“Sebagai pembelajar sepanjang hayat, saya punya keyakinan bahwa cara terbaik belajar, ya, dengan membaca, menulis, dan mengajar.”
—J. Sumardianta
SUNGGUH SENANG rasanya dapat menuliskan “Prolog” untuk buku ini. Sebelum yang lain-lain, saya ingin menunjukkan mekanisme praktik berbahasa berikut: kegiatan membaca yang baik akan memunculkan potensi menulis yang baik. Kegiatan membaca yang baik akan mudah sekali terbangun apabila seorang pembaca dapat menemukan bacaan yang baik (tentang ini saya suka menyebutnya sebagai “bacaan yang bergizi”). Salah satu syarat kebergizian sebuah buku atau bacaan biasanya ditunjukkan oleh bahasa tulisnya yang kadang muncul secara jelas dan kadang tidak. Menurut saya, buku atau bacaan itu bergizi jika memiliki bahasa tulis yang tertata, bening, dan (setelah keduanya dapat dirasakan, muncullah yang ketiga:) “nendang”.
Dalam Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza (Kaifa, 2003), saya gemar sekali mempersepsi buku sebagai makanan untuk memudahkan dan meringankan kegiatan saya dalam membaca teks. Beberapa istilah dalam memperlakukan makanan saya pakai untuk memperlakukan buku (sederetan teks yang disusun secara sistematis dan tertata). Mencicipi, membangkitkan selera, koki, ngemil, dan—itu tadi—bergizi adalah beberapa istilah yang saya pakai ketika saya berhadapan dengan buku. Dan, rasa “nendang” sebuah buku akan dapat kita temukan apabila kita pernah memakan makanan yang tiba-tiba saja memberikan sebentuk rasa yang berbeda—katakanlah: mengejutkan—ketika kita memakannya meskipun makanan tersebut sudah sering kita makan. Rasa yang berbeda itu bisa muncul karena koki yang mengolahnya memiliki pengalaman dan pengetahuan memasak yang hebat.
J. Sumardianta adalah seorang “koki” yang hebat. Dia punya pengalaman panjang membaca buku dan juga pengetahuan tentang membaca yang luar biasa. Setiap kali membaca tulisan-tulisannya, saya kerap disuguhi bacaan yang bahasa tulisnya tertata, bening, dan “nendang”. Ketertataan berarti bahasa tulis tersebut dapat memenuhi akal sehat atau mematuhi kaidah-kaidah “reasoning” (penalaran). Kebeningan mungkin dapat dipadankan dengan kesegaran atau kecerahan dan kadang-kadang kalimat-kalimatnya mampu mengusik emosi pembacanya.
Selain mencerahkan, tulisan Pak Guru—demikian saya memanggil J. Sumardianta—juga menghadirkan sesuatu yang berbeda atau tidak biasa (khususnya ketika Pak Guru memanfaatkan kata atau istilah tertentu yang sedang “tren”). Dan, ke-“nendang”-an itu terutama terkait dengan pesan atau makna yang ingin disampaikan oleh kata-kata yang sudah diracik dan disajikan (siap santap) oleh Pak Guru. Pesan atau makna dibalik kisah-kisah yang disampaikan Pak Guru kerap membawa hal-hal baru.
Cobalah, sebelum menikmati kekayaan rasa makanan—eh, bacaan—yang terdapat di halaman-halaman buku ini, cicipi saja dulu “Sekapur Sirih” yang disajikan secara lezat oleh Pak Guru. Saya jamin di dalamnya Anda akan dapat memenuhi satu di antara tiga unsur—atau malah ketiga unsur—kebergizian yang telah saya sebutkan. Bagaimana Pak Guru berhasil memiliki kemampuan menulis yang dapat menciptakan bacaan yang bergizi? Membaca adalah kuncinya.
Kegiatan membaca tak hanya memampukan Pak Guru meluaskan wawasan dan cakrawala berpikirnya, tetapi juga memperkaya dirinya dengan “bahasa” (baca: kata-kata). Menjadi kaya raya dengan “bahasa” akibat membaca ini saya temukan dalam riset ahli linguistik Dr. Stephen D. Krashen. Lewat bukunya The Power of Reading, Dr. Krashen menulis:
“Apabila Anda gemar membaca dan menjalankan kegiatan membaca tersebut dengan rasa senang, Anda akan memperoleh—secara tidak sengaja dan tanpa usaha yang dilakukan dengan sadar—hampir semua hal yang disebut sebagai ‘keterampilan berbahasa’: pertama, Anda akan menjadi pembaca andal; kedua, Anda akan mendapatkan banyak sekali kosakata; ketiga, Anda akan dapat mengembangkan kemampuan memahami dan menggunakan susunan kalimat rumit; keempat, Anda akan mampu membentuk gaya penulisan yang bagus dan khas diri Anda; dan kelima, Anda akan menjadi pengeja yang hebat (meskipun tidak sempurna).” (Lihat Hernowo [editor], Quantum Writing, MLC, halm. 112).
Saya tidak tahu secara persis apakah Pak Guru memiliki kelima kemampuan yang disebutkan oleh Dr. Krashen akibat kegiatan membacanya; tetapi, saya yakin, Pak Guru setidaknya memiliki satu di antara kelima kemampuan itu: kekayaan kosakata atau bahasa. Dampak dari kekayaan yang dimilikinya itu, kemudian menjadikan Pak Guru mampu menulis dengan variasi kata dan rangkaian kata yang rancak dan sesekali—sebagaimana sudah saya sampaikan—“nendang” itu.
“Guru zaman digital harus inklusif, horisontal, dan sosial. Tidak bakal ditengok bila masih berparadigma analog. Guru era digital tidak mungkin mengajar dan mendidik dengan cara-cara zaman kertas. Zaman digital itu zaman VUCA: Vitality (dinamis dan cepat berubah), Uncertainty (sulit diprediksi), Complexity (rumit penuh komplikasi), dan Ambiguity (membingungkan penuh paradoks)”—(saya kutip dari “Sekapur Sirih” dalam buku ini).
Cobalah nikmati hasil racikan Pak Guru tersebut dengan daya pikir dan juga “daya rasa”. Ketertataan, kebeningan, dan rasa “nendang” dalam memanfaatkan kata dan istilah yang marak pada era saat ini, era digital, begitu menggigit dan mampu menyedot perhatian siapa pun yang benar-benar melakukan pembacaan mendalam (deep reading)—tak hanya memikirkan, tetapi juga merasakannya.
***