HAL TERBEGO TENTANG CINTA

Chiklarasati
Chapter #7

ORBIT 6

Aku kurang tidur. Malam di rumah Tante Mayka terasa sangat panjang karena aku kepikiran bagaimana kabar Electro di tempat penitipan hewan. Sudah kuputuskan tidak terlalu memikirkan orangtuaku yang jelas-jelas menelantarkanku, tapi susah sekali untuk mengabaikan kenyataan bahwa mereka sanggup bersenang-senang tanpaku.

Untungnya Gibran menemaniku walau hanya sebatas lewat video call. Dialah yang menemaniku hingga terlarut dalam tidur. Aku tidak memintanya, tapi sepertinya Gibran merasa kasihan padaku. Bicara tentang Gibran, tubuh jangkungnya yang kurindukan berdiri tegak tepat di depan tangga menuju lantai tiga tempat aku hampir terjatuh beberapa waktu lalu, sebuah buku dia pegang di tangannya dan begitu melihatku dia menutup buku itu, menghampiriku, seolah dia berdiri di situ untuk menungguku datang.

Tiger yang berjalan beriringan denganku berpamitan padaku, lalu meninggalkan kami menuju kelasnya yang satu lantai di atas kelas kami.

“Pagi,” sapaku, senyum pada Gibran.

“Ada baiknya kamu berangkat dengan Kak Tiger. Kamu jadi gak telat kayak biasanya,” pekiknya.

“Tapi Tiger jadi sial karena gak bisa datang secepat biasanya ke sekolah,” sahutku. Lalu kami berjalan beriringan menaiki anak tangga.

“Memangnya biasanya Kak Tiger datang lebih pagi dari ini?”

Aku mengangguk. “Dia latihan tenis di lapangan sekolah setiap pagi. Tante Mayka banyak mengeluh karena kebiasaan Tiger itu.”

Dari anak tangga paling atas kami berbelok ke arah yang menuju kelas kami. Sekolah masih sepi, jendela kelas-kelas yang kami lewati menampakkan isinya yang masih kosong.

“Bukannya bagus, Kak Tiger rajin berlatih?” ujar Gibran.

Aku bergeleng. “Tante gak suka Tiger jadi atlit,” sebutku, dan tiba-tiba merasa bersalah karena menceritakan perkara Tiger pada Gibran tanpa seijinnya. Aku mengumpat pada diriku sendiri yang terlalu nyaman berada di sisi Gibran sampai-sampai tidak memberi batasan.

“Tapi aku yakin kalau Kak Tiger akan jadi atlit hebat,” yakinnya.

Aku menatap Gibran dengan mata menyipit. Siapa sangka dia bisa sehangat itu saat mengucapkan keyakinannya pada kemampuan Tiger yang bukan siapa-siapanya. Gibran menyadari ada sesuatu di balik caraku memandangnya. Sambil membukakan pintu kelas untukku dia menatapku sinis. “Apa?” sebutnya.

Kami memasuki kelas, melangkah melalui meja demi meja menuju tempat dudukku. “Coba jujur! Kamu ini salah satu penggemar Tiger?” hardikku.

“Otak kamu masuk angin?” sergahnya. Aku meletakkan tasku di kolong mejaku dan duduk di sana, Gibran memutar kursi Riana yang letaknya di depan mejaku ke arahku dan duduk pula di sana. Kuharap keadaan seperti ini dapat berlangsung lama—hanya ada kami berdua di kelas yang biasanya ramai ini. Oh, betapa beruntungnya aku datang sepagi ini.

Aku mengernyit, tiba-tiba teringat sesuatu. “Tapi apa kamu juga biasanya datang sepagi ini? Bukannya harus antar Rilke ke sekolah dulu?”

Gibran bergeleng, “Tadi aku butuh akses komputer sekolah, dan beberapa menit lagi juga ada janji dengan pihak administrasi.”

Aku tersenyum kagum, “Jangan bilang baru-baru ini kamu dapat prestasi baru lagi?”

“Kalau aku dapat prestasi baru lagi, kamu kasih aku hadiah?”

Mataku menggeridip padanya, tidak tahu kalau kalimat kekanakan seperti itu bisa keluar dari tenggorokannya. “Memangnya mau minta apa?”

Gibran tersenyum. Kedua matanya menatapku penuh arti—aku tidak tahu apa arti di balik tatapan itu, tapi kulihat sesuatu yang sangat besar dan dalam tengah dia pancarkan.

“Kamu mau kencan sepulang sekolah?” sebutnya.

Mengerjap, aku mencondongkan tubuhku ke arahnya. “Mau! Mau! Mau!”

Gibran menciumku.

Suasana yang hening, kelas yang sepi, hanya ada suara tapakan kaki di koridor—yang tak kupedulikan siapa, cahaya matahari yang menembus kaca jendela kelas, sebuah ciuman dari Gibran.

Beberapa saat kemudian Gibran melepaskan ciumannya tanpa sedikit pun menjauhkan wajahnya dari wajahku yang memanas. Benar-benar memanas. Gibran menatapku dengan mata tersenyum, “Bilang ‘mau’nya cukup sekali.”

