Gibran bukan siswa pertama Gideon yang pindah sekolah ke luar negeri atau pun melakukan pertukaran pelajar dengan negara lain. Guru tidak membahas kepergian Gibran seolah hal seperti ini biasa dan teman satu kelas kami juga berhenti membahas dirinya hanya sehari setelah kepergian Gibran. Hanya aku yang merasa kehilangan.
Tiga bulan sudah berlalu setelah kepergiannya. Ada banyak hal yang terjadi selama tiga bulan ini dan akan sulit untuk membuat daftarnya. Ujian akhir kelas tiga sudah selesai. Guru Matematika dan Biologi kami menikah. Mika PDKT dengan Kak Juri sahabat Tiger itu. Oh! Baru-baru ini Tiger menolak pernyataan cinta senior anak kelas satu. Dan yang paling hangat-hangatnya dibicarakan oleh siswa-siswi Gideon School adalah prom night perpisahan kelas tiga yang akan diadakan minggu depan.
“Kamu nolak ajakan Kak Juri si masa depan tenis nomor dua Indonesia?!” Celotehan Riana berhasil memekikkan telingaku. Nomor dua karena maksudnya nomor satu sudah menjadi milik Tiger.
Mika menjawab tanpa menoleh. Perhatian utamanya dia curahkan ada buku catatan Kimia miliknya. “Orangtuaku pasti gak akan ngasih aku ikut. Lagian aku harus belajar lebih keras sekarang. Kalian tau beberapa orang mulai bilang kalau aku dapat peringkat satu di setiap tes dan kuis hanya karena Gibran udah gak ada lagi?”
Riana berdecak lidah. “Jangan peduliin perkataan anak-anak lain! Mereka hanya iri sama kepintaran kamu,” pekiknya, Mika hanya menjawab dengan memutar bola mata. Lalu Riana melirikku dengan tatapan penuh harap. “Kamu ikut, kan?”
Belum pernah datang ke prom night sebelumnya membuatku tergoda. Tahun lalu aku tidak ikut karena terkena demam tyfus. Namun mengingat yang lain akan datang dengan pasangan mereka membuatku ingin mundur. Belum sempat aku menjawab pertanyaan Riana, dia sudah lebih dulu menimpal dengan pertanyaan lain, “Ngomong-ngomong Gibran apa kabar?”
Dan getaran ponselku yang terletak di atas meja menyelamatkanku dari pertanyaan itu. Kulirik layarnya, panggilan masuk dari Tante Mayka. Aku sedikit kecewa karena sedang mengharapkan panggilan dari orang lain.
“Bentar ya,” pamitku pada Riana dan Mika dan langsung melarikan diri ke koridor depan kelasku.
“Halo, tante,” ucapku di ujung ponsel begitu mengangkat telepon.
“Runa, ini lagi jam istirahat, kan? Tante gak ganggu kamu, kan?” Sahut tante Mayka dengan nada bicara manjanya yang khas.
“Iya tante, lagi istirahat. Tante gak ganggu, kok. Ada apa, tan?”
“Tante lagi siap-siap mau ke luar kota, tiba-tiba si adek demam tinggi. Runa bisa tolong bantu tante cek dia sepulang sekolah?”
“Bisa, tante. Nanti sepulang sekolah Runa ke rumah tante,” jawabku.
“Makasih, ya, sayang. Tante tutup dulu. “
“Sama-sama, tante,” sahutku, lalu panggilan terputus.
“Mamanya Gibran?” Tiba-tiba terdengar suara dari balik punggungku.
Tersentak, kuputar tubuh mendapati Riana sedang menguntitku dari ambang pintu.
“Ya, Tuhan! Riana! Jantungku hampir copot!” sergahku.
Tampak jelas di wajah Riana dia tidak merasa bersalah. “Makanya kamu jangan keseringan melamun! Sejak Gibran gak ada...”
Aku meyumpal mulut Riana dengan tanganku. “Aku gak melamun!” dalihku.
