Gwenchana Parahyangan

Silvarani
Chapter #1

Prolog

Prologe

Di suatu desa kaki Gunung Palgongsan, Daegu, Korea, Musim Semi 1940


“YOON SUN! 가지 마 (Gaji ma)! 가지 마세요 (Gaji maseo)! 가지 마세요오오오오오오 (Gaji maseooooo)! -Jangan pergi! Jangan pergi! Jangan pergi!” dengan telanjang kaki dan menahan dinginnya malam, seorang halmeoni -nenek- berambut putih berteriak-teriak sambil berlari keluar dari pintu kayu rumah reot dan kecilnya. Baru beberapa langkah saja, dia merasa sudah kram.

Usia halmeoni memang tak terbilang muda. Dua hari lalu, dia genap enam puluh delapan tahun. Dia dan cucu laki-lakinya yang berusia dua puluh satu tahun merayakannya dengan cara tak menjual hasil tani mereka ke pasar seperti biasa, tetapi memasaknya sampai habis dan dibagikan kepada para tetangga. Serupa dengan mendiang suami, anak laki-lakinya yang kini dipaksa menjadi buruh pabrik di Jepang, mendiang menantunya, dan cucu wanitanya yang katanya diperkerjakan sebagai pelayan restoran di Jepang sejak dua tahun lalu, halmeoni ini adalah seorang petani miskin. Satu-satunya harta berharga yang dipunyainya saat ini adalah cucu laki-lakinya yang bernama Kim Yoon Sun.

“YOOOON SUUUUN!” pita suara halmeoni yang bisa kapan saja putus karena dia terus berteriak adalah bukti konkret betapa dirinya begitu mempertahankan cucu laki-laki bungsunya itu. Bagi halmeoni, Kim Yoon Sun adalah satu-satunya manusia sedarah yang menemaninya kini. Meskipun halmeoni sendiri tahu bahwa sekeras apapun usahanya, para tentara Nippon itu tak akan peduli. Angin malam pegunungan yang sering membuat badan menggigil saja rasanya kalah dengan dinginnya hati mereka. 

Semenjak kematian harabeoji –kakek- atau suaminya di tangan tentara Nippon, kematian menantu wanitanya ketika melahirkan Yoon Sun, kepergian anak laki-laki satu-satunya –Ayah Yoon Sun-- sebagai buruh di Nagasaki, dan pengrekruitan paksa cucu perempuannya sebagai pelayan restoran di Jepang dua tahun lalu, alasan satu-satunya mengapa halmeoni masih kerasan menjalani hidup di rumah reotnya adalah karena seorang Kim Yoon Sun. Sayangnya, tengah malam ini, cucu laki-lakinya itu ditarik paksa keluar rumah untuk menaiki tronton para tentara Nippon.

“JANGAN AMBIL CUCUKU! YOON SUN! YOON SUN! YOON SUUUUUN!” halmeoni itu meronta-ronta dalam jeratan para tentara Nippon. Tetesan air matanya bercampur bersama air hujan yang baru saja turun.  

“黙れ! (DAMARE!) -Diam!-” seorang tentara Nippon mendorong badan kurus halmeoni. Dia berteriak sampai urat di lehernya terlihat.

Lihat selengkapnya