"Allaahu akbar, Allaahu akbar
Allaahu akbar, Allaahu akbar
Asyhadu allaa illaaha illallaah
Asyhadu allaa illaaha illallaah
Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah
Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah ...."
Hagia Sophia kembali menyerukan azan setelah 85 tahun. Umat Muslim Turki bersuka cita menyambut hari bahagia --yang ditentang oleh banyak kalangan tentu saja.
Anak kecil berlarian menuju halaman --tempat yang kini disebut Masjid. Jumat yang indah. Para lelaki dewasa tersenyum lebar, akhirnya mereka bisa merasakan lantai Hagia Sophia sebagai tempat bersujud. Keputusan besar dari pemimpin Turki saat ini.
Bukan hanya para lelaki. Wanita muda, dewasa, remaja, dan bahkan mereka yang bukan Muslim berdiri menatap kubah yang menjulang tinggi. Dari sana suara azan terdengar nyaring.
Sementara itu, dari balik mereka, muncul seorang gadis berwajah basah. Ia berdiri menatap ke atas puncak menara. Bibirnya gemetar diiringi isak tangis yang nyaris tak terdengar. Orang-orang yang tadi terpaku pada seruan salat, kini beralih menatapnya.
"Ada apa dengan gadis itu?" Seorang wanita yang berdiri tepat di belakang gadis itu membuka suara. Tentu saja hal itu membuat sebagian orang --yang tadi tidak menyadari-- kini turut bertanya-tanya.
"Lihat, apa yang dia pegang?"
"Apa dia baik-baik saja?"
"Apa yang terjadi padanya?"
"Apa yang ada di tangannya itu?"
Orang-orang mulai berisik dengan pertanyaan mereka.
"Ibu, tangan gadis itu berdarah!" teriak seorang bocah perempuan berambut keriting dengan wajah pucat. Membuat sang Ibu bergegas membawanya pergi dari tempat itu.
Di tengah kebisingan, seorang wanita tua berjalan mendekat. Sejak tadi ia memperhatikan gadis itu.
"Nak, apa yang terjadi padamu? Apa kau butuh pertolongan?" tanya wanita itu lembut.
"Aku ...." Gadis itu mencoba bicara. Tangan kanannya memegang pemecah es yang dipenuhi darah. Matanya kini bertambah basah. "Aku telah membunuh seseorang."
Semua orang berteriak mendengar pengakuan gadis itu. Beberapa di antara mereka berjalan menjauh dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas masing-masing.
"Aku membunuhnya. Menusuk jantungnya hingga tidak berdetak lagi."
Kini tubuh gadis itu jatuh ke tanah. Ia berlutut di depan Hagia Sophia. Pemecah es yang sejak tadi digenggam erat, ia biarkan terjatuh dan meneteskan sisa-sisa darah yang masih basah.
Wanita tua tadi tetap berada di sisi gadis itu. Ia tidak lagi ingin bertanya. Namun, ia tahu, apa pun yang dilakukannya, bukan karena gadis itu seorang yang jahat. Ia bisa melihat luka yang sangat besar di kedua mata biru gadis berkerudung biru tua itu. Luka yang teramat besar.
Wanita itu tahu, gadis itu datang ke sana adalah bentuk dari penyesalannya.
Tidak lama berselang, beberapa petugas polisi datang. Tentu saja beberapa orang dari kerumunan tadi yang melaporkan pengakuan gadis itu.
Sementara orang-orang mulai panik, gadis itu tetap diam. Ia terus diam ketika kedua tangannya dilingari borgol. Ia tetap diam ketika dua petugas polisi membawanya menuju mobil. Ia diam. Benar-benar diam. Hanya basah yang jatuh di kedua pipilah yang mewakili jawabannya.
Sementara orang-orang terus bertanya, siapa yang dibunuhnya? Mengapa ia membunuhnya?
***
Juli 2010
-----
"Sophia?"
"Ya, Bu, aku turun!" Sophia berlari menghampiri sang ibu. "Kita berangkat sekarang?" tanyanya dengan wajah berbinar. Gadis tujuh belas tahun itu tidak sabar ingin menghabiskan liburan di tempat yang akan mereka kunjungi.
"Seharusnya kita sudah berangkat sejak tadi, Sophia." Shafiyah mencubit lembut lengan putri tunggalnya yang baru saja lulus dari SMA dengan nilai terbaik itu. "Ingat, ini liburan terakhir kita, setelah ini kau akan pergi kuliah ke luar negeri, kita hanya bisa bertemu dua kali dalam satu tahun, jadi ...."
"Ibu!" Sophia menghentikan ucapan sang ibu. "Ayah, Ibu memulainya lagi." Ia tidak pernah suka ketika sang ibu mengingatkan bahwa mereka akan berpisah. Ia belum pernah hidup terpisah dari kedua orang tuanya. "Aku tidak suka berpisah dari Ayah dan Ibu," ujarnya dengan mata mulai memerah.