“Media sosial memiliki kecepatan tak terbayangkan dalam melambungkan seseorang sekaligus menenggelamkannya.”
—Radical Proverb
TEKNOLOGI INFORMASI dan komunikasi (TIK), menurut Ninok Leksono (2011), telah memanjangkan dan meluaskan manusia. Bukan kaki dan tangan manusia, melainkan daya pikir dan juga keseluruhan akal budinya. Bagaimana merespons gegap gempita zaman informasi era digital yang mendapat sumbangan terbesar dari internet?
Inilah pemandangan umum pada zaman booming gadget. Orang keranjingan jejaring sosial, mengirim dan menerima surel, mention BBM, SMS, Twitter, dan Facebook. Berbagai aktivitas itu terkadang dilakukan secara simultan. Anak-anak, murid sekolah, dan mahasiswa mengerjakan tugas seraya mendengar musik dan update status. Otak manusia berbeda dengan prosesor kumputer. Otak manusia itu serial, bukan paralel. Gadget memaksa orang berpikir dan bertindak paralel.
Manusia kini berada dalam persimpangan jalan. Keterpesonaan terhadap gadget mengancam daya kepemimpinan atas urusan-urusan dan daya konsentrasi yang berperan sentral dalam proses kreatif. Kini manusia digiring menuju kedangkalan, serbapraktis, dan autistik. Pola pikir dan perilaku orang menjadi dangkal karena terlampau dimanjakan internet. Meminjam ungkapan Ranggawarsita, pujangga besar Jawa, “Pasar ilang kumandange. Kali ilang kedunge.” ‘Pasar kehilangan riuh-rendah. Sungai tak lagi punya lubuk.’
Belanja TIK masyarakat Indonesia mencapai 27 triliun per tahun. Kontribusi produksi dan kreasi gadget nyaris tak terdengar. Sebuah negeri di kawasan Skandinavia yang berpenduduk empat juta jiwa pernah menguasai pangsa pasar ponsel di negeri Indonesia yang berpenduduk 240 juta jiwa. Industri gadget telah bergeser dari Finlandia (Nokia) ke Kanada dan Amerika (BlackBerry dan Apple). Tren terbaru BB dan Apple telah digeser Samsung (Korea). Samsung telah digerogoti gadget murah buatan Tiongkok.
Ada tiga tarekat: Appelawiyah, Samsungiyah, dan Crossiyah. Loyalitas pemakai Apple, Samsung, dan Cross unik. Mereka bertarung layaknya tiga sekte yang saling bersaing. Terjadi pertarungan antara Amerika Serikat (AS) vs Asia di pasar TIK. Tablet Apple dipandang lebih hebat dibandingkan Samsung dan Cross. Maka, ketika Samsung dan gadget Asia bisa menyodok Apple di pasar tablet, itu sungguh mengagumkan.
Ketidaksanggupan memberi sumbangsih di bidang kreasi dan manufaktur gadget yang sarat dengan komponen mini menunjukkan kedangkalan dan ketidakmampuan berpikir mendalam bangsa Indonesia.
Media sosial hanyalah kelanjutan dari tradisi kelisanan di Nusantara. Bangsa Indonesia baru belajar membaca, belum menulis. Begitulah Facebook, Twitter, Whatapps, BBM, dan Instagram. Semuanya gerundelan versi tulisan. Syukur bila gerundelan itu bermutu. Bila tidak bermakna, ya, memang begitulah wajarnya kultur cangkeman (kelisanan).
Mesin cetak dan produk peradabannya, setelah 550 tahun berjaya, sedang dipinggirkan dari kehidupan intelektual. Pergeseran ini dimulai pada pertengahan abad ke-20. Saat itu orang mencurahkan lebih banyak waktu dan perhatian pada produk gelombang pertama media elektronik yang sangat menghibur: radio, fonograf, televisi, dan bioskop. Semua teknologi itu dibatasi ketidaksanggupan mentransmisikan kata-kata tertulis.
Kini, arus utama revolusi TIK sedang mencapai puncaknya ketika piranti tangan (gadget) menjadi sahabat setia. Saat komputer jaringan mengecil menjadi Nokia, Sony, BlackBerry, iPhone, dan Samsung, pestanya berubah jadi inaugurasi bergerak, kapan pun dan di mana pun.
Internet menjadi pilihan menyimpan, mengolah, dan berbagi informasi dalam semua bentuk—teks, gambar, dan suara. Internet itu akses cepat ke timbunan informasi, alat pencarian dan penyaringan yang ampuh, dan cara mudah mengungkapkan pendapat. Padahal, baru dua dekade pemrograman perangkat lunak Tim Berners-Lee menulis kode World Wide Web. Internet itu penjaga sekaligus pencuri. Ia menjaga agar selalu terhubung dengan dunia luar. Ia mencuri perhatian hingga manusia tidak independen lagi.
Membaca dengan saksama yang dulu terjadi secara alami, kini harus diusahakan dengan susah payah. Internet mengikis kemampuan berkonsentrasi dan merenung. Semakin sering menggunakan web semakin besar perjuangannya untuk tetap fokus pada lembaran tulisan panjang. Orang tahu internet, mengorbankan sesuatu yang esensial, tetapi mereka tidak mau kembali pada kebiasan lama. Begitu seseorang mahir online, menurut Niholas Carr dalam The Sh@llows (2011), buku tidak diperlukan lagi.
Dulu LOL kepanjangannya Lots of Love. Sesudah ada internet artinya Laugh Out Loud. Sekarang maknanya berubah jadi Lucifer Our Lord. Lucifer pada zaman sekarang mewujud dalam bentuk harta, kekuasaan, dan uang. Orang begitu mudah mengambinghitamkan piranti teknologi untuk dosa penggunanya.
***
Tulisan panjang Bu Anni “Tak Kuhadiri Reuni, Sebab Aku Miskin” di Kompasiana, 16 Juli 2013, di bawah ini, mengisahkan bagaimana pemujaan berlebihan pada berhala materi telah menyingkirkan cinta dan persahabatan pada zaman internet.
Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial ini memengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih, mantan teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam hitungan minggu atau bulan saja sudah ditemukan, bahkan sudah bisa kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya.