HAL TERBEGO TENTANG CINTA

Chiklarasati
Chapter #5

ORBIT 4

Rilke duduk di antara aku dan Gibran di motor dalam perjalanan kami ke rumah mereka. Dia tampak kelelahan habis berlarian dengan teman-temannya setelah selesai mengikuti perlombaan. Aku membantunya membawa tas sekolah berwarna merah muda miliknya. Rilke memeluk erat tubuh Gibran dari belakang, keakraban mereka sungguh tak terelakkan.

“Beneran kan kak? Baju Rilke bisa bersih lagi?” tanya Rilke untuk kesekian kalinya. Bajunya terkena lelehan es krim coklat yang Gibran belikan untuknya dari salah satu gerai di bazaar.

“Iya... Nanti kakak cuci sampai bersih,” janji Gibran dari depan sana.

“Kalau enggak bisa bersih gimana dong?”

“Nanti kakak beli yang baru lagi.”

“Enggak mau!” Rilke merengek lalu mengeratkan pelukannya di tubuh Gibran. Suara yang dia keluarkan sedikit bergetar seperti menahan tangis. “Nanti kakak jadi pulang malam-malam lagi supaya bisa dapat uang buat beli baju Rilke.”

Gibran diam saja setelah ucapan Rilke itu. Beberapa menit kemudian genggaman Rilke di tubuh Gibran melemas. Aku melirik wajahnya, dia setengah tertidur. Kubungkus tangan mungil Rilke dengan tanganku dan mengembalikannya ke pinggang Gibran. “Pegangan yang erat,” ucapku pelan. Kubiarkan saja tanganku menahan tangannya untuk tetap memeluk Gibran seperti itu. Beberapa menit lagi berlalu dan dia akhhirnya tertidur pulas.

****

Kami tiba di rumah Gibran jam tujuh lewat. Dengan hati-hati aku menahan tubuh lelah Rilke agar tidak terjatuh saat Gibran turun untuk menggendongnya sementara aku tetap duduk di atas motor.

“Tunggu sebentar,” pintanya lalu membawa Rilke masuk rumah.

Satu kejutan baru lagi tentang Gibran, dia seorang lelaki yang sangat menyayangi keluarganya, dan bukan dia yang satu-satunya pintar dalam keluarga mereka. Aku sempat menanyakan Gibran tentang saudaranya yang lain, dan Gibran memberitahuku kalau dia anak sulung dari tiga bersaudara. Wislawa, adik lelakinya yang duduk di bangku SMP akan mengikuti olimpiade sains besok pagi di Jakarta jadi dia sedang menginap di luar kota bersama para guru dan siswa yang mewakili sekolah mereka.

Rumah Gibran sederhana dan letaknya di lingkungan rumah kontrakan. Entah rumah ini atas nama mereka atau bukan, aku tidak berani menanyakannnya. Aku hanya orang asing yang numpang lewat dalam kehidupannya yang luar biasa. Sekolah, bekerja, mengurus keluarga, tapi masih bisa mendapat beasiswa penuh di sebuah sekolah yang dipenuhi anak-anak kaya yang masa depannya sudah direncanakan oleh keluarga mereka masing-masing. Gibran berbeda. Benar-benar berbeda. Dia seperti singa di tengah kawanan serigala, seperti burung bul-bul di tengah kumpulan merpati. Dia telah menangkap hatiku dan membuatku tak bisa merebutnya kembali.

Saat tengah menyelam dalam kekagumanku padanya sambil mengamati jalanan yang sepi dan gelap tiba-tiba alarm ponselku berbunyi. Ah, sial! Aku lupa menyetel ulang alarm yang kupasang untuk mengingatkanku acara fashion kesukaanku akan segera dimulai. Toh aku tidak akan sempat pulang ke rumah untuk menontonnya. Cepat-cepat kumatikan suara nyaring yang keluar dari ponselku, takut Gibran bisa mendengar kalau aku memakai suara nyanyiannya yang dikirim oleh Mika di grup kami sebagai nada alarm.

