Gwenchana Parahyangan

Silvarani
Chapter #2

Tentara-Tentara yang Mendatangi Parahyangan

Bandung 1944

“Akang Nataaaar!”

“Nendeeeeen!”

 “DAMAREEEEE! BAKAAAA!”

“AKANG~ AAAAAH!”

Genggaman tangan kedua saudara sedarah daging itu akhirnya terlepas.

“NENDEEEEN!” teriak pemuda kelahiran tanah Parahyangan bernama Natar itu. Dia mengeluarkan suaranya sekuat tenaga sampai-sampai urat lehernya seolah siap merobek kulit. Satu-satunya adik perempuannya, satu-satunya keluarganya yang tersisa terlepas dari genggaman tangannya. Perlahan-lahan, begitu juga dengan kedua matanya. Sosok gadis geulis berusia dua puluh tahun itu tak tertangkap pandangnya lagi. Selain tertutupi raga-raga tentara Nippon yang menyeret dan melemparnya ke dalam tronton, pemuda berdarah Sunda itu mengeluarkan banyak air mata. “AAAAAKGH!” dia terus meronta-ronta, memberontak, berharap cengkraman tentara-tentara Nippon di kedua tangannya dapat terlepas. Lalu, dia akan menerobos tronton dan menyelamatkan Nenden.

“Akaaaaa~,” suara Nenden yang tambah tak terdengar menandakan bahwa jarak antara keduanya telah jauh.

“Tidaaaaak! Nendeeen! Nippon brengsek! Mau kau apakan adikku?! Jangan kalian sentuh Nendeeen!” Empat orang tentara Nippon memegangi lengan dan badan Natar. Energi pemuda ini lama-lama terasa berkurang. Sampai akhirnya, salah satu dari tentara Nippon itu tiba-tiba berhenti mencengkram Natar, berbalik, dan tiba-tiba berteriak sendiri.

“Noooonaaaaaa!” salah satu tentara Nippon itu memegangi kepala, menggaruk-garuk rambut, merangkak ke pojok ruangan, duduk memeluk lutut, dan pada akhirnya, dia menggigit keempat kuku tangan kanannya dengan gemetaran. Matanya membelalak, penuh ketakutan, dan napasnya tersengal-sengal.

“MINHYUK! Eh? Minohiko!” salah satu tentara Nippon yang memegangi Natar meneriakkan kata ini ke arah pojok ruangan, tempat kawannya duduk memeluk lutut.

Meski tak mengerti apa yang tengah terjadi di sekitarnya, Natar menganggap peristiwa ini sebagai suatu kesempatan besar. Perhatian para tentara Nippon yang tengah memegangi tangan Natar ini tertuju pada kawannya yang tengah duduk memeluk lutut. “AAAAKGH!” pada akhirnya, Natar berhasil memberontak, menghempaskan badan lawan-lawannya dengan tendangan dan berlari ke ujung lorong penjara, sudut tempat Nenden menghilang di balik pintu.

Dzing!

“Mau ke mana, kau?!” dengan Bahasa Indonesia yang masih kaku, seorang tentara Nippon berpedang rupanya sudah berdiri di ujung lorong. Dia mengeluarkan katananya seperti seorang samurai yang hendak bertarung. Dia membentangkannya, sehingga setengah satu centimeter saja Natar tak menghentikan ayunan langkahnya, kepalanya bisa saja jadi terpisah dari leher. “Kami hanya memintamu untuk menulis lirik lagu Romusha! Supaya rakyatmu tergerak bekerja dan tak malas-malasan! Kami lakukan ini untukmu, Indonesia!”

Pertanyaan komandan penjara Nippon itu tentu saja tak dijawab Natar. Seberani-beraninya Natar, rupanya saat ini dia takut tewas. Bukan karena dicabut nyawa itu sakit saja, tetapi dia merasa bahwa adik perempuannya masih membutuhkannya. Namun, dia sendiri tak dapat membiarkan dirinya menuliskan lirik-lirik dalam lagu beracun akal-akalan Nippon itu. Kemampuan Natar dalam berkata indah dan menciptakan nada indah dimanfaatkan oleh Nippon, sebenarnya serupa dengan apa yang Belanda lakukan kepadanya di hari lalu. Bedanya, Belanda tak ada urusan dengan Nenden. Mengapa tidak pada Nippon? Mereka bahkan menangkap Nenden pula.

 “Owee .… oweee .… owe .…. Ada apa ini?” tentara berpedang itu menggeser ujung pedangnya dari depan leherku ke salah satu anak buahnya yang tengah duduk memeluk lutut. “Kubunuh dia! Hiyaaaat!”

“Saya janji, ini yang terakhir kalinya,” tentara Nippon yang kelihatannya menjadi komandan refleks berlutut di antara tentara berpedang dan tentara yang tengah memeluk lutut di pojok ruangan.

Lihat selengkapnya