TERIK matahari tak menyurutkan semangat Habibi memacul sepetak tanah di pekarangan samping rumah yang akan dimanfaatkannya untuk ditanami beberapa tanaman. Tak dihiraukan pula peluh sebesar-besar biji jagung yang membanjiri wajah hingga tubuh telanjang dada laki-laki berstatus kepala rumah tangga tersebut.
“Mas Habi, istirahat dulu, Mas. Ini aku udah buatin es teh manis,” seru Habibah dari arah teras.
Bertepatan Habibi telah menyelesaikan pekerjaannya, ia pun tak menunggu lama lagi untuk meneguk kesegaran es teh manis itu bak orang terdampar di gurun pasir yang baru saja menemukan warung. “Alhamdulillah, segar banget, Bibah.”
“Mas Habi bau acem. Cepetan Mas bersih-bersih dulu sana. Keburu dedek bayi di dalam ikut kebauan cium ketek acemnya Mas.” Habibah mencapit hidungnya dengan ujung jari telunjuk dan ibu jari, sementara telapak tangan lainnya mengusap-usap permukaan perut. Dilihatnya sekujur tubuh Habibi yang mengilat oleh keringat itu memang seperti mendoan habis selesai berenang di kolam minyak.
“Siap, gerak! Habibi ganteng calon papa muda siap mau mandi, maju jalan!”
Habibah hanya bergeleng-geleng kepala sambil menahan senyum geli melihat suaminya itu sudah gercep mengambil handuk.
“Oh ya, Bibah, habis ini buatin mas es teh manis lagi, ya?”
“Iya, Mas.”
Usai mandi dengan sabun Komodo si teman baik, Habibi menghampiri Habibah yang tengah menyiram tanaman-tanaman mereka. Di atas meja teras, ia ikut mendapati segelas es teh manis buatan Habibah.
“Bibah, ini es teh manis yang untuk mas, ya?”