Ane memegang kepalanya, ia memijat perlahan pelipisnya. Ia segera bangun dari ranjangnya saat perutnya tiba-tiba mual. Ane berlari ke arah wastafel yang ada di dalam kamar mandinya. Ia menundukkan kepalanya, dan mengeluarkan semua yang ia tahan sedari tadi.
Huekkkkkkkkk
Beberapa menit hingga ia merasa lebih lega. Ane manatap tampilannya pada kaca, wajahnya sangat Pucat. Setelah selesai dengan ritualnya, ia membasuh wajahnya, menyandarkan dirinya pada dinding marmer yang ada di belakangnya sejenak. Ia mengingat kembali kejadian malam tadi.
“Kak Aksa.” Ucapnya saat mengingat bagaimana bisa ia tiba-tiba mabuk.
Ane menghela nafas panjang, mencoba menghilangkan semua pemikiran buruknya terhadap calon kakak iparnya. Pintu kamar mandinya tiba-tiba diketuk, Ane gugup bukan main. Saat ini pasti ia bau alkohol.
“Ane? Sarapan yuk kebawah. Nanti habis ini kita hangout.”
“Ane?” Sita kembali memanggil Ane, saat calon adik iparnya itu masih belum menjawab.
Tiba tiba saja perut Ane rasanya mual kembali, ia ingin menjawab namun tertahan karena rasanya ingin muntah kembali. Ane segera berlari ke arah wastafel nya kembali.
Huekkkk
Sita mendekatkan kupingnya pada pintu kamar mandi.
“Kamu nggak papa Ne?” tanya Sita cemas.
Ane menepuk dadanya perlahan, ia berkumur dan membasuk wajahnya.
“Nggak papa kak, masuk angin kayaknya.” Jawab Ane enteng.
“Kakak bikinin jahe geprek?” tawar Sita.
“Nggak usah kak, nanti juga baikan.” Sahut Ane.
Sita mengehela nafas panjang, ia tahu Ane akan bersikap seperti itu. “Kamu cepetan ke bawah sayang, kakak bikinin kamu jahe keprek.” Sahut Sita lalu berjalan keluar dari kamar Ane.
Ane segera membersihkan dirinya, mandi dan berganti baju untuk acara hangout nanti.
Ane mengerjakan pandanagnnya, ia merasa lega saat yang ada di meja makan baru Sita.
“Kamu yakin nggak papa?” tanya Sita sembari berjalan ke arah Ane. Sita menempelkan telapak tangannya pada dahi calon adik iparnya itu. Ane mengulas senyum di wajah cantiknya.
“Nggak papa kak.” Sahut Ane.
“Ini jahenya. Diminum dulu, kalo kurang manis bilang, nanti kakak tambahin gulanya.” Sita memang sudah menganggap Ane seperti adiknya sendiri. Ia memperlakukan Ane seperti ia memperlakukan Puan.
“Puan belum bangun?” tanya Ane saat ia melihat kamar tunangannya itu masih tertutup rapat.
“Bangunin gih.” Ucap Sita.
“Tadi kakak udah bangunin tapi susah banguninnya.” sambung Sita.
“Nggak papa kak?”
“Nggak papa gimana?”
“Ya, masuk ke kamar Puan.” jawab Ane ragu.
“Kenapa emangnya, udah tunangan juga kalian. Bentar lagi juga nikah. Nggak papa, ambil air es di kulkas. Siram aja sekalian kalo masih susah banguninnya.” Ane menganguk paham, ia berjalan ke arah kamar Puan. Pintu ukir itu masih tertutup rapat.
Ane membuka pintu itu perlahan, dan benar Puan masih meriuk di balik selimut tebal. Ane tak dapat menahan tawanya melihat posisi tidur Puan seperti anak panda yang kedinginana.
Ane mengusap kepala Puan perlahan. “Bangun.” Lirihnya sembari kedua tangannya mengoyak bahu Puan perlahan. Namun nihil, benar kata Sita, Puan sudah seperti batu kalau tidur. Kupingnya seolah sudah tak berfungsi dengan baik.
“Puan.” Ane sedikit meninggikan nada bicaranya.
“Puan.” Ane mengoyak tubuh Puan lebih keras.
“Hemm.” Puan hanya berdeham sambil menarik kembali selimut yang tadinya Ane turunkan.
“Bangun, katanya mau ke Pandawa.” Sahut Ane kembali.
Puan tak merespon, pria itu kembali memejamkan kedua matanya. Ane gemas sendiri melihat bulu mata lentik milik Puan, tanpa pikir panjang jarinya mulai menyentuh bulu mata lentik itu, memainkan sejenak.
Puan merasa terganggu, tanpa pikir panjang pria itu malah menarik lengan Ane hingga Ane terjatuh menimpa tubuhnya.