Malam itu keinginan untuk menghubungi Gibran tidak tertahankan. Dan aku cukup lega karena ternyata dia juga mencariku. Begitu ponselku menyala notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab darinya masuk beruntutan. Lewat telepon aku meminta Gibran menjemputku dari rumah ke sekolah setiap pagi untuk memperbanyak durasi kebersamaan kami. Seperti kataku sebelumnya padanya; hanya dengan duduk di boncengannya saja aku sudah merasa bahagia.
Hari-hari di sekolah lebih berwarna saat bersamanya. Riana dan Mika sedikit mengalah karena aku jadi menghabiskan jam istirahat dan makan siang dengan Gibran. Loteng sekolah menjadi tempat pertemuan rutin kami. Setiap momen yang kami lalui terasa menyenangkan dan menyakitkan karena kami sama-sama tahu kapan raga kami akan terpisah jauh.’
Aku dan Gibran berdiri di balik pagar tembok loteng, memandangi sekolah kami dari atas, menikmati pemandangan orang-orang yang tidak sadar bahwa kami sedang mengamati mereka. Namun tetap saja pemandangan di bawah sana tidak cukup indah bagiku jika dibandingkan wajah pria yang berdiri di sisiku itu.
“Kamu tau? Sejak pertama kenal kamu di masa OSPEK dulu aku udah tau kalau kamu akan jadi orang besar nantinya,” kataku, memecah keheningan.
Gibran melirikku, bibirnya melengkung seraya menahan tawa geli. “Kamu peramal?”
“Tapi instingku tuh biasanya benar.”
Gibran memberiku tatapan menilai, “Waktu itu kamu juga udah punya insting tentang hubungan kita ke depannya, gak?”
Aku tersenyum sipu dan bergeleng kepala. “Tapi aku tau kalau kamu bukan orang yang sekadar numpang lewat tanpa jejak dalam hidupku nantinya.”
Gibran memutar tubuhnya mengarah padaku. Satu lengannya di atas pagar loteng, satunya lagi dia masukkan dalam saku celana. Gibran menatapku dengan tatapan menuntut penjelasan, namun aku tidak akan membuka kartuku padanya: bahwa aku sudah menyukainya sejak masa pertemuan pertama kami.
“Aku akan selalu mendukung kamu. Walau Amerika Serikat sangat-amat-teramat jauh, aku akan terus mendukung,” ucapku, berusaha mengalihkan perhatiannya.
“Oke, makasih. Tapi aku masih penasaran dengan maksud perkataan kamu barusan,” sahutnya.
“Tentang Amerika?” Dalihku.
“Tentang OSPEK.”
Aku mengunci mulutku dengan gerakan tangan dan pura-pura membuang kunci khayalan dari tanganku. Gibran berdecak kesal, tapi senyuman masih terpatri di wajahnya.
“Menurut kamu apa hubungan kita akan baik-baik aja?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari mulutku, dan senyuman cerah di wajahnya berubah warna menjadi kelabu.
“Kita bisa berkomunikasi tiap hari,” janjinya.
“Tapi di Amerika banyak cewek-cewek cantik.”
“Aku lebih suka cewek Indonesia.”