Masih di gudang, namun kali ini Rasyah tidak lagi merapikan rak gudang. Ia sudah duduk di kursi gudang.
Setelah Rasyah tertimpa kardus berat, OSIS itu segera menuntunnya untuk duduk di kursi lalu pergi.
"Duh, kemana sih ketua OSIS tadi?" Rasyah berusaha melepaskan sepatunya, untuk melihat keadaan kakinya.
"Ihh, bengkak banget. Itu kardus isinya apasih?" Rasyah mendekati kardus yang ia jatuhkan lalu membukanya.
Terlihat ada banyak bingkai kayu berukuran sedang dan beberapa pipa besi pendek. "Pantesan aja bengkak semua." Rasyah menutup kembali kardus itu lalu mengangkatnya ke tempat yang seharusnya.
Rasyah dengan terpincang kembali ke kursinya, namun ia rasa ada yang aneh. Tubuhnya sedikit meremang, ia segera berlari bahkan hampir terjatuh karena kakinya yang sakit. "Gara-gara kepo nih jadi lupa diri kalau penakut." Tak lama bel sekolah berbunyi samar karena gudang yang terletak di bagian paling belakang sekolah.
Rasyah duduk di sebuah batu paving sisa, menunggu si ketua OSIS untuk membebaskannya dari tugas ini. "Rasyah!!!" Bukan orang yang ditunggu, yang datang sambil meneriaki namanya malah Aza.
Aza menghentikan lariannya, lalu ikut duduk di atas batu paving sisa di samping Rasyah. "Kan udah gue bilangin ke kelas aja, di hukum 'kan." Aza berbicara tanpa mengatur napasnya.
"Heh, ngomong apasih, belepotan banget. Atur napas dulu, baru ngomong." Rasyah tak terlalu menghiraukan Aza, ia malah sibuk memperhatikan gudang.
"Lo liatin apaan sih, sampe segitunya?" Lihat? Saking cerewetnya dia, saat masih terengah-engah pun ia bisa bicara panjang lebar.
Rasyah menarik kecil seragam Aza. "Za, minta tolong ambilin sepatuku, itu di dalam gudang." Rasyah menunjuk gudang yang tadi.
"Ih, gak mau. Lagian ngapain lo ninggalin sepatu disana, cuman sebelah lagi." Aza Tidak bergerak dari tempatnya, ia masih sibuk mengatur napasnya bahkan, rasanya Aza ingin berbaring di tanah berlumut di sekitarnya.
"Ih Aza, ambilin dong masa jahat sama temen sendiri." Rasyah tidak menyerah untuk merengek pada Aza.
"Ambil sendiri sana, masa kesana aja ga berani. Gue lihatin aja yah, dari sini?" Aza bernegosiasi, rasanya ia sudah terlalu nyaman duduk di paving tua ini.
"Aza gak kasihan apa lihat nih kaki udah merah terus bengkak semua?!" Rasyah tetap teguh meminta Aza mengambilkan sepatunya.
Bukannya bersimpati, Aza malah tertawa hingga tak bersuara lalu tertawa lagi. "Aduh, Syah. Kasihan lagi gue, baru juga berhenti ngos-ngosannya malah lanjut ketawa sampe sesek napas, nih." Aza terbatuk, tawanya sangat penuh kebahagiaan yah.
"Ihh Aza!! Minta tol-." Ucapan Rasyah terputus begitu juga dengan tawa Aza.
keduanya tiba-tiba membungkam diri saat si OSIS datang dan masuk ke dalam gudang. "Nih, kalau ribut kayak tadi gak bakal ada yang ngambil sepatunya." Rasyah mengangguk, lalu menerima sepatunya. "Makasih, kak."
OSIS itu melihat Aza, lalu menyodorkan kotak putih di tangannya. "Nih, obatin teman dia." Aza menerima kotaknya. "Iya Raka."
"Ooo namanya Raka toh." Rasyah membatin. Raka pergi setelah mengambil sepatu dan memberikan kotak P3K.
"Za, kamu kenal sama tuh ketua OSIS?" Rasyah mulai menggali informasi sambil memakai sepatunya.
"Ya inget lah, dulu pas pemilihan gue sama lo kan sepakat mau milih dia gimana sih." Aza membongkar kotak P3K.
Aza menemukan minyak di dalam kotak P3K. "Ehhh, copot lagi sepatunya belum juga di obatin." Aza baru sadar Rasyah sudah memakai kembali sepatunya.
Rasyah menurut, ia melepas kembali sepatunya. "Kok kamu bisa inget namanya? Aku aja lupa." Aza berhenti mengoleskan minyak di kaki Rasyah.
"Udah ihh jangan tanya gituan, males gue." Eh, biasanya Aza hanya seperti itu sedang membicarakan Seli si seleb jadi-jadian di kelas sebelah.
Rasyah mengerutkan alisnya, menatap Aza dengan intens. "Jangan-jangan ...." Aza berhenti menggosokkan minyak, Rasyah juga berhenti bicara melihat Aza.