Riana menepis tanganku. “Padahal aku kepengin ngajak kamu jalan-jalan sepulang sekolah. Itu tadi telepon dari siapa? Mamanya Gibran?” Dan dia menatapku dengan pupil membesar.
Aku menghela napas panjang. “Tadi itu mamanya Tiger,” jawabku akhirnya.
“Mamanya Kak Tiger?” dia mengulang informasiku.
Aku mengangguk. Lalu aku memimpin jalan kami kembali memasuki kelas.
“Kamu mau ke rumah Kak Tiger?” tanya Riana.
“Iya. Kata Tante Mayka Tiger demam tinggi, tapi Tante Mayka harus ke luar kota, jadi...”
Riana mengerjap berdiri di hadapanku, membuat kalimatku terpotong. Instingku berkata kalau sebuah ide buruk telah hinggap di kepalanya, dan...
“Aku sama Mika boleh ikut?”
“Enggak.”
“Kenapa?”
“Karena itu bukan rumahku dan kalian gak dekat dengan Tiger.”
“Kak Juri ikut juga, kok!”
“Aku ikut ke mana?” Suara itu muncul dari belakangku. Kulirik sumber suara, dan TA-DA... Kak Juri memandangi aku dan Riana, menunggu jawaban.
“Jenguk Kak Tiger.” Jawab Riana dengan penuh semangat—lupa kalau aku baru saja menolak permintaannya. “Dan Mika juga ikut,” timpalnya, api semangat pun kini membakar pria itu.
“Oke!” sahutnya.
“Gak ada yang ngajak kalian!” tampikku. Aku melirik Mika di ujung sana untuk meminta pertolongan, tapi dia terlalu fokus dengan buku dan pena di tangannya. Dari ujung mataku tampak Juri juga tengah mengamati Mika. Aku memutar wajah untuk melihatnya dengan pandangan lebih jelas agar bisa menolaknya dengan jelas pula sementara dia juga secara kebetulan balas melirikku.
“Memangnya kamu lebih senang berduaan sama Tiger?” sergah Kak Juri.
Indah, salah seorang teman sekelasku yang sebelumnya duduk di depan bangku Gibran yang tengah berjalan melalui kami menatapku dengan tatapan sinis dan jijik sambil lalu dan aku terpaksa bergeleng kepala. “Enggak,” elakku.
“Oke. Kalau gitu kami akan menyelamatkan Runa dan Tiger dari kecanggungan.” Sahutnya, dan berjalan melalui aku dan Riana ke meja Mika. Tanpa ijin dia duduk di kursiku. Dia memandangi Mika dengan tatapan kasmaran dan anehnya Mika sama sekali tidak merasa terganggu.
Riana menarik lenganku sambil senyum-senyum memandangi sepasang tunas itu dan membawaku berjalan untuk duduk bersamanya.
****
Sekolah selesai jam tiga sore. Kami berlima berkumpul di parkiran dan berangkat dengan mobil yang dikendarai Kak Juri. Berlima karena Riana mengajak Ray si teman sekelasku yang sanguinis ikut bersama kami. Mika duduk di bangku depan dengan Kak Juri, tentu saja. Sementara aku duduk di antara Rey dan Riana di bangku tengah. Radio Kak Juri memutar lagu Eminem, Ray ikut bernyanyi dengan percaya diri. Lagipula kenapa anak kelas tiga masih sering ke sekolah padahal ujian mereka sudah selesai? Bikin sial saja.
Aku memutar wajah ke arah Riana, ingin menyalahkannya atas situasi ini. “Ngapain sih pakai acara ajak Ray segala?” bisikku padanya.
Riana tersenyum menahan tawa lalu bahas berbisik. “Karena situasi Kak Juri sama Mika pasti canggung dalam mobil. Kalau ada dia...” Riana menunjuk Ray dengan gerakan mata, “...lebih asyik.”
Aku tersenyum paksa dengan mata diisipitkan ke arah Riana.
“Kamu butuh pengalihan suasana, kan?” kata Riana.