Ini adalah hari pertama sekolah, hanya sebuah pengenalan, belum mulai kegiatan belajar mengajar. Dari perkumpulan anak perempuan yang hanya berjumlah belasan, terlihat Carla asik mengobrol dengan mereka. Meski dia satu-satunya orang yang tak menggunakan kerudung, karena memang agamanya bukan Islam.
Sebelumnya Carla tidak saling mengenal dengan orang-orang ini, tetapi karena menjadi kelompok minoritas, mereka saling berkenalan satu sama lain. Selain mereka, hanya tampak kelompok laki-laki yang juga tengah asik mengobrol. Carla merasa cukup cocok dengan teman-teman barunya, meski baru saja berkenalan.
Akhirnya lonceng berbunyi, semua siswa disuruh berbaris rapi di lapangan. Tentu saja Carla menurut dan ikut berbaris sesuai kelas. Sampai pengumuman dari guru yang di depan selesai dan semua kelas dipisahkan ke tempat berbeda, yang masih di sekitar lapangan, semuanya terasa biasa saja bagi Carla. Namun, tiba-tiba pandangannya terarah ke tempat lain saat ada seorang siswa laki-laki yang dipanggil ke depan.
Carla mengamati siswa itu, ia tahu siapa siswa tersebut. “Arsa?” gumamnya, pelan.
“Siapa itu, Carla?” tanya salah seorang teman perempuannya.
“Ah, bukan siapa-siapa, aku hanya teringat pada seseorang.”
“Cie ....” Temannya tadi mencoba untuk menggoda Carla.
“Hanya teman masa kecil.”
“Iya, iya. Cuma temen.”
Kendati temannya itu mengatakan iya, tetap saja raut wajahnya membuat Carla merasa malu. Lagipula, kenapa ia malah mengucapkan nama orang itu? Wajah Carla tertunduk, tak mau melihat ekspresi temannya.
Saat semua murid dibubarkan, Carla berpisah dengan temannya. Sejenak Carla melirik ke arah gerbang sekolah sebelum pergi ke parkiran. Ia berhenti, matanya terarah pada seorang siswa laki-laki dengan celana biru pendek yang tengah menggeser layar smartphone. Langsung saja Carla mengubah arah, mendekati siswa tersebut.
Carla menyapanya, sambil memerhatikan wajah murung pemuda itu. Namun, ia merasa sedikit kesal karena ternyata teman masa kecil yang disapanya—Arsa—telah melupakannya. Walau demikian, Carla tetap mencoba sabar dan langsung memperkenalkan diri.
Percakapan mereka berlasung selama beberapa saat, sampai saat Carla berbicara sambil mengurai rambut panjangnya, Arsa kembali menunduk, memeriksa pesan di smartphone-nya. Merasa terabaikan, Carla lantas mengambil dengan paksa benda tersebut dari si pemuda. Ia sedikit marah, tetapi reda selang beberapa detik.
Sekarang, mereka berdua tengah dalam perjalanan pulang mengendarai sepeda motor milik Carla. Berhubung Arsa yang mengendara, Carla dapat dengan bebas memeriksa isi smartphone Arsa tanpa dipedulikan oleh Arsa. Ternyata gadis ini masihlah sama seperti dulu, terlalu berani pada Arsa layaknya seorang pacar.
“Aku gak nyangka kamu dulu punya pacar. Sejak kapan kalian jadian? Dan, kenapa kamu mutusin dia tanpa alasan yang jelas?” Pertanyaan beruntun tersebut keluar dari mulut Carla.
“Ternyata kamu melihat pesan di WhatsApp-ku.” Arsa menghela napas panjang. “Mungkin dua minggu lalu. Aku mengenalnya ketika SMP, dan entah kenapa aku ingin mencoba pacaran. Tapi, hubungan itu hanya berlangsung satu minggu.”
“Lalu, ngapa kamu mutusin dia?”
“Aku bosan. Gak asik menjalin hubungan kayak gitu. Dia hanya menjadi semacam pengganggu yang membuatku semakin malas. Mengirimkan pesan setiap saat, kemudian harus dibalas saat itu juga. Apa yang menyenangkan dari itu?”
“Tapi tetap saja—”
“Biar aku tegaskan. Itu sangat membosankan dan gak berfaedah!”
“Jangan mempermainkan perasaan gadis!”
“Sakit, sakit, sakit, sakit!” Arsa menjerit kala perutnya menerima cubitan dari Carla.