Ciuman pertamaku. Maksudku, Taiger memang pernah menciumku di TK namun saat itu kondisinya berbeda karena kami sama-sama tidak tau makna dari sebuah sentuhan kecil yang mampu menciptakan kenangan yang besar.

Gibran menoleh ke jam di atas papan tulis di belakangnya. “Aku harus ke kantor administrasi,” gumamnya lalu kembali melihatku. “Hari ini aku bawa dua bekal. Tunggu aku di loteng kalau ternyata aku harus lama di ruang administrasi,” ucapnya, aku masih mematung.

Gibran bangkit dari kursi yang dia duduki, menarik hidungku dengan jahil, dan berbicara sambil lalu, “See ya,” katanya, lalu pergi meninggalkan kelas.

Tak kupandangi punggungnya seperti yang biasa kulakukan saat dia pergi. Tubuhku terlalu kaku untuk itu, jantungku berdetak terlalu cepat untuk merasakan sensasi saat melihat dirinya. Coba jelaskan secara ilmiah, mengapa darahku terasa panas tapi tubuhku membeku?

****

Bel sekolah tanda jam istirahat berbunyi tepat pukul 12.00 seperti biasa. Aku menunggu Gibran di loteng sekolah sesuai permintaannya. Aku merasa tak perlu membawa makanan apa pun, Gibran bilang dia membawakan bekal untukku. Aku jadi merasa terlalu beruntung memiliki kisah cinta sesempurna yang selalu kuinginkan.

Menit demi menit berlalu. Pesan teks-ku ke Gibran hanya centang satu. Mungkin dia masih terlalu sibuk dengan urusannya, jadi kuputuskan untuk menunggu sebentar lagi dan mengomelinya begitu kami bertemu. Entah karena lapar, entah karena kesepian yang diam-diam kurasa karena papa dan mama meninggalkanku untuk berbulan madu, atau enah karena matahari yang terlalu terik, kepalaku terasa berat. Aku duduk bersandar pada pagar tembok loteng. Rasanya ingin tidur sebentar, tapi takut kalau Gibran datang dia malah tidak membangunkanku karena aku terlalu lelap.

Saat aku tersadar matahari sudah mulai terbenam. Kusentuh pipiku, ternyata gerimislah yang mulai membangunkanku. Aku tersentak. Kulihat jam tanganku, ternyata sudah jam 5.20. Sial! Aku tertidur terlalu lama, sekolah pasti sudah usai. Aku berlari secepat yang kumampu untuk keluar dari loteng—tapi seperti yang kukatakan, dewi kesialan sangat menyukaiku—pintu loteng terkunci dari luar.

CETARRRR!!!

Petir menyambar dan hujan perlahan turun, semakin deras dan semakin mengerikan di setiap detiknya. Aku berjongkok dan menutup telingaku rapat-rapat.

Kutenangkan diriku dan mencoba kembali berpikir jernih. Aku meraih kembali gagang pintu loteng dan menjadikannya alat bantuku untuk bangkit berdiri, dan kugedor-gedor pintu itu. “Tolong!! Aku terkunci!” Tidak ada sahutan.

Aku mengambil ponsel-ku dari saku dan memeriksa daftar panggilan tak terjawab dan pesan Riana yang sangat banyak, aku menelepon ke nomor itu, tidak diangkat. Kututup kontak Riana dan mengetik nama Mika pada kolom pencarian lalu meneleponnya. Tepat seperti yang kutakutkan ponselnya tidak aktif saat sedang hujan dan petir.

Bagaimana sekarang? Jaringan internet pun sangat jelek di sini. Oh! Gibran, mungkin dia akan angkat teleponku. Aku menekan-nekan layar ponselku untuk meneleponnya.

Tidak aktif.

Benar. Mungkin dia masih sangat sibuk, karenanya dia tidak menepati janjinya untuk datang ke loteng.

Kakiku melemas, dingin air hujan melilit tulang-tulangku dan layar ponselku jadi sulit disentuh karena basah. Aku terjatuh duduk. Ingin kulawan rasa sakit di kepala dan perutku, ingin aku kembali mencoba menghubungi orang lain. Tapi tubuhku tidak sepaham dengan keinginannku. Seharusnya kalau aku berteriak mungkin masih ada orang yang mendengarnya dari sekitar loteng namun aku benar-benar sedang tidak punya tenaga saat ini.

Di tengah kegelisahan, ponselku berbunyi. Dengan seluruh sisa tenagaku dan sisa kepercayaanku bahwa seseorang akan mengeluarkanku dari situasi ini kuangkat telepon itu.

“Una di mana?” Suara khawatir Tiger terdengar dari ujung ponsel.

“Aku di-”

CETARRRR

Lagi-lagi petir itu! Dan kali ini jauh lebih kuat dari yang sebelumnya. Aku berteriak seraya menutup rapat kedua telingaku.

Lihat selengkapnya