“Akhirnya sampai di kantor juga. Padahal hanya beberapa jam kita ninggalin kantor, tapi rasanya kangen ya?” Dinda menoleh ke Tama, berkata sembari tersenyum. Tama hanya menjawab dengan senyuman balik. Dari raut wajah Tama, sepertinya Tama masih memikirkan obrolan yang mereka bincangkan saat makan siang tadi.
Setelah makan siang tadi, Tama tak berbicara lagi kepada Dinda. Bahkan saat bertemu dengan klien-klien tadi, Tama hanya berbicara kepada Dinda sebatas seputar pekerjaan saja. Semua itu membuat Dinda semakin ragu jika Tama bisa menjadi miliknya. Semakin membuat Dinda yakin jika Tama akan menghindarinya setelah Tama tau bahwa secara tidak langsung, Dinda telah menawarkan diri menjadi tempat besandarnya.
“Sore banget sih baru baliknya. Kita baru mau balik, kalian malah baru datang. Abis ngapain aja loe? Dikenalin sama kaum gay nya ya? Hahaha.” Tanpa basa-basi, Ranty langsung menggoda Dinda, begitu Dinda baru sampai di meja kerjanya, yang diiringin tawa dari Nada dan Ria.
“Biarin dia gay, klo hati yang sudah bicara, enggak ada istilah normal atau enggak.” Timpal Dinda.
“Emang bener-bener gila nih ya temen kita yang satu ini. Tau cowok yang disukanya Maho, tetep aja masih naksir. Kayak yakin aja dia bisa suka loe.” Celotehan Nada membuat Dinda terdiam. Sebenarnya, semenjak Dinda melihat Tama yang berubah menjadi pendiam setelah terjadinya adegan pengakuan cinta dari Dinda secara tidak langsung, membuat Dinda menjadi ragu apakah Tama bisa kembali normal dan apakah dia justru bisa menyukai Dinda juga.
“Lho, kok loe sedih gitu sih? Maaf... kata-kata gue emang keterlaluan ya?” Nada membujuk sahabat kantornya tersebut agar Dinda tidak marah kepadanya.
“Gue enggak marah kok. Gue emang enggak yakin sih kalau Pak Bos bisa suka sama gue. Tapi gue berharap banget. Kan keren tuh kalau seorang Dinda bisa membuat seorang Bos Tama menjadi normal kembali, haha.”
Ucapan Dinda spontan keluar begitu saja membuat Tania, Nada, dan Ria ikut tertawa. Namun disaat mereka berempat tertawa, terdengar suara pintu ruangan Tama terbuka. Dari situ munculah seorang laki-laki tampan. Dia melambaikan tangan ke arah Dinda seraya memanggil Dinda agar segera masuk ke ruangannya.
“Wew, si bos denger gak ya obrolan kita tadi”, tanya Ria.
“Mudah-mudahan enggak. Gue takut dipecat.” Ucap Nada sambil mengangkatkan kedua tangannya seakan sedang berdoa.
“Enggak denger lah. Kan dia di ruangannya. Ruangannya kan kedap suara. Udah masuk aja sana, Din. Kita duluan ya. Bye Dinda sayang.” Ranty langsung menarik lengan Nada dan Ria seraya berlalu sambil tertawa licik.
“Huh, awas kalian.” Ucap Dinda pelan yang masih diikuti ketawa licik dari sahabat-sahabatnya itu.
“Ada apa Pak?” Sapa Dinda langsung masuk kedalamnya.
“Duduk dulu saja.”