yang sebelahnya, bahkan mengambil ranting yang luma besar dan melempar ke arah ular yang dengan beraninya tak juga hengkang dari hadapannya, ular itu malah mendekat kembali ke kaki Puan.
“Cukup, udah pergi.” sahut Puan, entah mengapa melihat wajah Ane yang cemas seperti itu ada daya tarik sendiri baginya.
Ane memutar kepalanya ke arah Puan, ia meraih bahu pria itu.
“Kita pergi dari sini sekarang.” Ane menanting Puan, membantu pria itu berjalan, badan Puan semakin dingin, ia juga mulai menggigil. Keringat dingin di pelipisnya membuat Ane semakin kahwatir melihat hal itu.
“Da jangan tutup mata, sebentar lagi kita sampek.” Ucap Ane sembari menyenggol bahu Puan agar pria itu membuka matanya kembali.
“Gue mohon bertahan.” Lirih Ane, tanpa sadar ia kembali meneteskan air mata. Entah sudah berapa kali ia menangis dalam satu hari ini.
Ane berteriak meminta tolong, namun tak ada orang satupun yang terlihat dan menolongnya. Ia meletakkan tubuh Puan pada tenda, ia menelpon beberapa kali temannya namun masih saja tak ada jawaban.
“Kunci lo mana.” tanya Ane.
“Saku jaket gue.” Ane mengambil kunci mobil Puan, ia kembali meraih bahu Puan, mengalungkan lengan Puan pada lehernya. Menanting Puan untuk berdiri dan berjalan menuju mobil.
“Bertahan, gue akan bawa lo ke dokter terdekat.” Ucap Ane sembari memencet smart key dan membuka pintu penumpang depan, membantu Puan untuk mendudukkan diri disana, memasang sabuk pengaman dan segera menutup pintu itu.
Tak menunggu lama, Ane segera menghidupkan mesin mobil itu, menjalankannya keluar area perkemahan, sebelumnya ia sudah mengetik di google map. Dokter terdekat, dan disana tercantum sekitar 20 menit.
Ane menyetir dengan tergesa-gesa, tangannya bergetar hebat, namun ia menahannya dengan cara mencengkram stir mobil dengan kencang. Ekor matanya tak henti mengamati pria yang terkulai lemas di sampingnya.
“Da lo jangan tutup mata, tahan, bentar lagi sampek.” lirih Ane sembari menghidupkan klakson mobil berkali-kali, berharap orang mau menepi dan memberinya jalan, ini sangat darurat.
***
“Tadi Ane nelpon gue.” sahut Asoka saat mengecek ponselnya yang baru ia keluarkan dari saku celananya.
“Gue juga.”
“Ada apa emangnya?” Seka menyipitkan kedua matanya, entah mengapa ia rasa ada yang aneh dengan Ane, karena Ane juga beberapa kali menelponnya.
“Mobil Puan kok nggak ada?” tanya Gina yang membuat 3 teman lainnya mengedarkan pandangannya sejenak.
“Apa mungkin mereka cabut duluan?”
“Nggak mungkin Ram, barang lainnya masih disini.” Balas Asoka saat kedua matanya menangkap koper Puan masih di luar tenda.
“Jadi mereka kemana?”
“Iya halo? Ne lo dimana?” tanya Seka saat sambungan telpon sudah tersambung dengan Ane.
“...............”
“Lo kenapa? Bicara pela pelan. Okey?" Ucap Seka saat Ane berbicara tak jelas, gadis itu berbicara diselangi dengan tangisnya.
“............”
“Apa? Kirim lokasinya segera.”
Seka mengacak acak rambutnya gusar, “Kita berangkat sekarang.” Sahutnya saat ia sudah menerima notifikasi, Ane sudah mengirimkan lokasinya.
“Kenapa?” Tatapan Gina semakin khawatir saat melihat ekspresi Seka seperti ini.
“Beresin sekarang juga, kita harus ke rumah RS. Shakti, Puan masuk ICU.”
“Icu?” mata Gina membulat sempurna.
“Dia kenapa Ka?” cemas Asoka dan Rama bersamaan.
“Udah intinya kita beresin barang-barang sekarang juga, nggak ada waktu.” Ucap Seka.
Saat itu juga mereka berempat segera memasukkan semua tas dan koper kembali ke dalam bagasi, ranting kayu yang sedari tadi mereka kumpulkan sudah tak berguna lagi. Fikiran mereka hanya satu. Keadaan Puan.
Ane tak hentinya mengeluarkan air mata. Kedua matanya sembab, hidung mancungnya sudah memerah, mulutnya bergetar tak kala mendengar kalau keadaan Puan semakin memburuk. Gadis itu menyandarkan kepalanya pada dinding rumah sakit samping pintu ruang ICU Puan, belum boleh ada yang memasuki ruangan itu.
Kedua Tangan Ane menungkup menutupi wajah cantiknya.
Hingga ada suara derap langkah kaki yang sedikit mengagetkannya.
“Ne, sorry kita telat.” Seka memeluk erat tubuh sahabatnya itu. Melihat hal itu tubuh Ane semakin bergetar, entah mengapa bayang bayang akan kehilangan Puan semakin dekat saat ini.