H-365

Ludiamanta
Chapter #7

H-325

Huft. Hembusan nafas dari wira yang tegang menunggu dosen pembimbingnya datang. Kakinya tak berhenti diam dan terus menerus bergetar. Pertemuan ini bukanlah pertemuan pertamanya dengan pembimbing, tapi ia merasa tidak akan berjalan lancar untuk pertemuan hari ini.

"Wira, kamu udah datang. Ayo masuk" sapa hangat perempuan yang berumur hampir empat puluh tahun itu. Dosen itu penuh dengan kehangatan kepada seluruh mahasiswanya. Tetapi ia sangat kritis untuk membimbing mahasiswa dalam keberhasilan dan kesuksesan anak didiknya.

"Pertemuan yang keberapa sekarang?" tanya dosen saat sudah di dalam ruangan.

"Yang keempat, bu"

Ibu dosen itu mengangguk dan kemudian membaca-baca hasil skripsi yang dikerjakan oleh wira. Saat ia membuka halaman pertam beliau menganggukkan kepala karena puas dengan pekerjaan wira. Tetapi setelahnya, muka beliau tampak menenggangkan dan raut mukanya datar.

"Kamu sedang tidak ada masalah selain dari skripsi kan?" ungkapnya kemudian.

"Enggak ada bu" jawab wira dengan cepat. Hati wira pun berdetak cepat. Pikirannya juga terasa tidak tenang.

"Kalau begitu, kamu berusaha lagi ya. Minggu depan temuin ibu lagi di ruangan ibu" jelasnya. Wira menggangguk lemas dan tak berani menatap mata dosen pembimbingnya.

"Wira" panggil beliau, wira menghentikan geraknya membuka pintu. "jangan patah semangat. Ibu yakin kamu bisa lulus tahun ini, diantara mahasiswa yang ibu bimbing, kamu adalah satu-satunya mahasiswa yang pengen sekali ibu harapkan skripsinya berkualitas dan lebih baik dari yang lain. Kamu pahamkan!" petuahnya terasa hangat bagi wira di dalam hati.

"Iya, bu. Makasih bu. Saya permisi dulu"

Walaupun ada sedikit revisi dari pembimbing. Wira tetap merasa bahagia oleh dukungan dari pembimbingnya. Ia tak berharap sama sekali dari awal untuk menjadi andalan dari pembimbingnya.

"Wira"

Panggilan dari belakang menyadarkan wira dari lamunannya. Ia menoleh dan melihat perempuan dengan gamis panjang dan dibalut dengan hijab pasminanya. Wira tersenyum dengan kedatangan perempuan itu. Gundah gulana yang ia rasakan karena revisi skripsinya hilang. Ketika ia melihat perempuan itu.

"Oh, marisa" sahutnya dengan tersenyum bahagia.

"Kamu sudah selesai bimbingannya?"

"Iya, kamu mau jalan kemana?"

"Aku..." pikirnya dengan menatap kearah langit-langit lorong kelas. Perempuan itu terlihat sangat manis dengan pipinya yang gembul dan mata yang bulat.

Wira mencubit pipi kirinya, gemas. "kamu sangat manis" ucapnya dengan menekan gigi-giginya. Marisa yang dicubit pun kesakitan dengan memegang pipi kirinya dan bibir yang dimonyongkan.

"Ayo kita mie ayam jamur pak bagong!" ajaknya merangkul pundak marisa.

"Bukankah belum buka?"

"Sudah buka!"

"Bukanya sore, myki"

"Ih, udah buka, myqu"

Begitulah mereka sepasang kekasih muda yang tiap akan makan berdebat terlebih dahulu.

Wira memang merahasiakan hubungannya dengan kekasihnya dari keluarganya. Ia takut ibu dan ayahnya akan marah jika mengetahui ia berpacaran. Sherla dan wira memang dijaga ketat oleh kedua orang tuanya untuk berpacaran. Kedua orang tuanya takut jika terjadi hal-hal yang ditakuti akan terjadi di zaman sekarang. Wira pun mengambil keputusan untuk diam-diam menjalin hubungan agar tak seperti kakaknya yang sudah berumur tapi tidak menikah-menikah. Tetapi orang tuanya pun tak ada niatan untuk menjodohkan anaknya karena mereka membebaskan untuk memilih pasangannya masing-masing.

