HAL TERBEGO TENTANG CINTA

Chiklarasati
Chapter #3

ORBIT 2

Bagaimana rasanya jika tiba-tiba senior paling populer di sekolah yang selama satu tahun hanya bisa kau pandangi dari kejauhan sambil mendengar hujan pujian akan betapa kerennya dia dari teman-teman sekelasmu membuka jati dirinya sebagai perebut ciuman pertamamu? Parahnya lagi, kedua keluarga kalian sekarang bereuni dan kau bisa membaca situasi dengan jelas, mulai hari ini, orang tua kalian tidak terpisahkan.

Aku, papa, mama, tante Mayka, dan Tiger tengah duduk berbincang di ruang tamu dengan sejumlah minuman dan makanan ringan di atas meja. Menurut pengakuan tante Mayka, saat dia kembali ke Indonesia tiga tahun lalu dia sempat mencari keberadaan keluargaku tapi tidak ketemu. Setelah itu dia terlalu sibuk mengembangkan bisnisnya hingga tidak sempat memikirkan hal lain selain bisnis dan kedua anaknya.

Keluargaku memang pindah rumah saat aku kelas lima SD. Mama dan Tante Mayka putus komunikasi sejak keluarga mereka pindah ke Jepang waktu itu. Tapi setelah ayah Tiger meninggal dua tahun lalu ibunya memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan menyibukkan diri demi melupakan kesedihannya sepeninggalan suami.

“Biskuit ini enak, tante.” Puji Tiger saat dia mencicipi biskuit yang mama sediakan di atas meja. Tampaknya tidak ada perubahan mencolok dari dirinya yang masih TK. Disukai banyak orang, dan selalu tau cara agar dia tetap disukai seperti itu.

“Biskuit itu Runa yang bikin,” jelas mama dan aku mengangguk bangga. “Itu karena Runa hobi makan, jadi dia sering masak yang enak-enak di rumah ini,” sambung mama kemudian, membuatku berdesis pelan.

Seisi ruang tamu kini tertawa.

Tante Mayka, ibu Tiger yang mulus dan ramping, yang saat ini sedang duduk di sampingnya memasang wajah yang haru agak berlebihan. Tidak, bukan berarti dia berekspresi seperti itu secara paksa. Hanya saja, sejauh yang kuingat dia memang tipikal ibu-ibu yang selalu berlebihan dalam mengekspresikan perasaannya. “Wah…gak nyangka ya anak kita udah pada besar semua. Aldi sekarang dosen di Jakarta, Leon lanjut doktoral di Tokyo, Runa dan Tiger juga udah SMA.”

“Dan Tiger jadi atlit bola tenis muda. Tante sama om jarang nonton olahraga dan gak update soal olahraga. Makanya waktu dengar dari Runa, tante sama om langsung takjub sama kamu. Kamu mau fokus tenis buat karir kamu, ya?”

“Iya tante,” sahut Tiger.

“Ketemu lagi seperti ini membuat nostalgia,” gumam tante Mayka

Tiba-tiba mama tampak mendapatkan ide cemerlang. Mata mamaku berbinar seraya aku dan Tiger secara bergantian.

“Oh, ya, Runa! Kenapa gak ajak Tiger keliling rumah kita?” usul mama.

Aku mengernyit. “Sejak kapan rumah kita jadi museum, ma?”

Mama tiba-tiba menjadi tuli. Mama melemparkan pandangannya ke arah Tiger. “Tiger, ada kolam kura-kura di belakang. Sementara orang tua membahas masalah orang tua, mungkin kalian bisa membahas tentang… Ehm!”

Aku mengangguk pelan sambil tersenyum paksa dan melanjutkan kalimat mama agar dia tidak semakin mengawur, “Tentang anak muda.”

“Iya, masa muda.” Mama cengir dan berkedip sebelah mata pada Tiger.

****

Jadi setelah menghindar dari obrolan orang tua kami, aku dan Tiger mendatangi bagian belakang rumah. Kami berjongkok di pinggir kolam dangkal yang menjadi tempat ternyaman kura-kura peliharaanku. “Lucu. Siapa namanya?” Tanya Tiger degan mata tersenyum memandangi kura-kuraku.

