Keadaanku sudah pulih seratus persen. Mama dan papa sudah pulang. Electro juga sudah kembali ke kolam favoritnya di rumahku. Di saat semua terasa sangat baik, hari ini pun tiba. Saat aku memasuki kelas semua orang terlihat aneh. Sebagian sibuk bergosip sambil membuka ponsel, sebagian berbisik satu sama lain, sebagian tampak berbincang dengan wajah bahagia, sebagian diam saja, namun tak satu pun dari mereka yang tidak melemparkan pandangannya padaku seraya aku melangkah masuk.
Dengan langkah cepat aku menghampiri Mika yang juga sibuk mengggulir layar ponselnya dengan wajah serius. Sebenarnya aku malas mengganggu Mika saat dia sedang fokus pada sesuatu seperti ini tapi kebetulan Riana belum datang, jadi hanya dia pilihanku.
“Orang-orang pada kenapa, sih?” tanyaku. Mudah-mudahan Mika mendengar, biasanya kalau sedang sibuk sendiri begitu, kemampuan mendengarnya jadi hilang.
Mika langsung memutar wajahnya, melototiku. Kecurigaanku semakin besar kalau keanehan yang terjadi di kelas ini ada hubungannya denganku. “Jangan bilang kamu gak tau?” sebutnya.
Aku mengernyit sambil berpikir berita heboh apa memangnya yang seharusnya kuketahui? Lalu Mika menyodorkan layar ponselnya ke arahku. Oh, ada foto Gibran di sana. Kuambil ponsel Mika dari tangannya untuk melihat dengan jelas, ternyata ponsel itu sedang memampangkan berita dari situs resmi sekolah.
“GIBRAN KAHENDRA KELAS 2-A TERDAFTAR SEBAGAI SISWA BEASISWA PROGRAM NASA”
Sebagai pacar dan pengagum nomor satu Gibran tentu saja aku jadi antusias. Kuhusap layar ponsel Mika membaca setiap kata demi kata yang disebutkan di artikel itu. Seluruh isinya membuatku membuatku bangga dan turut bahagia untuk Gibran sampai akhirnya aku sadar akan sesuatu. Gibran akan melanjutkan sekolahnya di California.
Tiba-tiba kelas menjadi gelap. Aku mengarahkan pandanganku pada langit-langit kelas. Sengatan matahari yang menembus dari jendela kaca terasa panas tapi buku jariku merasakan dingin. Aku tidak berani bergerak. Takutnya sedikit gerakan saja akan membuat air mataku yang membendung terjatuh.
Mika mendesah ringan. “Dia sama sekali gak cerita ke kamu?” tebaknya.
Nilai seratus untukmu, Mika.
****
Gibran baru masuk kelas di pelajaran ke-lima. Tidak banyak yang menyapanya dan menanyakan kebenaran berita itu. Bagaimana pun orang yang bertanya juga pasti merasa sial. Gibran tidak menampik mereka. Sejak tadi Gibran diam saja.
Setelah penantian panjang akhirnya bel istirahat berbunyi. Aku meminta Mika dan Riana menungguku di kantin dan buru-buru belari ke toilet. Sebenarnya aku tidak sakit perut, tidak pula ingin cuci muka. Aku hanya mencoba lari dari Gibran. Rasanya takut mendengar penjelasannya langsung.
Setelah beberapa menit bergumul dengan diri sendiri kapan waktu yang tepat untuk beranjak ke kantin aku pun mengendap-endap koridor demi koridor—memastikan diriku luput dari pandangan Gibran di mana pun dia berada saat ini.
Hal serupa juga kulakukan saat bel pulang berbunyi. Berpura-pura ke toilet, lalu mengendap-endap ke gerbang. Begitu gerbang sekolah kami terlihat aku berlari secepat yang kumampu, melalui orang-orang yang mengamatiku jadi heran karena berlarian di keramaian seperti bocah SD. Dan tepat pada saat tubuh ini melewati gerbang seolah telah menyentuh garis finish pada perlombaan lari cepat, Gibran muncul di depanku dan menangkap tubuhku.
Aku menelan ludah saat wajah kami bertatapan.
“Udah selesai main petak umpetnya?” tanya Gibran.
Aku langsung cemberut sebal. Apa hanya itu kalimat yang mampu dipikirkannya dalam situasi seperti ini? Kuhempaskan kedua tangannya dari tubuhku. “Siapa yang main petak umpet?” Sergahku.
“Apa ada sebutan lain untuk orang yang sembunyi dan mengendap-endap sambil berlari mencari jalan keluar?”
Semakin bikin sebal saja. Artinya sejak tadi dia memperhatikanku dan diam saja melihat tingkah tidak wajarku yang terjadi gara-gara dia ini?
“Dan sekarang kamu pasti sedang menyalahkan aku karena aku sadar dengan tingkah konyol kamu sejak tadi pagi, kan?” tebaknya.
Spontan saja aku memukul dada Gibran. “Kamu tuh psikopat, ya? Hanya bisa senang kalau orang lain menderita?”
Gibran menarik hidungku, “Memangnya kamu menderita apa?”
Aku menghempaskan tangannya sekali lagi. “Menderita pacaran sama kamu!”
“Lebih banyak menderitanya atau bahagianya?” sahutnya.
Aku buang muka, menatap hampa pada jalanan yang ramai oleh kendaraan yang berlalu lalang. Gibran menunduk dan menelengkan kepala untuk bisa melihat wajahku. Tuhan, kenapa aku masih bisa berdebar dalam keadaan marah setengah mati begini?
“Ayo aku traktir makan,” ajaknya.
Aku bergeleng, masih enggan menatap langsung matanya. Kubulatkan tekadku untuk mengabaikannya. Biar saja kalau dia kesal sendiri.
“Jadi kamu yang traktir?” kata Gibran.
Oh, akhirnya aku mengernyit membalas tatapan matanya yang menyebalkan itu. “Aku benci kamu!”
“Tapi aku sayang kamu.”
Ah, aku kalah. Aku terlalu suka Gibran.
****
Waktu terasa berjalan begitu lambat dari atas motor Gibran. Kami diam saja sepanjang perjalanan. Penantian paling menderita adalah penantian dalam diam. Kau bisa menyembunyikan kegelisahanmu pada orang lain, tapi tidak pada dirimu sendiri. Punggungnya begitu dekat, ingin kuraih pinggangnya seperti biasa saat aku duduk di boncengannya. Tapi rasanya dia jauh dari gapaianku.
Kami berhenti di restoran cepat saji, letakknya hanya beberapa meter dari sekolah Rilke. Kami duduk di lantai dua restoran, tepatnya di muatan dua orang paling sudut dekat dinding kaca yang mengarah ke jalanan. Aku duduk di dekat dinding itu sementara Gibran tepat di sampingku.
Dia melipat tangan di atas meja kami yang hanya diisi dengan dua paket burger, kentang goreng, dan air soda. Makanan kami sama sekali tak tersentuh. Aku menebak-nebak apa yang ingin dia katakan. Salah satu tebakanku yang kutakutkan adalah dia meminta berpisah dariku karena dia akan sangat sibuk berjuang di benua lain.
“Kapan kamu akan berangkat?” Akhirnya kuberanikan diri bertanya.
“Bulan depan,” jawabnya.