HAL TERBEGO TENTANG CINTA

Chiklarasati
Chapter #4

ORBIT 3

Aku selalu suka belanja di mall. Tempatnya ramai dan ada banyak toko pilihan. Jika toko yang satu tidak menarik minat belanjamu, tinggal pindah saja ke toko lainnya. Tapi mama jarang sekali membawaku ke tempat seperti ini. Mungkin karena kecintaanku pada pakaian, dia takut aku menggerogoti dompetnya seperti tikus rakus. Padahal menyukai sesuatu bukan berarti harus memilikinya.

Di lantai empat gedung ini ada gerai es krim kesukaanku. Niatnya aku akan mentraktir Tiger nanti sebagai ucapan terimakasihku karena dia telah repot-repot membantuku memilih perlengkapan klubku.

"Maaf buat yang tadi." Suara Tiger terdengar dan aku langsung menoleh padanya yang tengah mengamati raket bola tenis dengan sangat teliti.

Aku bergeleng walau dia tidak sedang melihatku. Matanya terlalu fokus menilai tiap inci dari raket yang dia pegang. "Una juga minta maaf." Kataku.

Tiger mengayun-ayunkan raket itu di udara, mencoba kualitas service yang mampu dilakukan raket itu. "Buat apa?" Tanya dia.

Aku mengangkat bahu. "Gak tahu juga. Una cuma ngerasa kalau Una harus minta maaf."

Tiger menoleh melirikku dengan senyuman. "Minta maaf walau gak tahu punya salah apa?"

Aku mendesah menertawakan diriku sendiri.

"Raket yang ini bagus. Kalau pakai raket ini mungkin nanti Una bisa jadi perwakilan Indonesia di Olympic." Ujarnya.

"Jadi rivalnya Tiger Augustus terdengar lebih keren." Godaku.

"Kalau gitu tugasku melatih Una dengan sangat ketat." Sahutnya.

Kami berjalan mengitari rak demi rak menuju kasir. Di balik mejanya penjaga kasir yang cantik dan mungil memandangi Tiger dengan lidah tercekik. Aku melirik keduanya secara bergantian. Tapi tidak ada tanda-tanda kalau Tiger mengenali si penjaga kasir.

"Ganteng. Kakak artis?" Gumam wanita itu dari balik mejanya.

Tiger bergeleng dengan senyum malu. Dia meletakkan raket di atas meja kasir dan penjaga kasir mulai me-scan barcode pada label yang terikat di raket dengan gugup. Nominal harga benda itu muncul pada monitor kecil yang letaknya berhadapan dengan kami. Aku mengutuk diri karena tidak bertanya lebih dulu pada Tiger berapa harga raket itu. Uang sakuku tidak akan cukup, dan tadi pagi kupikir mama yang akan menemaniku belanja jadi aku tidak meminta uang tambahan.

Tiger mengeluarkan dompetnya dari saku dan mengeluarkan kartu, aku menyentuh lengannya menghentikan.

"Tadi Tante Rika transfer uang buat beli raket kamu ke rekeningku." Rika itu nama mamaku. Aku menghela napas lega dan membiarkan dia membayar benda itu dengan kartunya. Seorang pria membantu memasukkan raket ke dalam tas pembungkusnya dan bertanya apakah kami menginginkan kantung plastik untuk membawa raket itu, tapi Tiger menolak tawarannya.

Proses transaksi selesai. Kartu Tiger kembali ke dalam dompetnya yang kini tersimpan di dalam saku dan dia mengambil benda belanjaan kami dari tangan kasir. Saat berbalik arah untuk meninggalkan toko itu aku dapat mendengar mereka membicarakan Tiger dan memuji penampilannya.

Aku mengamati sisi samping wajah Tiger. Lampu mall memberi efek pantulan cahaya pada bagian wajahnya yang menonjol. Rambut hitam pekatnya berkilauan pula berkat bantuan cahaya itu. Tubuhnya yang tinggi membuatku bisa melihat ketegasan pada rahang wajahnya dari sini. Dan matanya yang berhasil melelehkan banyak perempuan kini memandangku dari sudut pelipis matanya. Cepat-cepat aku mengalihkan pandanganku. Ke arah sana, eskalator naik.

