Ternyata tidak mudah menjadi seorang sekretaris Tama. Kesibukannya luar biasa. Dinda berpikir, seorang Bos selalu memiliki kesenangan. Kesenangan bersantai-santai. Itulah enaknya jadi Bos yang pintar. Asal otak berguna, waktu pun bisa dia kendalikan. Tapi ternyata yang dipikirkan Dinda salah. Setiap Tama tidak berada di kantor, itu bukan berarti Tama sedang santai-santai diluar sana. Justru dia sedang meeting dengan beberapa klien. Hari ini saja, baru pertengahan hari, dia sudah bertemu 2 kliennya. Masih ada 3 klien lagi yang mesti ditemuinnya hari ini. Saking sibuknya menemani Tama meeting, Dinda bahkan lupa kalau waktu sudah melewati jam makan siangnya.
“Mau makan dimana, Dinda?” Tanya Tama yang menoleh ke arah Dinda. Posisi Tama yang berada disamping Dinda, dimana mereka duduk dibangku belakang mobil Alpard yang sedang dikendarai Pak Amir, supir pribadi Tama, membuat wajah Dinda merona. Rasanya, Dinda ingin segera menjawab pertanyaannya, namun mulutnya terasa terkunci. Dinda yang daritadi menahan rasa groginya, sekarang berada dipuncaknya. Gagap telah merasuki suaranya. Dia benar-benar tidak bisa berkata. Bagaimana tubuhnya tidak kaku. Orang yang sudah Dia sukai selama setahun belakangan ini, berada tepat disampingnya, disebelahnya, bahkan lengan mereka seringkali bertemu.
“Dinda, kamu sakit? Kenapa diam seperti itu.”
“Enggak Pak.”
Fiuhhh… akhirnya mulut Dinda bisa berkata lagi.
“Saya cuma kaget aja, Pak Tama tiba-tiba nanyain mau makan dimana.”
Dinda berusaha melemparkan senyuman termanisnya, yang membuat salah satu teman kantornya, Bimo, jatuh hati kepadanya, sampai detik ini.
“lho?? Kenapa kaget? Perasaan saya tadi bilangnya biasa aja, enggak teriak. Kamu mau makan apa?”
“Emmmm… saya ikut Bapak aja deh.”
“Hahaha… kamu mau ikut saya? Kalau saya makan cacing, kamu mau makan juga? Hahaha.”
Tawa Tama renyah. Tawa itu membuat Dinda sedikit terharu. Sudah lama Dinda tidak melihat gelak tawanya yang seperti ini. Tama itu terkesan arogan saat berada di kantor, walaupun sebenarnya baik hatinya. Namun, dibalik sifatnya yang terlihat tidak peduli terhadap orang lain terkecuali tentang pekerjaannya, membuat Dinda tak pernah menduga jika Tama bisa sesantai ini dan seramah ini saat berada di luar kantor. Dan hal itu membuat Dinda makin menyukainya.
“Ya enggak gitu juga, Pak. Kecuali kalau makannya sepiring berdua, baru saya mau. Otomatis romantis, hehe.” Humor Dinda sudah mulai terlihat. Itu artinya, Dinda mulai nyaman berbicara dengan Tama.
“Haha.. gombal deh kamu. Ya udah kita makan di restaurant Jepang aja gimana? Kamu mau enggak?”
“Ya, apa boleh buat deh kalau Bapak yang maksa. Saya mah pasrah aja.”
”Hahaha… kok pasrah sih, kalau laki-laki lain nawarin kamu kayak gini, kamu pasrah juga?”
“Ya enggaklah pak, pasrahnya sama Bapak doang, hehe”
“Ah, kamu ini gombal terus. Kalau kamu tau siapa saya sebenarnya, kamu bisa kecewa nantinya, hehe.”
“Aku tau kok pak.” Jawab Dinda dengan nada pelan. Pelan sepelan-pelannya. Berusaha menjawab tapi tak ingin Tama mendengarmya.
“Hah? Apaan?” Tanya Tama berusaha meminta Dinda untuk mengulang jawabannya.