Selasa, 1 April 1986.
Pagi ini, Aku mengayuh sepeda tua di jalan setapak yang hanya dilalui beberapa orang. Namaku Djusen, Ayah ku pernah berkata bahwa itu gabungan antara dua kata yang dia satukan yaitu Djuru dan seni sehingga tercipta Djuru seni (Djusen) Ayah dan Ibuku orang Indonesia tepatnya di Dusun Selika Padang Guci Provinsi Bengkulu. Aku pun besarnya di Padang Guci dan menjadi Guru disini. Setiap Senin sampai Sabtu aku mengayuh sepeda tua milik ayahku.
Sreet dos
"Ah sial, Ban ku kempes."
Lamunanku terbuyar seketika mendengar bunyi ban yang kempes dan ternyata ban sepeda ku yang kempes.
Djusen mendorong sepeda tuanya menuju sekolah yang lebih kurang 3 Km lagi jaraknya.
♢♢♢
"Pak Djusen."
Seorang wanita berkulit putih berjilbab biru mendekati Djusen yang hendak menyandarkan sepedanya dibawah pohon sekolah.
"Ada apa Ibu Nilam?"
Tanya lelaki berbadan tinggi sedikit berisi berkulit putih gersang sedikit berbintik bintik hitam.
"Pak Djusen kita akan mengadakan rapat di kantor semua anak anak sudah di beri tugas oleh Pak Sahdan, Semua guru sudah berkumpul dikantor, Ayo!" ajak Bu Nilam.
"Oh, Baiklah Bu Nilam."
Djusen mengikuti langkah Ibu Nilam sembari melihat jarum jam di arloji tangannya menunjukan pukul tujuh lewat tiga puluh lima menit.
♢♢♢
"Selamat pagi Pak, Selamat pagi semuanya."
Sapa Djusen ke Kepala sekolah dan rekan rekannya yang sudah berkumpul semua.
"Silahkan duduk Pak Djusen."
Kepala sekolah mempersilahkan Djusen duduk di kursi yang sejajar dengan Ke empat orang guru lainnya.
"Baiklah langsung saja saya katakan ke intinya ke para Guru sekalian bahwa Sekolah kita akan di tutup!"
Pak Gogon tanpa basa basi mengumumkan kepada Ke lima orang Guru yang mengajar di Sekolah menengah pertama tersebut.
"Mengapa ? Ada masalah apa ini pak? Tidak bisa menutup sekolah begitu saja pak."
Djusen berdiri dari tempat duduknya.
"Betul pak."
Ibu Nilam berdiri setelah Djusen.
"Apa yang bisa kita lakukan ? Tanah ini tanah sengketa!"
Pak Gogon bangkit dari tempat duduknya berjalan melihat keluar jendela yang berada di belakang kursi membelakangi ke lima orang rekannya.
"Pak Gogon masih ada cara agar sekolah ini tidak ditutup."
Ibu Nala bangkit dari kursinya.
"Betul pak, Jika sekolah ini ditutup bagaimana dengan anak anak yang bersekolah disini? Jika harus pindah sekolah mereka harus berjalan 10 Km jika tidak memiliki sepeda pak!"
Balas Pak Judin
"Betul pak, Hampir merata murid murid kita tidak memiliki sepeda terlebih lagi bagaimana nasib murid kita yang Tuna wicara pak!"
Pak Sahdan ikut bangkit dari tempat duduknya sehingga tidak ada lagi guru yang duduk dikursinya.
"Kita harus bisa memperjuangkan sekolah ini terutama mereka semua."
Djusen mengangkat dan menggepalkan tangan kanannya.