Satu. Aku tahu aku sudah sinting.
Kata Yana, ada tiga kesintingan di dunia. Pertama, sinting karena harta. Kedua, sinting karena cita-cita. Dan ketiga, sinting karena cinta. Sinting karena dua hal pertama bisa diobati dengan kitab Ihya Ulumuddin, sementara sinting yang ketiga tidak ada obatnya.Sudah lama diketahui, cinta adalah virus berbahaya. Sekali melekat, susah dilepaskan. Mengoreknya hanya membuat hati berdarah.
“Banyak pelajaran dari sejarah, seperti yang pernah kamu bilang,” ujar Yana, “kamu ingat Helen of Troy? Layla Majnun? Bagaimana akhir hidup mereka? Menderita, bukan? Apa enaknya hidup kalau siang malam hanya menangisi sang kekasih? Tubuh bebas, tapi hati dan pikiran terpenjara. Lebih baik terpenjara, tapi hati dan pikiran berkelana ke mana-mana.”
Tapi, jatuh cinta bukanlah sesuatu yang bisa direncanakan. Itu yang Yana lupakan. Seseorang bisa saja berencana pergi sekolah, mengerjakan tugas sekolah dengan tekun, atau pergi ke perpustakaanuntuk meminjam buku. Tapi, mereka tidak bisa berencana untuk tidak jatuh cinta di sekolah atau di perpustakaan. Cinta adalah sesuatu yang berada di luar dimensi manusia. Ia tidak berada dalam rencanarencana atau cita-cita. Tidak punya ruang dan waktu. Cinta diciptakan dengan dimensi dan logikanya sendiri dan diciptakan Tuhan untuk masuk ke alam manusia dengan cara yang tidak mampu kita pahami.
Dua. Aku yakin sudah jatuh cinta.
Tapi, perasaanku ini tidak seperti yang digambarkan dalam buku-buku. Tidak penuh dengan bunga-bunga bermekaran seperti musim semi, tidak wangi layaknya melati, atau indah seperti matahari pagi. Perasaan ini cenderung muram seperti senja berkabut. Perasaan yang tidak mampu kupahami. Kadang bergejolak seperti badai, lain hari tenang seperti danau. Satu yang tetap adalah, pikiranku tidak pernah bisa lepas dari dia. Benakku selalu memutar kenangan saat aku melihatnya untuk pertama kali. Momen itu tersimpan bersama momen-momen lain yang berharga dalam hidupku. Dengan suatu cara, lelaki itu menyelinap ke dalam pikiranku dan tak mau keluar dari sana.
Aku tidak yakin Yana memahami ini.
“Apa kamu pernah jatuh cinta, Yana?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena aku bertekad hanya akan jatuh cinta dengan suamiku sendiri. Kelak.”
Ah.
Cinta tidak sesederhana itu. Dan, sudah jelas cinta, bukanlah sejenis makhluk yang bisa diatur denganlogika manusia.
Setidaknya, aku membuktikan itu di suatu siang yang terik. Di akhir Juli, di bawah pohon mahoni.
***
Kemarau membuat apa saja meranggas. Daun-daun, rerumputan, tanah, bahkan kulitku. Tapi, hanya satu yang tetap hijau sepanjang musim. Tegak menantang hari dengan batangnya yang kuat nyaris tidak terkalahkan dan menghujam bumi dengan akar tunggangnya yang menjalar. Dahan-dahannya merentang seperti ibu yang menyambut kepulangan anak-anak. Ialah pohon mahoni. Satu-satunya makhluk selain manusia yang kusebut “ia”. Ayah menanamnya empat jam setelah kelahiranku.