Lima hari berlalu setelah kejadian menggemparkan yang dialami oleh Sophia dan kedua orang tuanya. Polisi masih belum menemukan titik terang, sebab tidak ada seorang pun yang muncul sebagai saksi.
Ayah dan Ibu Sophia sudah sadarkan diri. Akan tetapi, belum ada seorang pun yang memberitahu pada mereka apa yang sebenarnya menimpa Sophia. Yang mereka tahu, gadis ceria itu masih dalam keadaan koma.
Benar. Kondisi Sophia yang teramat mengenaskan itu membutnya hampir kehilangan nyawa. Setelah enam belas jam menjalani operasi, dokter menyatakan bahwa Sophia masih dalam kondisi koma. Selain fisik, mental gadis itu pun terluka. Dalam kondisi tidak sadar pun otaknya masih menyadari betul apa yang telah menimpanya.
"Bagaimana kondisi Sophia?" tanya Yusuf pada Azwar yang siang itu bertugas menjaga sang kakak. "Apa dia baik-baik saja?"
"Sophia koma. Dia akan baik-baik saja. Jangan khawatir." Azwar mencoba menghibur sang kakak.
Sementara di luar kamar, terdengar beberapa orang sedang bercakap-cakap. Hal itu membuat Azwar penasaran. Ia bangkit dari duduk dan meninggalkan Yusuf seorang diri.
"Ada apa?" tanya Azwar ketika dilihatnya tiga orang petugas polisi berbicara dengan istrinya.
"Kami harus bicara dengan Pak Yusuf," ucap salah satu petugas yang tampak pemimpin di antara ketiganya.
"Kakak saya belum stabil. Dia belum siap untuk mendengar kabar buruk itu."
"Kami tahu. Kami hanya ingin meminta sedikit keterangan. Mungkin saja beliau mengingat sesuatu."
Azwar berpikir sejenak. Kemudian mengangguk seraya berkata, "Baiklah. Tapi aku tidak ingin kalian mengatakan apa pun tentang Sophia."
Ketiga polisi itu mengangguk setuju.
Dengan berat hati Azwar mempersilakan ketiga orang itu masuk dan menemui sang kakak.
"Polisi ingin bertanya beberapa hal," bisik Azwar di telinga sang kakak.
"Selamat siang. Saya Akbar." Pemuda bermata sayu itu memperkenalkan diri sopan.
"Ya," sahut Yusuf lemah.
"Bisakah Bapak mengingat apa yang terjadi sebelum kecelakaan terjadi?"
Yusuf menelan ludah getir. Matanya terpejam mencoba mengingat detail apa pun tentang hari itu.
"Detail sekecil apa pun akan sangat membantu." Akbar membuka suara, mencoba meyakinkan.
"Dua pemuda mabuk mengejar kami. Mobil dengan atap terbuka. Mereka mengejar kami seperti kesetanan. Lalu entah apa lagi yang terjadi."
Seorang petugas yang lebih muda tampak fokus mendengar dan mencatat setiap ucapan Yusuf.
"Bapak ingat wajah mereka?" tanya Akbar lagi.
"Aku hanya melihat satu orang. Si pengemudi. Sedangkan satu lagi tampak bersandar karena mabuk. Aku tidak melihat wajahnya."
"Petugas sketsa akan datang untuk melukis apa pun yang Bapak ingat dari satu orang itu. Bapak bersedia?"
Yusuf mengangguk lemah. Ia hanya ingin pelakunya ditangkap. Apa pun akan dilakukan untuk menjebloskan berandal itu ke penjara.
"Bagaimana kondisi putriku?" tanya Yusuf kemudian. "Aku ingin melihatnya."
Akbar terdiam dan menatap Azwar sekilas. Kemudian berujar, "Dokter akan menjelaskan kondisi Sophia kepada Bapak."
Dalam kondisi seperti itu, Yusuf hanya bisa pasrah. Ia sudah cukup tenang mendengar istri dan putrinya juga mendapat penanganan.
Andai bisa waktu kembali diputar. Ia tidak akan membawa keluarganya berlibur ke tempat itu. Padahal, sang istri sudah menyatakan keberatan.
"Setiap tahun kita ke Ciwidey. Ada banyak tempat yang bisa didatangi, kenapa harus ke sana lagi?" protes Shafiyah malam itu.
"Aku butuh tempat paling nyaman untuk beristirahat. Selama ini hanya satu tempat itu yang cocok untukku. Lagi pula, kita masih harus mencari tahu soal penginapan, dan lain-lainnya jika mencari tempat baru."
Seperti biasa, Shafiyah selalu patuh pada keputusan sang suami.