Hadiah dari Tuhan

Quaanra
Chapter #1

Anti sosial

Hujan sudah mereda, senja hadir menggantikan awan kelabu di langit. Di sebuah ayunan di taman perumahan, seorang gadis dengan pakaian yang basah kuyub tengah menunduk, bermain pasir sembari bergumam sendirian. "Kenapa Papa jahat sama Dedeknya Asya." Gadis berumur sembilan tahun itu kembali terisak, membuat ucapannya terdengar kurang jelas.


Dari gerbang taman, seseorang laki-laki mendekati gadis tersebut, pakaiannya juga terlihat sama basahnya dengan gadis itu. Air wajahnya semula terlihat lega namun perlahan berubah sendu mendengar perkataan gadis itu. "Papa gak jahat, Sya. Papa cuman lagi marahan sama mama." Lelaki itu berlutut, mengusap jejak air mata di wajah gadis itu.


Gadis bersurai hitam itu mendongak, memperlihatkan wajahnya yang bertambah putih karena kedinginan. "Papa marahan? Papa ngambek sama Mama?" Lelaki itu mengangguk kemudian tersenyum memperlihatkan deretan giginya. "Asya ikut kakak pulang yah?" Gadis yang sedari tadi menyebut dirinya dengan nama Asya menggeleng lemah.


Lelaki itu tersenyum kecil, ia tahu anak kecil manapun akan ketakutan setelah melihat pertengkaran seperti tadi. "Ayo pulang, nanti makan ayam goreng dirumah." Asya tersenyum, tertarik dengan tawaran kakaknya. "Ayo makan ayam goreng!" Asya mengulurkan tangannya, lalu turun dari ayunan dan pergi dari taman bersama kakaknya.


Asya dan kakaknya telah tiba dirumah. Gadis kecil itu sedikit menggigil saat berpindah ke sisi ibunya. "Asya main di mana? Mama nyariin loh daritadi." Seorang wanita berumur 30 tahunan itu memeluk putrinya dengan sebuah handuk.


Dalam gendongan Ibunya, Asya pergi menuju kamarnya, lalu duduk di kasurnya, Ibunya pergi mengambil pengering rambut. Sembari menunggu Ibunya, Asya terus memperhatikan perut buncit yang menyembul di balik baju kaus ibunya.


Pengering rambut dan pakaian ganti sudah tiba untuk Asya. "Asya pergi kemana aja tadi?" Ibu Asya bertanya sembari mengarahkan pengering rambutnya kesana kemari.


"Asya tadi main sama Bang Eja di taman," ucap Asya. Sudah usai mengeringkan rambutnya, Asya mengambil baju tidur bermotif kartun dan menggantinya satu persatu dibantu oleh Ibunya.


"Mama, tadi Abang bilang ada ayam goreng." Asya menagih janji Abangnya. Ibunya tersenyum lalu segera menyelesaikan kancing terakhir. "Iya ada kok di kulkas, tapi Mama goreng dulu, ya. Nanti habis makan Asya tidur, ok." Asya mengangguk.


"Nanti mama juga ikut makan, biar adeknya Asyah bisa cepet gede," timpal Asyah diikuti tawa imutnya, Ibunya tersenyum lalu pergi ke dapur diikuti oleh Asyah.


«««


Enam tahun sudah berlalu, Asya kecil kini sudah bertambah dewasa dan sudah duduk di kelas akhir sekolah menengah atas. Memang terlalu cepat karena ia mengambil sistem sekolah 2 tahun di jenjang SMP, dan setahunnya lagi, karena ia lahir di akhir tahun.


Senin pagi, ini hari pertama untuk seorang Rasyah Dancia bersekolah setelah libur yang cukup panjang. Rasyah sudah memasuki halaman depan sekolah, ia melihat ponselnya menunjukan angka enam dan dua belas, waktu dimana sekolah masih cukup sepi. Saat ini hanya ada dia, murid-murid kutu buku dan beberapa anggota OSIS.


Dan Rasyah bukan seorang murid kutu buku yang menjadi penghuni perpustakaan, maupun siswi yang terkenal karena menjadi ketua organisasi OSIS. Sejak pertama sekolah hingga hari ini, Rasyah hanyalah siswi biasa yang paling muda dalam satu angkatannya.


Kelas Rasyah tidak terlalu jauh dari pintu gerbang, cukup belok kanan dan berjalan beberapa meter, ia sudah bisa melihat pintu kelas. Pintu dari kelas limited edition dimana kelas ini jauh dari ruang guru namun sangat dekat dengan kantin, bahkan bersebelahan.


Namun entah pagi ini Rasyah berkeliaran kemana, sehingga ia baru sampai di kelas, tepat saat bel masuk berbunyi. Kini Rasyah sudah duduk manis di tempatnya, siap melaksanakan pekerjaannya sebagai seorang siswi SMA.


«««


Para siswa dan siswi sedang sibuk mencatat materi di papan. Seorang siswi di sebelah Rasyah sedari tadi sibuk memainkan pena sambil melihat kesana kemari. "Sshtt!!" Siswi itu mendesis pada teman sebangkunya.


Rasyah berbalik, "Apa?" Siswi itu memberi isyarat khusus dan Rasyah memahaminya "Bentar dikit lagi selesai nyatatnya," balasnya.


Tidak sampai dua menit, Rasyah menutup penanya dan maju ke meja guru. "Pak izin mau keluar kelas."


Pria berumur sekitar akhir 30-an itu mengalihkan pandangan dari ponselnya. "kemana?" tanya guru tersebut.

Lihat selengkapnya