Mata sayu..
Kejadian itu tepat pukul tiga sore, sayup-sayup kudengar suara lirih dari Ine yang berkata “Kamu jahat Je!!” Kalimat terakhir Ine sebelum semua canda tawa selama ini hilang ditelan waktu. Masih berlari ingatan-ingatan itu, bermunculan sejak awal kisahku dengannya dimulai. Masih tergambar jelas, sore hari jauh sebelum kejadian itu aku dan temanku Dana tengah asyik bermain tenis meja seperti biasa.
“Hahaha kamu gak bakalan bisa ngalahin aku Je! Kali ini kamu harus traktir kalau aku yang menang.”
“Sombong sekali kamu. Aku masih pemanasan. Lagian juga setiap kali kamu ajak main aku lagi gak semangat.”
“Halahh..Alasan yang sering kali kudengar. Yaudah, gimana kalau permainannya diganti dan kita taruhan.”
Dalam candaan itu, Dana mengajakku untuk berlomba mendapatkan seorang wanita tercantik di kelas yang sudah sangat kami kenal. Dengan pertaruhan, yang gagal harus mentraktir selama satu tahun penuh. Tawaran yang menggiurkan sekali, sontak aku langsung setuju dan pertarungan mendapatkan cinta pun dimulai.
***
Tidak terasa aku yang kini berumur 15 tahun dan menjadi tahun terakhirku di sekolah menengah pertama. Target perlombaan kami tidak lain adalah teman kelas kami semenjak kelas VII hingga IX. Gadis manis bersuku jawa, bernama Ine. Manis parasnya, mata sayunya yang indah, gigi gingsul yang menghiasi tiap ia tersenyum. Itu sih kata anak-anak cowok lain, tapi aku sama sekali tidak tertarik. Namun kali ini berbeda, harga diri dan kebanggaanku sebagai lelaki taruhannya. Karena aku paling tidak suka ditantang untuk segala hal.
Hari ini seperti biasa, aku berangkat sekolah dan sesampainya di kelas aku bertemu Ine. Kami memang sudah lama mengenal, tapi aku bingung harus mulai mendekatinya dari mana. Siangnya ketika jam istirahat, aku sedang di kelas sendiri. Saat mataku mulai senyap, kudengar pelan langkah kaki dan tawa kecil Ine dan temannya, Ceni, masuk dalam kelas, mereka tidak menyadariku yang tertidur di bangku belakang.
“Ne, kamu beneran gak terima Anggi? Ganteng begitu, atlet juga, sayang loh aku lihat mukanya muram.”
“Kamu kayak baru kenal Anggi, dia itu terkenal banget suka gonta ganti pacar, bahkan aku pernah lihat dia didatangi dua orang cewek karena tahu dia selingkuh. Aku paling anti dengan cowok playboy.”
Kebiasaan perempuan kalau tidak sedang berdandan pasti ngerumpi.
“Ehem eheemm.”
Sontak mereka berdua kaget mendengar suaraku, sedangkan Ine tidak sengaja menyentuh vas bunga kesayangan Bu Lusi hingga terjatuh dan pecah.
“Ehhh, aduh pecah. Ini kan punya Bu Lusi, aduh gimana ini Cen, bisa-bisa aku habis diomelin seharian, mana jam pelajarannya lagi sehabis istirahat.”
“Udah, kita kumpulin aja pecahannya, buang di kotak sampah, bilang aja kalau kita tidak tahu.”
“Bener, bener, itu solusi terbaik, dan kamu Je, awas saja kalau kamu cerita kejadian ini ke siapa-siapa!” Tukas Ine.
Dasar, salah sendiri pikirku. Lagi pula kenapa harus mengancamku. Ah sudahlah, perduli setan. Sampai dengan jam pelajaran dimulai, seperti biasa Bu Lusi yang mengajar pelajaran matematika mulai menyadari jika vas bunga kesayangannya tidak ada di tempat semestinya.
“Anak-anak, ada yang lihat vas bunga ibu tidak?”
Serempak seisi kelas menjawab tidak tahu. Tetapi seperti kata pepatah, sepandai-pandainya menyimpan bangkai lambat laun pasti tercium juga. Wajah Bu Lusi yang menemukan pecahan vas bunganya memerah dengan setengah teriak dia berkata “Siapa yang sudah memecahkan vas bunga ini dan membuangnya di kotak sampah?! Siapa?”
