H S R

Hitam dan Biru
Chapter #2

Gadis Desa

First mate..

Hari itu adalah hari di mana kemenangan umat Muslim tiba. Ya, Hari Raya Idul Fitri. Seperti rutinitas tahunan, aku dan keluarga pulang ke kampung halaman Ayahanda. Sanak saudara dari rantau pun tak mau ketinggalan berkumpul di kampung halaman menagih janji akan kebersamaan keluarga. Tapi mungkin tahun itu menjadi tahun yang spesial, karena di saat itu lah aku mulai mengenal ‘cinta’. Aku masih ingat di usiaku yang baru beranjak 13 tahun, saat itu aku bertemu dengannya, seorang gadis belia dari desa, manis rupanya, hitam dan panjang rambutnya, senyumnya yang membuat aku salah tingkah. Ah, aku terpesona, Aya namanya.

Hal yang tak kuduga, tepat di alun-alun desa aku bertemu dengannya. Saat itu kami berada di keramaian. Alih-alih aku melihatnya lebih lama, ia malah luput dari pandanganku. Tiba petang aku dan saudara-saudaraku kembali ke rumah, namun sekembalinya di rumah yang terngiang hanya raut wajahnya. Sesuatu yang mengganjal dengan rasa penasaran ala remaja seusiaku kala itu. Siapa dia? Entah kebetulan, tetapi hal itu juga yang terjadi padanya.

Keesokan harinya, aku terkejut gadis itu ada di depan rumah. Saat itu memang ada kegiatan jual beli yang rutin diadakan setiap minggu di desa. Yah, semacam pasar kaget. Menjadi ajang warga desa berkumpul, dari yang memang untuk menjajakan dagangan, mencari kebutuhan harian atau yang sekadar melihat-lihat. Tak luput mata kami kembali bertemu, saling bertukar pandang, mata yang dapat menyampaikan ribuan kata. Saat itu kuberanikan diri, aku menghampirinya.

“Hai! Kamu yang kemarin yang ada di alun-alun, kan? Kalau aku tidak salah lihat sih.” Ah bodohnya aku, datar sekali.

“Ii..iya, kk..kkamu juga ada kan kemarin di sana?”Jawabnya terdengar malu-malu.

“Iya. Kenalin, aku Je.”

“Aku Aya.”

Momen singkat dan situasi yang konyol bila diingat. Itu menjadi awal kami berbicara dan menjadi awal dari semua cerita.

***

Tak terasa kami sudah lumayan dekat. Setiap waktu selalu kusempatkan untuk menguntit sekadar hanya ingin melihat wajahnya. Mungkin bila disebut dengan bahasa anak milenial saat ini, aku adalah ‘bucin’ atau budak cinta dari seorang Aya. Sampai aku paham benar jadwal ia keluar dari rumah, seperti untuk mencuci pakaian di sungai. Itu adalah rutinitas gadis desa kami di masa itu. Saat itu, kuingat ada juga seorang anak laki-laki yang suka dengan Aya, dia salah satu warga asli desa, namanya Joni. Wataknya juga tidak jauh berbeda denganku. Pernah suatu ketika ia datang padaku, tepatnya ketika jadwalku menguntit Aya. Ia menghampiri dengan wajah masamnya yang sangat tidak sedap kupandang.

“Kamu kenapa selalu ada di dekat Aya? Kamu suka? Kamu tahu tidak, Aya itu pacarku. Kamu paham apa yang aku katakan? Jangan sampai aku mengulangi kata-kataku, bedebah!” Dengan sinis dan gaya sok arogannya ia berkata.

Tak perlu menunggu, aku langsung memukul wajahnya tanpa alasan. Aku yang paling tidak bisa dibentak atau diancam, memang inilah kesenanganku, kekerasan.

Cukup lama kami bergelut. Tak tahu berapa banyak memar dan luka yang ia dapat. Yang ada dalam pikiranku hanya, teruskan. Rombongan Aya pun menyadari kejadian itu, sebagian ada yang berteriak, sebagian lari meminta pertolongan warga yang kebetulan sedang bertani di dekat kejadian. Hingga datang beberapa orang tua mencoba melerai kami berdua, aku tertangkap, sedang Joni dan kawan-kawannya berhasil lolos dan lari terbirit-birit. Aku melawan melepaskan tangan orang yang memegangku. Menyadari bahwa aku adalah anak dari keluarga pimpinan adat di sana, orang tadi melepas genggamannya seraya berkata pelan dan menasehati. Hatiku masih kesal, jiwa brutal yang selama ini kupupuk di lingkungan tempatku besar bergejolak. Ini harus kuselesaikan, batinku. Aya yang sedari tadi memperhatikanku dengan cepat menarikku dan mencoba mendinginkan suasana.

“Udah! Udah! Aku mau pulang ke rumah. Cucianku udah selesai, kalau kamu bersedia aku ingin minta tolong kamu mengantarku, mau?” Entah angin dari mana, dengan mudahnya aku mengangguk setuju.

Sembari menyusuri pematang sawah di jalan pulang, Aya mencoba mengajakku mengobrol.

“Hei, kamu masih kepikiran? Kamu kenapa sih? Ribut soal apa?”

“Nggak tahu, gak jelas. Yang aku ingat tadi, dia mengancamku untuk jangan dekat-dekat denganmu, katanya dia pacarmu.” Dengan cueknya aku menjawab.

“Ahaha, dia emang gitu. Dia pernah bilang suka sama aku, tapi aku nggak membalasnya karena aku gak suka.”

“Oo, gitu.”

“Tanggapanmu kok.. Ah, udahlah. Aku duluan aja. Makasih udah nganterin aku.” Jawab Aya ketus sembari berjalan cepat.

“Hei, tunggu, kamu marah?”

“Habisnya kamu, aku coba jelasin tapi dibales gitu.” Balas Aya sembari menoleh.

“Memangnya kenapa?”

“Ah, udahlah. Aku duluan!”

Bingung. Itu yang kurasakan. Dengan standar sama sekali tidak ada pengalaman “interaksi” dengan gadis sebelumnya, aku terpaku diam. Situasi macam apa ini.

“Ttt..tt..tunggu Aya, maaf..maaf aku gak tahu maksud kamu. Aku cuma bingung, jujur aku baru pertama kali dekat dengan perempuan, aku gak tau apa yang bikin kamu kayak gitu, yang pasti kalau aku salah maafin aku.” Jelasku dengan tampang melas minta dikasihani.

“Kamu mau dimaafin? Kalau iya, datang kerumahku besok malam habis Isya.”

Lihat selengkapnya