Ruangan kantor yang ramai karena serombongan siswa kelas enam sibuk merubungi wali kelasnya, mendadak sunyi bagi Mala. Ketika sebuah kertas orange berukuran separuh folio dan berbungkus plastik tergeletak di atas tumpukan buku, di meja sampingnya. Bertuliskan Undangan Reuni 15 th di pojok sebelah kiri. Meja milik Bu Titin. Mala menajamkan mata, meyakinkan bahwa undangan itu dikenalnya. Dadanya menghangat dan dunia serasa senyap.
Apakah semua akan baik-baik saja?
Tiba-tiba sebuah tepukan lembut di bahunya, membuatnya menyadari bahwa dia masih berada di ruangan kantor dengan kebisingan anak kelas enam yang kompak melenguh kecewa. Lalu guru kelas menyuruh mereka segera pulang.
“Bu Mala. Lihat, siapa ini?”
Mala menoleh dan mendapati Bu Titin menggenggam lengan mungil seorang anak lelaki berambut keriting yang menunduk dalam
“Mamat?”
Bu Titin mengacungkan sebatang rokok yang tinggal separuh. “Nih, kepergok lagi.”
Mala gemas. Selintas terbayang tingkah Nurdin yang tidak jauh berbeda dengan Mamat. Menunduk dalam hingga nyaris membungkuk. Mala meraih lengan Mamat dan membawanya keluar ruangan.
Semua guru sudah angkat tangan dengan tingkah Mamat, termasuk Kepala Sekolah. Ketika ketiga kali Mamat kepergok menghisap dan membawa rokok ke sekolah, orang tuanya sudah dipanggil. Dan yang menghadap adalah paman mereka yang tingkahnya tidak jauh berbeda. Keriting, menunduk dalam dan sebungkus rokok yang menyembul dari balik kantong kemeja. Begitu dia memasuki ruangan, bau asap rokok pekat menguar dari pakaian dan badannya.
Orang tua Mamat dan Nurdin berpisah, dan mereka terpaksa hidup bersama adik ibu mereka. Diurus sekedarnya, karena paman mereka hanya seorang pedagang es keliling. Sang paman tak mau bercerita banyak tentang kedua orang tua anak itu, hanya keluh kesah bahwa Mamat dan Nurdin menyusahkan hidupnya. Kalau saja bukan karena nenek Mamat dan Nurdin yang menghendaki Sang Paman mengurus kedua keponakannya, kedua anak itu pasti sudah diserahkannya ke panti asuhan.
Jadi, lengkap sudah. Bila Mala menghendaki Nurdin dan Mamat menjadi anak baik di luar sekolah, dia tidak bisa berharap pada pengasuhnya. Tapi bila di sekolah, urusannya menjadi berbeda. Kedua anak itu menjadi tanggung jawabnya.
Bunga Albizia chinensis berguguran dan sebagian kelopak kuningnya bersemayam di antara rambut Mamat. Mala masih menggenggam tangan Mamat ketika mereka sudah duduk di bawah pohon Albizia chinensis—pohon Sengon yang banyak tumbuh di halaman sekolah—di samping ruangan kantor, menghadap ruangan kantor yang berjendela kaca. Murid kelas enam sudah berhamburan keluar kantor, tinggal beberapa guru yang mempersiapkan diri untuk pulang.
“Mamat ....”