"Ah, aku merasa sangat bersalah padamu. Padahal ini adalah pertama kalinya aku mentraktir mu seharusnya aku membelikan mu makanan mahal" pinta bima kepada sherla.

"Tidak apa-apa. Lagian aku juga lagi kepengen makan mie ayam jamur pak bagong. Tidak apa-apa" jawab sherla dengan tertawa bahagia.

"Maafkan aku. Aku akan meluangkan waktuku lagi agar kita bisa makan di restoran mahal"

"Tidak perlu repot-repot. Ini sudah cukup kok"

"Sungguh"

"Iya"

"Kalau begitu lain kali kita harus pergi makan bersama lagi"

"Apa" sahut sherla kaget dengan kemurahan hati bima. Bima memang dari keluarga yang berada dan ia juga bekerja di perusahaan besar negara tetangga. Jadi tak perlu ragu lagi, jika ia sangat bermurah hati pada semua orang.

"Apakah tidak apa-apa kamu pulang lebih cepat hari ini?" tanyanya kepada sherla. Hari ini sherla izin pulang lebih cepat karena sudah janji bertemu dengan bima.

Sherla menggangukan kepala dengan dibarengi tawa yang canggung. "Tidak apa-apa" jawabnya. Bukannya sherla merasa tidak nyaman berada di dekat bima. Akan tetapi, sherla sudah lama tak bertemu dan bercengkerama dengan bima sangat lama.

"Silahkan mas dan mbak" ucap bapak penjual mie ayam.

"Makasih" jawab keduanya bebarengan. Sherla menatap canggung bima karena kaget menjawab bersamaan tanpa sengaja.

"Haha... " tawa canggung sherla mengalihkan matanya dari bima. Matanya bergetar karena merasa canggung.

"Wira" ucap sherla berteriak dan menunjuk lelaki yang baru datang dengan didampingi perempuan.

Wira yang tak tahu kakaknya disana menatap kaget kakaknya itu.

"Kamu kenal?" tanya marisa pada wira.

"Dia kakak aku!" jawab wira pelan dengan segera menyembunyikan diri di belakang marisa.

Sherla berdiri. "Apa yang kamu lakukan disini dengan seorang perempuan. Bukankah kamu bilang hari ini ada bimbingan?" tanyanya menginterogasi.

"Sudah selesai" bantah wira dengan mengintip dari belakang marisa.

"Kalian duduklah disini" ajak ramah bima kepada wira dan marisa.

"Apa?" ucap wira dan sherla bebarengan.

"Ah, makasih" sahut marisa dan langsung mengambil tempat duduk di depan mereka berdua. Wira pun mengikuti marisa duduk dengan ketakutan karena sherla.

"Bagaimana caranya kamu menjelaskan semua ini kepada ku?" sherla langsung menodongkan pertanyaan pada wira.

"Tidak ada yang perlu dijelaskan"

"APA? Jika mama dan ayah tahu, bisa dibunuh sama mereka" ancamnya.

"Baiklah. Nanti akan wira jelaskan dirumah. Tapi mbak sherla janji tidak akan mengadu pada mama dan ayah"

"Tidak janji" ketus sherla menjawab.

"Ah... "wira menggerutu pada kakaknya itu.

"Salam kenal, mbak sherla. Saya marisa. Saya sudah banyak mendengar cerita mbak sherla dari wira" sapa marisa dengan sopan.

Sherla menganggukan kepala dengan tersenyum canggung yang diramahkan. "Apakah wira memperlakukan mu dengan baik?" tanyanya, membuat ketiga orang disekelilingnya menatap dirinya dengan kaget. "Bukan begitu. Aku... Aku hanya ingin tahu saja. Wira adalah bocah nakal yang tidak tahu malu" sanggahnya membela diri.

Lihat selengkapnya