“Electro,” jawabku. Sebenarnya Electro dulunya peliharaan mendiang nenekku. Saat nenek meninggal aku merengek pada mama dan papa agar Electro dibawa ke rumah kami sebagai peninggalan nenek yang berharga.

Tiger kekeh. “Kayak nama musuh Spiderman. Kenapa Electro?”

“Mendiang nenek yang kasih nama.”

Senyum di bibir Tiger memudar. Kemungkinan besar dia teringat kalau dulu aku sangat dekat dan manja dengan nenekku, dan dia juga tahu bagaimana rasanya kehilangan. Beberapa tahun kemudian setelah momen paling menyakitkan itu, akan ada saat di mana kita mengenang orang yang meninggalkan kita selamanya, dan momen itu akan menjadi momen di mana kenangan-kenangan lama—penting atau pun tidak—semuanya muncul tanpa kendali menjadi kenangan yang manis dan pahit secara bersamaan.

Tiger melepas sandal rumah dan kaus kakinya, menggulung celana panjangnya hingga selutut, menampakkan betisnya yang kokoh dan bersih. Tanpa pikir panjang dia turun ke kolam mendekati Electro yang sedang bermalas-malasan di ujung sana. Tiger berjongkok dan menyentuh punggung tempurung Electro dan membelainya dengan penuh kehati-hatian. “Electro pasti sangat berterimakasih ke kamu,” gumamnya.

“Sekarang aku yang berterimakasih ke Electro karena berkat dia kita bisa kabur dari obrolan ibu-ibu.”

Tiger berdiri tegak dan melihat ke arahku sambil tertawa dan kerutan menawan itu kembali terlihat. “Simbiosis mutualisme,” sahut Tiger.

Aku tersenyum.

Tiger menyentuh punggung Electro sekali lagi sebelum naik kembali ke pinggir kolam dan kami berdiri berhadapan.

“Tiger juga gak pernah berubah,” kataku, Tiger mengernyit memikirkan arti perkataanku. “Populer dan selalu dikerumuni banyak orang,” jelasku akhirnya.

Tiger menunduk dengan mata terpejam dan menggigit bibir seperti menahan malu. “Una sering dengar cerita anak-anak Gideon tentang aku?” tebaknya.

“Hm-m,” gumamku, tersenyum menggoda.

Tiger menggosok bagian belakang lehernya dengan telapak tangan kanannya. “Tapi Una pasti bagian dari orang yang gak peduli tentang keberadaanku di sekolah, kan?”

Tidak seratus persen benar. Bagaimana pun segala sesuatu tentang Tiger Morikawa selalu jadi topik hangat. Dari prestasi olahraga hingga kehidupan percintaan—walau sejauh ini yang kami tahu hanya daftar nama cewek yang sempat dekat dengannya tapi tidak tahu sempat berpacaran atau tidak.

Aku mengangkat sebelah bahu lalu menyatukan ujung ibu jari dan telunjukku sambil menyipitkan sebelah mata. “Sedikit peduli, sih.”

Tiger kembali memejamkan mata. Mulutnya komat-kamit seperti mengutuk diri sendiri. Menyaksikan seorang senior yang selalu jadi dambaan bisa salah tingkah seperti itu rasanya sangat memuaskan jadi kuputuskan untuk tidak menyia-nyiakan momen ini.

Aku mengerjap ke arah Tiger. “Waktu TK Tiger pernah ikut drama jadi kumbang dan terguling jatuh dari panggung karena kostum kumbangnya kegedean, kan?”

“Kejadian itu lebih baik kita hapus dari memori kita!” sergah Tiger.

Aku terkekeh dibuatnya. Tiba-tiba jadi ingat berbagai hal konyol yang kami lakukan saat masih anak-anak. Dari mencoret dinding rumah hingga makan pasir pantai sampai kami harus dirawat di Rumah Sakit, satu demi satu memori menghangatkan dadaku.

“Tapi itu pertama kalinya Una ngerasa kalau Tiger itu lucu. Karena biasanya Tiger kelihatan keren, selalu nolongin dan jagain Una.”

“Bisa juga seorang Una menganggap aku ini keren?” tampik Tiger.

Lihat selengkapnya