Seketika kami saling tatap satu sama lain, suasana kelas tiba-tiba menjadi gaduh, Bu Lusi yang terkenal galak dan tegas tidak segan-segan menghukum muridnya. Kulihat wajah pucat Ine yang duduk di bangku belakang, takut jika Bu Lusi mengetahui bila ia adalah pelakunya.
“Oke, berarti tidak ada yang mau mengaku yaa, ibu yakin pasti ada salah satu di antara kalian, kalau tidak ada yang mengaku kalian semua ibu hukum berdiri di lapangan sampai jam pulang sekolah!”
Suasana diam kembali berubah menjadi kegaduhan kecil, anak kelas yang melirik dan bertanya satu sama lain. Terlintas dipikiranku inilah saatnya menjadi pahlawan, tentu untuk mencapai suatu tujuan harus ada pengorbanan yang kulakukan.
“Saya bu, saya yang memecahkan dan membuangnya.”
Sembari berdiri dan berkata seperti itu aku sedikit menyesali, kenapa aku melakukan ini, bukankah masih ada cara lain untuk mendapatkan perhatian Ine?.
“Oh kamu, baguss, baru minggu kemarin kamu buat ulah ribut dengan anak kelas lain dan sekarang kamu buat masalah lagi, keluar kamu! Hormat dengan bendera hingga jam pulang sekolah dan kamu tidak diizinkan untuk istirahat duduk, keluar!!”
Dengan langkah santai aku keluar kelas, sempat kulihat wajah Ine yang tidak percaya aku melindungi kesalahan yang dibuatnya. Hampir tiga jam aku menjalani hukuman dan sempat menjadi tontonan siswa-siswi yang lain. Hah malunya. Sialan! Sampai dengan jam pulang sekolah datang, aku menepi di depan kelas mengendorkan urat kakiku yang terasa mau putus. Ine yang sejak tadi ada dibelakangku mulai mendekati.
“Jj..je aku masih gak percaya kamu bilang gitu tadi. Mm..mma..makasih ya aku gak tahu harus bilang apa lagi dan maaf aku tadi udah ngancem kamu, nggak tahunya justru kamu yang melindungi kesalahanku.”
“Nggak usah ge-er, lagian kalau gak ada yang ngaku satu kelas bisa kena hukum bareng. Aku ngelakuinnya bukan buat kamu juga!”
Setelah berkata demikian aku masuk kelas mengambil tas dan buku-buku seraya meninggalkan Ine yang masih terpaku di depan kelas melihatku pergi bergitu saja. Ah bodohnya. Kenapa aku harus berkata seperti itu ke dia, ini semua kulakukan untuk dekat dengannya. Kenapa malah jadi sok keren, ah bodoh bodoh bodoh!, kutukku dalam hati. Keesokan hari entah angin dari mana sikap Ine yang semula biasa-biasa saja denganku berubah 180 derajat, Ine yang sangat perhatian denganku, mengajakku untuk mengobrol dan sampai menyiapkan bekal untukku. Aku yang memang terkenal tidak pernah makan di kantin, bukan karena tidak punya uang, tetapi uang yang biasa diberikan oleh Bunda selalu kubelikan rokok.
“Je, aku tadi beli rujak di depan sekolah, aku tahu dari teman-temanmu kalau kamu suka makan pedes, jadi sekalian deh aku beliin kamu, ini diterima yaa.”
Ceni dan anak-anak kelas yang sedari tadi memperhatikan kami hanya tercengang. Ine yang selama ini tidak pernah bersikap offensive dengan anak laki-laki kini dengan manjanya bertingkah seperti itu denganku.
“Alhamdulillah, ternyata si Je enggak homo seperti yang kita pikirkan selama ini. Ternyata si Je pacar Ine.”
Sialan!, batinku. Suasana pun riuh dengan sorakan, Ine yang malu tertunduk kemudian berlari kecil keluar kelas. Semenjak kejadian itu perhatian Ine semakin kuat terhadapku dan aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan memberikan respon balik padanya dikarenakan pertaruhan dengan Dana masih berlangsung.