Malam semakin larut. Teman-teman yang lain sudah pulang terlebih dulu sementara aku sengaja mengulur waktu untuk tinggal. Saat mobil Kak Juri berlalu meninggalkan rumah Tiger aku langsung bergerak menuju dapur.
Tiger mengikutiku dari belakang. “Una mau ke mana?” tanyanya.
“Dapur.”
“Lapar lagi?”
Aku berhenti untuk melemparkan tatapan sinis padanya. “Memangnya perut Una terbuat dari karet?”
Tiger terkekeh, “Trus mau apa?”
“Bantuin Tiger cuci piring.” kataku dan kembali berjalan.
Tiger menarik lenganku, “Enggak. Aku antar pulang sekarang. Besok ada Mba Nisah yang datang buat bantu bersih-bersih.”
“Bohong. Mba Nisah kan datangnya hanya hari Rabu dan Minggu. Besok hari Selasa. Tiger jadi harus cuci piring sebanyak itu gara-gara Una.”
Dahi Tiger berkerut. “Kenapa gara-gara Una?”
Aku mengangguk. “Tiger sengaja jatuhin balok jenganya karena gak mau mereka tau tentang ciuman pertama kita, kan?”
Tiger tersenyum dengan satu alis terangkat.
“Makanya Una juga harus tanggung jawab!”
Tiger terkekeh. Kemudian dia melepaskan lenganku dari genggamannya dan menatapku dengan mata tersenyum. “Aku lakuin itu untuk diriku sendiri.”
“Masa?” Tanyaku, tak yakin. “Bukannya Tiger tipe orang yang bisa dengan mudahnya kasih tau semua orang kalau Una ‘cinta pertama’ Tiger?”
Tiger mengerutkan hidung, masih tersenyum. Bola matanya melirik ke langit-langit rumah lalu kembali ke mataku. “Itu dulu. Tapi sekarang setelah tau arti ‘cinta pertama’ yang sebenarnya aku berpikir kalau meghumbar kejadian masa lalu kita enggak pantas.”
Aku memberinya tatapan menilai. “Tiger lagi jatuh cinta?” tebakku. Lalu aku teringat kalimat ‘bukan berarti aku enggak menyimpan perasaan ke seseorang’ yang dulu keluar dari mulutnya. Aku mengacungkan telunjukku ke arah dagunya. “Benar, kan? Lagi jatuh cinta?”
Tapi Tiger enggan menjawabku. Dia melingkarkan tangannya di leherku dan berjalan untuk membawaku ke arah pintu keluar. “Ayo, pulang!” katanya.
Aku melepaskan tangannya. “Gak mau. Una mau bantu Tiger.”
“Mau aku dimarahin Tante Rika karena Una pulang kemalaman?” Terdengar seperti sebuah ancaman.
Aku mencoba membayangkan mama memarahi Tiger karena memulangkanku terlalu larut tapi gagal. “Bukannya mama Una senang kalau kita sama-sama?”
“Oke, kalau gitu.” Tiger mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menekan-nekan layarnya.
Aku memanjangkan leher mengintip, dan ternyata dia menelepon mamaku. “Mau ngapain?”
“Minta ijin supaya Una tidur di sini.”
Cepat-cepat kurebut ponsel dari tangannya. Suara mama terdengar menyapa Tiger dari speaker telepon dan buru-buru kumatikan telepon itu. “Iya, iya! Una pulang.” Sebutku dengan murung.
Tiger mengacungkan telapak tangannya ke arahku dan kuserahkan ponsel itu kembali padanya. Setelahnya aku mengambil tasku yang tadi kuletakkan di ruang tamu sementara Tiger mengambil kunci mobil. Dia tersenyum puas.
****
Tiger sangat fokus saat mengemudi. Radio pun tidak menyala. Yang terdengar hanya suara klakson dan knalpot kendaraan yang mengebut di luar sana. Sejak pulang sekolah tadi suasana jadi ramai karena Riana dan teman-teman lain. Hal itu sedikit membantuku mengobati rasa sepi karena merindukan Gibran. Tapi duduk berdua dengan Tiger dalam diam seperti ini membuat rasa rindu itu muncul lagi.
Kubuka tampilan pesanku dengan Gibran. Sejak kemarin malam dia belum membalas pesanku. Aku tau, dia bukan tipe cowok yang suka berkirim pesan. Tapi tetap saja aku berharap dia merindukanku dan mencari-cariku seperti aku merindukan dan mencarinya. Kini aku menatap gelang pemberian Gibran yang melingkar di pergelangan tanganku.
Tanpa sadar helaan napas panjang keluar dari paru-paruku.
“Kenapa?” tanya Tiger dengan pandangan fokus pada jalanan.
Aku bergeleng kepala walau dia tidak melihatku.
Kami hening beberapa saat. Kepalaku bersandar pada sandaran kepala mobil dan perhatianku tertuju pada jalanan yang sering aku lalui bersama Gibran. Lampu itu, trotoar itu, gedung itu, semuanya mengingatkanku padanya. Aku semakin kesal mengingat fakta bahwa saat ini dia di Amerika Serikat, sebuah negara maju yang sinyal internetnya pastinya jauh lebih kuat dibanding di Indonesia. Apa menghubungiku sesulit itu? Sejak dia pergi kami hanya berhubungan lewat telepon beberapa kali dalam sebulan. Atau apa dia sudah menemukan penggantiku?
Aku mengerjap duduk dengan tegak dan menepuk lembut kedua pipiku.
“Mau jalan-jalan?” tanya Tiger tanpa melirikku.
“Jam segini?”
“Besok, bukan sekarang. Mau?”
Aku menimbang-nimbang sambil mengingat jadwal kursusku yang baru akan selesai jam tujuh malam. “Tapi Una ada bimbel sampai jam tujuh. Mau jalan ke mana?”
“Ada tempat yang pengin Una kunjungi?”
“Ada!” jawabku cepat.