Gerimis yang turun sejak pagi masih saja enggan berhenti. Lahan pemakaman basah, sehingga membuat kaki sulit bergerak di atasnya. Daun-daun segar tampak merunduk paksa karena menahan beban air yang menumpang singgah, kemudian jatuh ke atas tanah.
Sementara itu, Sophia tampak tidak surut barang sedikit pun. Ia masih berdiri di sana. Di antara dua makam yang basah. Menatap bergantian nisan putih bersih yang dibuat dari kayu. Tangan kanannya memegang payung hitam, dan tangan kirinya jatuh dalam hampa.
Hidup dan kebahagiaannya telah terkubur di bawah sana. Tertimbun tanah merah berhias kelopak-kelopak bunga berbagai warna.
Dokter baru mengizinkannya pulang setelah hampir dua bulan ia beraktivitas di rumah sakit. Bahkan sekadar untuk mengunjungi makam kedua orang tuanya pun, tim dokter tidak membolehkan.
"Aku akan membebaskanmu setelah aku memutuskan kalau kondisimu sudah membaik, Sophia." Dokter Ranty menegaskan.
"Aku hanya ingin mengunjungi makan Ayah dan Ibu."
"Makan itu akan tetap ada di sana. Kau bisa mengunjunginya kapan saja. Tapi nanti setelah aku menyatakan kondisimu membaik. Bersabarlah."
Merasa sendiri. Sophia hanya bisa terdiam dalam pasrah. Namun, apa yang dokter Ranty katakan adalah benar. Kondisinya memang tidak baik-baik saja. Ia masih merasakan sakit yang luar biasa di bawah sana, bahkan setelah satu bulan terbaring di ranjang rumah sakit.
Hari ini, ketika tim dokter tersenyum memberitahukan bahwa kondisinya sudah baik-baik saja, Sophia pun turut tersenyum. Seluruh keluarga menyambutnya dengan bahagia. Mereka memutuskan bahwa Sophia akan tinggal bersama Azwar.
"Temui psikiater. Kau membutuhkan itu. Fisikmu memang sudah membaik, tapi batinmu membutuhkan pengobatan jangka panjang yang sangat serius. Kau mengerti?" bisik Dokter Ranty sebelum Sophia meninggalkan rumah sakit. Gadis itu hanya mengangguk dan tersenyum.
Setelah memeluk satu per satu tim dokter serta perawat yang membantunya selama ini, Sophia meninggalkan rumah sakit dengan dada berdebar. Ia meminta sang paman untuk langsung mengantarnya ke permakaman. Azwar pun menuruti tanpa membantah. Ia tahu betapa besar kerinduan yang ditanggung Sophia saat ini.
"Apa yang terjadi kepada Ayah, Paman?" tanya Sophia akhirnya. Sudah lama ia ingin mengetahui cerita utuh dari kepergian sang ayah.
"Serangan jantung. Itu yang dokter katakan."
"Bukankah Bibi bilang Ayah sudah membaik dan Paman menemaninya setiap saat?"
Azwar menghela napas berat. "Ya. Paman menemani ayahmu siang dan malam, bahkan saat makan."
"Lalu?"
"Tapi hari itu perawat masuk dan meminta Paman untuk menunggu di luar. Tidak lama kemudian perawat memanggil dokter, dan paman sempat melihat kondisi ayahmu sedang kejang di atas ranjang."
Sophia terdiam. Ia ingin menyalahkan seseorang, tapi tidak tahu siapa. Namun, hati kecilnya selalu lebih tenang dan bisa menerima takdir dirinya.
Tidak ada yang menaruh curiga kepada perawat itu. Perawat yang memicu kematian. Meskipun mati adalah kuasa Tuhan, tapi caranya menjadi perantara adalah kesalahan yang datang dari keserakahan.
Sophia berpasrah diri dengan menghela napas berulang kali. Tidak sekali pun ia pernah mengira, bahwa semua akan dirampas dari dirinya dengan sekali kejadian saja. Orang tua, kesucian, masa depan yang sejak lama diimpikan, juga kebahagiaan. Semua lenyap seketika. Namun, dari semua kesakitan itu, ia membenci fakta bahwa pelakunya tidak pernah terungkap.
Polisi menemui jalan buntu. Begitu yang ia dengar setiap kali mencari tahu.