Kutarik napas lega begitu suara pada ponselku berhenti dan melirik ke pintu rumah Gibran untuk kembali menantikan kedatangannya.

Dia tengah berdiri di sana.

Dengan segelas air putih di tangannya, dan jaket kulit yang dia pakai di video itu di tangan yang lain, dia benar-benar berdiri di sana, diam saja menatapku dengan matanya yang telanjang tanpa kaca mata.

Aku berpura-pura membersihkan tenggorokan. “Ke-kenapa kamu tiba-tiba membeku?” Tanyaku walau yang sebenarnya ingin kuketahui adalah sejak kapan dia berdiri di sana?

Gibran melangkah dengan ragu ke arahku. Jantungku berdetak semakin cepat seiring dengan jarak kami yang dia pangkas. Dan saat dia berhenti tepat di hadapanku serasa dunia berhenti berputar. Aku tidak bisa berpikir, dadaku begitu hangat sampai-sampai kedua lututku bisa ikut merasakan efek tak terelakkan yang Gibran berikan hanya dengan menatap mataku.

Gibran mengulurkan segelas air yang dia bawa padaku. “Minum dulu. Kamu capek, kan?” ujarnya.

Aku mengambil gelas dari tangannya. Kulit kami sempat bersentuhan dan aku merasa diriku menjadi serakah karena ingin lebih. Kuteguk air dari gelas itu sementara tangan Gibran memutar melalui punggungku melilitkan jaket kulitnya di tubuhku dan tenggorokanku jadi menolak untuk menerima air lebih dari yang sudah dia terima.

Gibran berbalik meninggalkanku masuk ke rumahnya. Kujadikan momen itu kesempatan untuk menarik napas panjang beberapa kali. Aku menggigit bibir karena benar-benar takut dan malu kalau Gibran sebenarnya telah mendengar nada alarmku.

Sial! Sial! Sial! Kami akan jadi lebih canggung, kan? Mungkin lebih baik aku pulang saja, melarikan diri. Kembali kubuka ponselku dan membuka aplikasi ojek online. Aku tidak bisa lama-lama di sini! Satu-satunya yang kubutuhkan saat ini adalah tenggelam di tempat tidurku yang nyaman agar aku bisa memaksa diriku membuang isi kepalaku hingga tertidur. Tapi suara langkah Gibran terdengar sekali lagi mendekatiku. Aku mengangkat wajah melihatnya, dia datang dengan gitar di tangannya.

Lalu dia duduk di jok depan motornya. Satu kaki di motor, satunya lagi di atas tanah menahan agar kami tidak terjatuh.

Gibran memetik gitarnya. Lagu In The Ghetto milik Elvis Presley yang dia nyanyikan di video kiriman Mika itu. Aku menunduk karena malu namun sedikit bersyukur karena Gibran tengah memunggungiku jadi aku tak perlu repot-repot menahan ekspresiku.

Lalu suara nyanyian Gibran terdengar dan mantranya yang merdu berhasil membuatku melupakan kecerobohanku. Aku memandangnya dari belakang. Suara berat Gibran saat bernyanyi benar-benar membuatku candu. Jangan sampai dia memutar wajahnya ke arahku. Hanya menatap rambutnya dari belakang seperti ini saja sudah membuatku sulit merasakan gravitasi, bagaimana lagi jika aku melihat wajahnya yang tengah bernyanyi itu? Tapi seolah malaikat yang mendengar doaku sengaja menyuruhnya menggodaku, Gibran melirikku. Dia tersenyum sambil terus bernyanyi.

Cinta pertamaku benar-benar seperti pangeran di dalam dongeng.

****

Sorry,” kataku. Masih di tempat yang sama, posisi yang sama sementara Gibran memetik gitarnya melantunkan melodi yang lembut.

Gibran melirikku sedetik. “Buat apa?” tanya Gibran sedetik kemudian.

“Soal nada alarmku,” jawabku.

“Jadi itu nada yang membangunkan kamu tadi pagi?” Aku bisa mendengar senyuman dari suaranya.

Lihat selengkapnya