"Mau beli es krim?" Tawarku.

Tiger tampak berpikir sebentar. "Boleh." Jawabnya kemudian.

Kami berdiri bersampingan di anak tangga eskalator. Seorang anak kecil berlari melewati kami hingga Tiger terpaksa menarikku mendekat ke sisinya. Ibu anak itu berlari mengejarnya dan berhasil mendapatkan tubuh anak itu saat mereka tiba di ujung eskalator.

"Kayanya anak itu gak kenal takut." Komentarku.

Tiger mendesah tawa dan melepaskan tangannya dari tubuhku. "Dulu kamu takut sama eskalator karena kamu takut dimakan di bagian ujungnya, kan?" Ledeknya.

Aku mendaratkan kepalan tanganku di lengan Tiger. "Jangan ungkit masa lalu kalau itu memalukan!"

Kaki kami melangkahi garis pembatas pada ujung eskalator dan mendarat mulus di lantai empat.

"Kalau gitu Una juga gak boleh bahas tentang drama kumbang lagi!" Perintahnya dengan telunjuk mengarah ke hidungku.

"Oke." Aku setuju dengan cepat. "Tapi Una boleh bahas tentang kelakuan genit Tiger ke anak-anak perempuan?"

"Una...." Erangnya, aku hanya bisa menertawakannya.

Aku membawa Tiger berhenti di depan gerai es krim favoritku. Aku memesan rasa matcha, sementara Tiger mengaku tidak suka es krim jadi dia memesan espresso yang juga tersedia di gerai itu. Penjaga stand menagih pembayaran sejumlah yang tertera di layar komputernya. Aku dan Tiger berlomba siapa yang paling cepat memberi uang tunai ke kasir.

"Ini traktiran Una karena udah berhutang budi!" Tegasku.

"Yang lebih tua wajib membayar!" Bantahnya.

Dengan cekatan aku merebut uang tunai dari tangan Tiger dan memasukkannya ke saku bajunya lalu menahan jemariku di ujung sakunya. "Una bersikeras hari ini giliran Una yang traktir. Lain kali kita gantian." Janjiku.

Tiger tampak menimbang perkataanku seperti tawaran. "Aku benci punya hutang. Secepatnya kasih aku kesempatan buat bayar." Tukasnya.

Aku mengangguk setuju. Setelahnya Tiger tidak menghalangiku lagi. Aku memberi uang pas pada kasir. Dia meminta kami menunggu pesanan kami selesai dan kami duduk berhadapan di depan meja bulat yang didesain hanya untuk dua pelanggan.

"Sayang banget Tiger dewasa enggak suka es krim. Es krim di sini paling enak. Rasanya lembut dan manisnya pas." Ujarku.

"Matcha rasa favorit Una?"

Aku melipat tangan di atas meja dan sedikit menyondongkan tubuhku ke arahnya. Agak berisik, suara musik saxophone yang dipancarkan di seluruh gedung hari ini terdengar lebih kuat dari biasanya. "Una memilih es krim berdasarkan warna, rasa nomor dua."

Tiger mengangkat alis.

"Hari ini Una lagi merasa damai dan tentram dalam hati, makanya pilih yang warna hijau."

Tak kuasa Tiger terkekeh. Tiger menopang rahangnya dengan satu tangan di atas meja.

"Bisa aja Tiger juga pesan espresso karena suka warna hitam?" Ujarku.

Dia mengernyit bingung, "Tau dari mana aku suka warna hitam?"

"Biodata Tiger Augustus itu bagai buku yang terbuka. Semua orang di sekolah bisa tau dengan mudah."

Tiba-tiba saja Tiger menunduk menutup mata sambil mendesah.

Lihat selengkapnya